Katanya Hearing

Hearing departemen merupakan satu di antara cara untuk menyampaikan aspirasi, masukkan, dan informasi dari mahasiswa ke departemen dan sebaliknya. Selain hal tersebut, hearing departemen juga bisa menjadi sebuah kegiatan silaturahmi antara departemen dengan mahasiswa. Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (KMTS) UGM baru-baru ini telah menyelenggarakan hearing departemen pada tanggal 20 November 2020.

Pada dasarnya hearing bertujuan untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya tingkat respons dan ekspektasi publik (dalam hal ini mahasiswa) terhadap suatu kebijakan yang berlaku serta yang direncanakan di masa mendatang. Hearing tidak hanya berfokus pada tataran penyebarluasan informasi searah, melainkan juga membangun komunikasi yang lebih interaktif antara para pembuat kebijakan (policy makers) dengan pihak terkait.

Walaupun demikian, penulis berpendapat, agaknya hearing yang baru saja dilakukan oleh KMTS terasa sedikit nirfaedah. Hal ini dilatarbelakangi dari banyaknya jawaban departemen yang dirasa tidak terlalu memuaskan dan ditemukannya sejumlah kesalahan berpikir (logical fallacy) dalam hearing tersebut. Penulis merasa, hearing tersebut bisa menjadi contoh yang sangat baik bagi kita semua untuk mengenali beberapa contoh dari kesalahan berpikir (logical fallacy). Berikut beberapa kesalahan berpikir yang penulis temukan dalam hearing departemen kemarin:

      Rekapan presensi tidak bisa dilakukan secara berkala, karena keterbatasan kemampuan pihak akademik

Sumber: Presentasi Hearing Departemen, 20 November 2020

Salah satu aspirasi yang disuarakan oleh Anggota Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil UGM adalah rekap presensi yang dapat diperbaharui secara berkala (misal harian). Hal ini guna meminimalisasi kekeliruan dalam presensi, sehingga mahasiswa dapat segera melapor ke pihak akademik apabila dirasa terjadi kesalahan dalam rekap presensi.

Walaupun demikian pihak departemen menjawab aspirasi ini dengan argumen yang ‘salah arah’. Argumen yang digunakan departemen adalah ketidakmampuan pihak akademik untuk memperbaharui rekap presensi secara berkala. “Coba lain kali kalian ke akademik , melihat beratnya beban pihak akademik saat merekap presensi”, ujar salah satu dosen.

Hal ini merupakan suatu kesalahan berpikir yang dikenal dengan istilah Argumentum Ad Misericordiam. Argumentum Ad Misericordiam adalah argumen yang didasarkan pada perasaan belas kasihan sehingga pihak lain mau menerima atau membenarkan kesimpulan dari argumentasi tersebut. Kesimpulan yang diambil tidak sama sekali menitikberatkan pada permasalahan yang terjadi, tapi semata-mata karena perasaan belas kasihan, cinta, dan aspek rasa lainnya.

Definisi tersebut sangat sesuai dengan argumen yang telah departemen sampaikan di atas. Hearing departemen seharusnya dijadikan sebagai suatu wadah untuk mencari solusi bersama-sama. Dalam kasus ini, bersama-sama mencari sistem yang lebih efektif untuk rekap presensi. ‘Kita’ seharusnya lebih fokus untuk memecahkan persoalan ‘bagaimana meringkas waktu rekap presensi’ ketimbang membahas besarnya beban pekerjaan pihak akademik.

 

      Militer masuk kaderisasi dan “karena dulu saya begitu” 

Sumber: Presentasi Hearing Departemen, 20 November 2020

       Masih lekat di ingatan kita tentang kontroversi yang terjadi di masyarakat saat Kemendikbud akan bekerja sama dengan TNI dalam penyelenggaraan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Senada dengan hal tersebut, penulis berpendapat pembentukan karakter secara militeristis sangatlah tidak tepat, terlebih jika diterapkan di bangku perkuliahan.

Dalam konteks nasionalisme, dalil ‘sejumlah’ pihak departemen, bahwa pendidikan karakter secara militeristis bertujuan agar mahasiswa bisa cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari kuranglah tepat. Hal ini dikarenakan pemahaman dan pengaplikasian nasionalisme sangatlah beragam, sesuai dengan bidang masing-masing. Berdasarkan pasal 6 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), salah satu keikutsertaan warga negara dalam upaya Bela Negara dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesi.

Mengutip ucapan Direktur Eksekutif SETARA[1] [2]  Institute, Ismail Hasani, “Menjadi pertanyaan, dalam dunia kampus yang notabene dunia akademik, mengapa bentuk bela negara yang dicanangkan bersifat militeristik? Hal ini tidak relevan, karena seharusnya yang dicanangkan adalah pengabdian sesuai dengan profesi,”

 

      Ketika mahasiswa menuntut agar dosen datang tepat waktu, departemen menuntut balik mahasiswa untuk datang tepat waktu juga

Sumber: Presentasi Hearing Departemen, 20 November 2020

Pernyataan ini merupakan salah satu kesalahan logika yang dikenal dengan istilah Tu Quoque. Tu quoque (‘kamu juga’ dalam bahasa Latin) adalah kesalahan berlogika dalam bentuk menyanggah pendapat lawan karena ia kita anggap munafik. Dalam hal ini ‘sejumlah’ pihak departemen menganggap bahwa argumen mahasiswa tidak valid karena karakter personalnya. Tu quoque muncul ketika anggapan bahwa lawan gagal menunjukkan karakter yang konsisten dengan pendapat yang ia sampaikan.

Pihak departemen tidak terlalu memberi jawaban yang cukup meyakinkan, sebagai suatu solusi agar dosen tidak lagi terlambat datang ke kelas (lebih dari 30 menit). Namun, pihak departemen membalasnya dengan menuding mahasiswa juga harus datang tepat waktu dan menggunakan username akun Zoom yang sesuai dengan ketentuan. Walaupun mahasiswa datang terlambat dan menggunakan username yang tidak sesuai, hal itu tidak membatalkan argumen dari mahasiswa bahwa perbuatan dosen yang terlambat adalah suatu kesalahan.

 Pada akhirnya, hearing departemen seharusnya menjadi sebuah media komunikasi dua arah antara mahasiswa dan pihak departemen. Hearing departemen tidak hanya digunakan sebagai ruang advertensi dan penghakiman departemen, melainkan juga media bersama untuk mencari sebuah solusi atas masalah yang ada. Keputusan akhir yang keluar sebagai solusi memanglah tidak bisa memuaskan semua pihak. Tetapi setidaknya sebagai mahasiswa kita telah melakukan sebuah perbuatan yang menjadi identitas kita, memperjuangkan aspirasi.

 

Sumber:

Huzaini, Moch. Dani Pratama. 2020. “Menyoal Rencana Pendidikan Militer Masuk Kampus”.HukumOnline.com.https://pro.hukumonline.com/berita/baca/lt5f3cd3b9d7be9/menyoal-rencana-pendidikan-militer-masuk-kampus?page=all. Diakses pada 21 November 2020

Tulisan oleh Yoga Faerial
Gambar oleh Setiawan Nugroho