JPO Salah Terus!

Isu Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) seakan tak ada habisnya. Mulai dari JPO yang tidak inklusif, peniadaan atap, hingga topik revitalisasi JPO menjadi apik dan instagrammable yang dinilai minim urgensi bagi sebagian pihak. Reaksi yang beragam membuat Clapeyron tertarik untuk membahas isu ini lebih lanjut. Apakah JPO tanpa atap memang menyalahi aturan? Sebenarnya, kriteria apa saja yang harus dipenuhi JPO agar hak pengguna jalan dapat terpenuhi tanpa terkecuali?

Bicara mengenai hak dan aturan tentu tak lepas dari instrumen hukum yang berlaku. Ketentuan mengenai fasilitas jalan secara umum termaktub pada PP Nomor 34 Tahun 2006. Menurut PP tersebut, fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat merupakan prasarana moda transportasi yang penting. Prasarana ini dapat berupa trotoar dan fasilitas penyeberangan, baik di atas jalan (JPO), pada permukaan jalan, maupun di bawah jalan.

Sebagai buah dari PP Nomor 34 Tahun 2006, Kementerian PUPR RI menghadirkan Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki pada Februari 2018 silam. Dalam pedoman ini disebutkan bahwa fasilitas pejalan kaki, termasuk JPO, wajib memenuhi aspek keterpaduan sistem, aspek kontinuitas, aspek keselamatan, serta aspek aksesibilitas. Selain itu, disebutkan pula beberapa ketentuan mengenai perencanaan fasilitas penyeberangan tidak sebidang, yakni:

  1. penyeberangan tidak sebidang harus dapat diakses dengan mudah oleh penyandang cacat, misal dengan penambahan ram (pelandaian) atau dengan elevator;
  2. fasilitas penyeberangan tersebut harus dilengkapi dengan pencahayaan yang baik untuk meningkatkan keamanan bagi para pejalan kaki; dan
  3. lokasi dan bangunan harus memerhatikan nilai estetika serta kebutuhan pejalan kaki.

Poin pertama pada ketentuan di atas patut dipertanyakan karena berarti JPO harus aksesibel bagi seluruh pengguna, termasuk pengguna dengan keterbatasan fisik. Pemerintah sejatinya telah menetapkan bahwa JPO harus dilengkapi dengan pelandaian (ram) atau elevator untuk memudahkan pengguna kursi roda. Namun, nyatanya JPO dengan ram masih jarang ditemui.

“Memang kalau kita bicara jembatan penyeberangan orang bagi kelompok rentan ini kan persoalan tersendiri. JPO dengan ram juga terbatas. Kalaupun ada sangat curam. Akhirnya yang pakai siapa? Tentu kendaraan bermotor,” tutur Dewanti, dosen bidang keahlian transportasi Universitas Gadjah Mada. “Ini memang persoalan yang secara umum muncul di negara yang belum maju, di mana perhatian terhadap kelompok minoritas masih kurang,” lanjutnya.

Meskipun tetap ada pilihan untuk menyeberang secara sebidang, tak jarang terdapat rintangan lain bagi penyandang disabilitas. Tidak adanya perlintasan sebidang resmi (karena telah terwakilkan dengan JPO) serta median jalan yang tinggi adalah beberapa diantaranya. Median yang tinggi memang memiliki sifat self-regulating bagi pejalan kaki sehingga mampu “memaksa” pejalan kaki untuk menggunakan JPO. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini menyulitkan bagi pengguna kursi roda sehingga fasilitas penyeberangan menjadi tidak inklusif.

Menurut Dewanti, terdapat beberapa solusi demi tercapainya aksesibilitas JPO yang baik. Pertama berupa pemasangan lift pada JPO. Namun solusi ini terhitung mahal, ditilik dari segi pengadaan maupun pemeliharaannya. Kedua, pemasangan ram dengan kelandaian yang sesuai (maksimal 20 derajat). Demi tercapainya hal ini, tentu dibutuhkan luas lahan yang cukup pada ruang jalan. Pertanyaannya, apakah masih tersisa lahan, terutama pada jalan di kawasan perkotaan?

“Tidak banyak ruang jalan yang tersisa (untuk ram). Dibanding keduanya, memang solusi yang paling memungkinkan adalah perlintasan sebidang. Namun, kalau kita akan membangun (JPO) tentu harus dilihat volume lalu lintas dan kecepatan kendaraannya seperti apa. Jalan dengan kelas tertentu didesain untuk kecepatan rencana tertentu, sehingga jika diberi zebra cross yang mengakibatkan kecepatan rencananya menurun kan juga tidak tepat,” komentar Dewanti.

Perlintasan sebidang (seperti zebra cross dan pelican cross) umum digunakan pada ruas jalan dan ramah disabilitas. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa perlintasan sebidang memiliki potensi kecelakaan yang lebih besar. Terlebih apabila kecepatan dan volume kendaraan pada ruas jalan tersebut memang tinggi. Di sini, kecermatan perencana dalam mendesain fasilitas penyeberangan menjadi sangat penting. Menurut Dewanti, pelican cross sangat memungkinkan untuk digunakan pada ruas jalan dengan kecepatan rencana dan volume kendaraan yang rendah hingga sedang. Akan sangat baik apabila didukung dengan sikap disiplin dan saling  menghargai antara pengendara dan pejalan kaki, mental yang masih menjadi PR bagi masyarakat Indonesia untuk dikembangkan.

“Jangan sampai pejalan kaki yang harus selalu mengalah (pada kendaraan). Ini tidak boleh juga. Kalau ada pejalan kaki ya kita harus menghormati. Ini sudah persoalan lain lagi karena menyangkut kedisiplinan dari pengendara,” lanjut Dewanti.

Peliknya permasalahan aksesibilitas ini masih ditambah dengan polemik lain, yakni peniadaan atap dan revitalisasi JPO yang menuai banyak komentar miring warganet. Menilik kembali dari Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, disebutkan bahwa fasilitas penyeberangan harus memerhatikan nilai estetika sekaligus kebutuhan pejalan kaki. Artinya, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk menambah nilai estetika JPO, dengan catatan fungsional JPO sebagai fasilitas penyeberangan jalan tetap diutamakan.

“Kalau saya, berangkat dari fungsinya. Fungsi JPO kan untuk membantu pejalan kaki menyeberang dengan selamat, syukur kalau bisa nyaman. Tapi yang paling penting selamat dulu,” komentar Dewanti menanggapi isu revitalisasi JPO. Menurutnya, penting untuk memastikan JPO berfungsi secara optimal, dengan estetika sebagai nilai tambah.

Estetika yang baik tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi JPO terkait. Namun, hal ini juga dapat berdampak buruk, contohnya pada JPO instagrammable di Gelora Bung Karno. Dikhawatirkan dengan adanya hiasan meriah yang terletak pada ruang jalan, dalam kasus ini lampu warna-warni pada JPO, konsentrasi pengendara dapat terpecah dan menimbulkan petaka. Selain faktor fungsional, hal-hal seperti ini penting untuk dikaji sebelum JPO direvitalisasi.

“Kalau memang mau street furniture untuk memperindah jalan, kasihlah di pinggir jalan saja. Jangan seperti itu karena tentu dia (pengendara) akan melihat ke arah JPO, tidak ke situasi lalu lintas. Termasuk juga yang atapnya dibuka, alasannya supaya bisa selfie. Ini sudah di luar konteks sebagai fungsi JPO itu sendiri. Menurut saya sudah tidak pas,” tandas Dewanti.

Tulisan oleh Hayfa Amira

Gambar oleh Widi Rahmat