Beranda Berita Banjir Kalsel: Hasil dari Konsesi “Berkelanjutan”?

Banjir Kalsel: Hasil dari Konsesi “Berkelanjutan”?

oleh Redaksi

Kita tidak akan pernah lupa saat kembali menilik kejadian bencana banjir tepat pada awal tahun 2020. Bersamaan dengan momentum pergantian tahun, Indonesia digegerkan dengan kejadian banjir di Jabodetabek dengan penyebab utamanya adalah curah hujan yang tinggi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan yang terjadi sekitar Jabodetabek pada waktu tersebut termasuk yang paling ekstrem dan tertinggi sejak 154 tahun lalu.

Belum sepenuhnya sembuh dari duka akan kejadian tersebut, pada awal tahun 2021, bencana banjir terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Banjir tersebut terjadi pada Kamis (14/1) dengan ketinggian air mencapai 2-3 meter. Namun, apakah hujan deras masih tetap disinyalir sebagai penyebab bencana banjir tersebut?

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel, Hanifah Dwi Nirwana, kejadian banjir di Kalsel kali ini dipicu oleh beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, antara lain curah hujan yang luar biasa tinggi atau anomali curah hujan, pasang surut air laut, morfologi daratan, sedimentasi sungai, dan alih fungsi lahan.

Koordinator Informasi Geospasial Tematik Bidang Kebencanaan Badan Informasi Geospasial (BIG), Ferari Pinem, mengatakan bahwa wilayah Kalsel dari aspek morfometri dan morfologi memang rentan banjir. Perubahan tata guna lahan menambah kerentanan tersebut sehingga ketika terjadi hujan ekstrem, risiko banjir meluas seperti yang terjadi saat ini.

Alih-alih permasalahan alam dan tata guna lahan yang kompleks, hujan ekstrem yang kerap kali dianggap sebagai penyebab utama banjir justru seakan-akan memangkas dalamnya akar permasalahan yang sebenarnya. Proporsi deforestasi justru dapat dikatakan lebih berpengaruh karena berdasarkan Global Forest Watch (GFW), Kalimantan Selatan kehilangan 82.700 ha atau sekitar 12% hutan primernya dari tahun 2002 hingga 2019. Mengapa demikian? Alasannya terdengar menyentil sebab dikutip dari Kompas.com, beban izin konsesi alih fungsi lahan hingga saat ini menunjukkan 50% dikuasai tambang dan kelapa sawit.

Tercatat bahwa deforestasi disebabkan oleh alih fungsi lahan hutan, terutama untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan menjadi pertambangan dipertegas dengan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel yang menyatakan bahwa luas bukaan tambang atau lahan terganggu di Kalsel sebesar 58.043,82 ha. Sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalsel mencapai 64.632 ha.

Hal ini tentunya mendorong pertanyaan mengenai peraturan yang mewadahi praktik tersebut. Berdasarkan kajian terhadap Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan, pasal 5 menyebutkan bahwa salah satu tujuan penataan ruang Pulau Kalimantan memang untuk menjadi pusat pertambangan mineral, batu bara, minyak dan gas; serta pusat perkebunan kelapa sawit, karet, dan hasil hutan secara “berkelanjutan”. Pada pasal 8, ditekankan bahwa strategi yang perlu dilakukan sejalan dengan tujuan penataan ruang (sebagai pertambangan dan perkebunan) tersebut adalah memerhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antara keduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu parameter pemenuhan daya dukung lingkungan hidup karena secara alamiah berfungsi sebagai area tangkapan air. Namun, berdasarkan kajian lembaga penelitian dan media, wajah DAS pada bagian hulu justru berubah menjadi pertambangan, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), bahkan daerah penebangan liar. Hal ini menyebabkan kemampuan wilayah sekitar DAS untuk meresapkan air berkurang, melimpahnya air permukaan hingga ke daerah hilir, dan berujung pada banjir saat curah hujan ekstrem terjadi.

Kerusakan ini dipertegas melalui catatan dari Auriga Nusantara (lembaga riset dan pemerhati lingkungan) yang menunjukkan bahwa sekitar 504,47 ha lahan di Kalimantan Selatan sudah beralih fungsi menjadi area tambang melalui penerbitan 245 izin yang masuk tahap operasi produksi. Dari total luas lahan tersebut, 96% berada di kawasan hutan DAS Barito.

Perubahan tata guna lahan juga terjadi di bagian hilir DAS, yakni lahan gambut yang perlahan berganti menjadi perkebunan sawit. Padahal, lahan gambut memiliki daya serap air yang tinggi untuk mencegah terjadinya banjir. Hal ini dipertegas dengan adanya catatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa 60% lahan gambut di Kalsel rusak karena alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit.

Selain itu, menilik kembali Perpres No. 3 Tahun 2012 Pasal 5, kelestarian kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan kawasan berfungsi lindung yang bervegetasi hutan tropis basah paling sedikit seharusnya 45% dari luas Pulau Kalimantan sebagai paru-paru dunia. Ironisnya, optimalisasi peraturan tersebut masih sebatas tinta hitam di atas kertas putih. Pernyataan ini didasarkan pada data dari Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Hutan dan Non Hutan Menurut Provinsi Tahun 2014-2019 oleh Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa luas tutupan lahan hutan di Kalsel hanya 926,9 ha atau 25% di tahun 2019. Lantas, bagaimana bentuk praktik nyata “berkelanjutan” oleh industri dan pihak-pihak terkait terhadap pemenuhan persyaratan 45% hutan lindung dari total luas tanah Borneo tersebut?

Apakah pemberian izin atas alih fungsi lahan tersebut masih relevan jika dilafalkan sebagai “konsesi” atau justru lebih tepat disebut sebagai kongkalikong? Mungkin dua tangan kita belum mampu menghentikan kurang baiknya penjagaan lingkungan dari alih fungsi lahan yang tidak hanya terjadi di Kalimantan. Setidaknya, jaga dua tangan kita agar tidak menutup mata atau telinga terhadap krisis isu lingkungan oleh perilaku eksploitasi yang melupakan tanggung jawab hanya demi pundi-pundi keuntungan. Apalah arti sebuah regulasi dari pihak yang memerintah jika tidak ada paksaan tegas untuk menepati, bahkan tidak terdapat penegakan hukum jika penyelewengan aturan terjadi?

Data oleh Salma Zulfa
Tulisan oleh Ria Verensia
Visual oleh Salma Putri Afida

Artikel Terkait