Mimpi Indonesia untuk mencapai pemerataan ekonomi di setiap jengkal tanah air seakan-akan semakin jauh saja setiap harinya. Pasalnya, triliunan uang yang digelontorkan pemerintah dalam pembangunan belum mampu mewujudkan mimpi tersebut. Masih ingat dengan poin nomor tiga Nawa Cita? Poin ini menunjukkan niat pemerintah untuk mewujudkan mimpi tersebut melalui pembangunan Indonesia dari pinggiran. Melihat dampak pembangunan terhadap ekonomi saat ini, tak heran jika timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah pembangunan yang dilaksanakan pemerintah sudah tepat sasaran?
Salah satu program pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan pemerataan ekonomi adalah tol laut. Mari segarkan ingatan kita kembali tentang tol laut. Tol laut resmi diluncurkan pada November 2015 untuk mengatasi disparitas harga yang tinggi antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Konsep dasar dari tol laut sendiri adalah untuk menekan biaya pengangkutan barang melalui transportasi laut terintegrasi di berbagai wilayah Indonesia. Namun, sudah empat tahun berlalu sejak program tol laut diluncurkan dan belum ada dampak signifikan terhadap penurunan harga barang.
Dalam membedah permasalahan tol laut di Indonesia, kita akan mencoba menganalisis beberapa contoh kejadian di negeri ini. Yang pertama adalah dengan memandang dari salah satu prinsip dasar ekonomi, yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Pada prinsipnya, semakin tinggi harga barang akan berdampak pada jumlah permintaan yang semakin turun. Namun, hal ini bisa jadi tidak berlaku apabila persaingan dagang lesu dan barang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Lesunya kompetisi dagang di daerah pinggiran Indonesia menjadikan pengusaha tidak perlu repot-repot menurunkan harga barang karena masyarakat tidak memiliki sumber lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Tol laut justru menjadi celah bagi pengusaha untuk mengambil keuntungan karena biaya logistik untuk pasokan barang menjadi lebih murah.
Yang kedua, harga barang akan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat setempat. Pernahkah kalian membeli makanan atau minuman di bandara? Kira-kira, apa yang menjadikan harga sekaleng kola di bandara tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan harga kola di supermarket? Secara garis besar, mayoritas pengunjung bandara memiliki daya beli yang tinggi. Hal nyata serupa juga terjadi di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Kota Balikpapan memiliki sejarah sebagai kota dengan biaya kebutuhan termahal. Namun, hal ini juga diikuti dengan daya tarik bisnis yang tinggi sehingga daya beli masyarakatnya juga tinggi. Dengan begitu, keberadaan tol laut belum berdampak terhadap penurunan harga barang di daerah tertentu dengan daya beli yang tinggi.
Yang ketiga adalah perlunya pembenahan dalam tatanan distribusi barang untuk menekan harga barang, termasuk di dalamnya adalah tatanan birokrasi. Pemerintah daerah perlu ikut mendukung program pemerintah melalui pengadaan tenaga kerja andal serta pembangunan infrastruktur setempat untuk mewujudkan konektivitas. Hal ini disebabkan ketika kita berbicara soal pengadaan barang, tidak hanya berhenti sampai pelabuhan saja. Selain itu, rantai distribusi dari produsen hingga konsumen perlu dioptimasi. Semakin panjang rantai distribusi, maka semakin tinggi pula harga barang ketika sampai di konsumen. Tengkulak dan makelar yang telah mengakar dalam budaya pasokan komoditas perlu ditangani dengan tepat agar tidak tumbuh kembali.
Tol laut adalah satu dari sekian program pemerintah yang rusak akibat celah yang dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu. Hal ini menjadi bukti bahwa pembangunan fisik yang tidak diimbangi dengan pembangunan SDM akan sama saja dengan nol. Menarik benang merah dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas akan membawa kita menuju pada permasalahan utama. Pemerintah boleh saja mengaku telah serius membangun fisik ibu pertiwi, tetapi apakah pemerintah berani dengan lantang menjawab sudah berhasil membangun manusia Indonesia?
Tulisan oleh Bagas Muhammad
Gambar oleh Dian Nur Rizky