Beranda Sipiloka Analisis Jalan Ambles di Tol Cipali: Kronologi, Penyebab, dan Penanganan

Analisis Jalan Ambles di Tol Cipali: Kronologi, Penyebab, dan Penanganan

oleh Redaksi

Selasa (9/2) Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) KM 122+400 arah Jakarta mengalami ambles. Amblesnya jalan ini terjadi akibat adanya pergerakan tanah yang salah satunya dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan sehingga menyebabkan besarnya volume air masuk ke dalam lapisan dasar (base layer) melalui keretakan pada badan jalan. Selain itu, banjir yang terjadi di Jalur Pantura memaksa kendaraan-kendaraan untuk melintasi jalan tol tersebut. Pengalihan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan beban lalu lintas di ruas jalan tol tersebut.

Selain faktor hidrologi, terdapat faktor-faktor lain yang berperan dalam peristiwa ini. Salah satu faktor yang disinyalir kuat turut menjadi penyebab amblesnya Tol Cipali adalah faktor geoteknik. Untuk mengulik lebih dalam terkait teknis amblesnya Tol Cipali, Clapeyron membahas permasalahan ini bersama pihak Operator Tol Cipali dan Dosen Geoteknik UGM.

Faktor Penyebab Amblesnya Jalan Tol

Tingginya intensitas curah hujan ternyata bukanlah satu-satunya faktor penyebab amblesnya Jalan Tol Cipali KM 122. Permasalahan geoteknik, seperti material timbunan yang kurang padu atau mudah tererosi, diduga menjadi penyebab lainnya.

Di sisi lain, tim peneliti gerakan tanah dari Pusat Penelitian Geoteknologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung justru menemukan adanya lapisan lempung dari pelapukan batuan tufa pada timbunan tanah jalan tol yang ambles tersebut. Keberadaan lapisan lempung pada material timbunan tanah ini dinilai bisa menjadi bidang gelincir akibat terjadinya kejenuhan tanah saat hujan deras. Hal tersebut dikarenakan lapisan lempung bersifat impermeable atau kedap air sehingga ketika terjadi hujan deras, maka air dapat tertampung dan memberi tekanan pada material timbunan tanah.

LIPI  juga menyebutkan bahwa material timbunan tanah pada badan Jalan Tol Cipali berada pada daerah lereng alami yang landai. Fakta ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut memiliki potensi kejadian tanah longsor yang cukup kecil. Hal ini dikarenakan semakin curam kondisi suatu lereng, maka semakin besar pula kemungkinan material penyusunnya untuk jatuh ke tempat yang lebih rendah akibat pengaruh tarikan gaya gravitasi.

Sementara itu, hingga saat ini pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa amblesnya jalan masih belum ditentukan. Anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo, mendorong agar tim penilai ahli untuk bisa memberikan ketetapan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa amblesnya Tol Cipali.

Pihak-pihak terkait seperti konsultan, kontraktor, pengawas, dan operator seharusnya bisa memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan yang berlaku. Oleh karena itu, bukanlah tidak mungkin bahwa penentuan pihak yang bertanggung jawab atas amblesnya jalan tol dapat dikaji dan diidentifikasi.

Karakteristik Wilayah Jalan Tol

Jalan Tol Cipali KM 122 yang mengalami ambles berada di Jalur Cirebon menuju Jakarta. Lebih tepatnya, jalan tersebut berlokasi di Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.

Dilansir dari cnbcindonesia.com, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Andriani, mengatakan bahwa secara umum lokasi kejadian merupakan daerah landai hingga agak curam yang berada di bantaran Sungai Cipunagara dengan kemiringan lereng kurang dari 20 derajat. Daerah tersebut juga memiliki potensi gerakan tanah rendah, kecuali pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai dan gawir.

Perekayasa Madya Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Nur Hidayat, sebagaimana yang dilansir dari tekno.co, mengatakan bahwasanya apabila dilihat dari struktur geologi regional, daerah tersebut relatif aman terhadap struktur patahan.

Tanggapan Pihak Pengelola Tol Cipali

Agung Prasetyo selaku Direktur Operasi ASTRA Tol Cipali memberikan keterangannya kepada Clapeyron Media terkait peristiwa amblesnya Tol Cipali KM 122. Dalam keterangannya, Agung membenarkan bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh intensitas dan curah hujan tinggi serta diperparah oleh kendaraan berat yang melintas untuk menghindari banjir di Jalur Pantura.

Selain memberi keterangan terkait faktor pemicu amblesnya jalan, Agung juga menjelaskan terkait karakteristik tanah di Jalan Tol Cipali yang terdiri dari tanah lunak dan ekspansif. Lokasi KM 122 berada di atas daerah patahan atau Sesar Lembang dengan karakteristik tanah lunak. Tanah lunak memiliki ciri plastisitas tinggi, mudah mampat, mudah menyusut saat kering, dan mudah mengembang saat basah.

Meskipun demikian, Agung mengatakan bahwa kondisi tersebut sudah diketahui saat perencanaan pembangunan jalan tol di daerah tersebut. Untuk itu, digunakan perkerasan lentur (flexible pavement) sebagai penyesuaian atas sifat kembang susut tanah dan dilakukan penggantian lapisan tanah dasar sesuai material yang direncanakan.

Lantas, apakah monitoring yang dilakukan juga sudah maksimal?

Agung kembali menegaskan bahwa ASTRA Tol Cipali sudah secara berkala melakukan pengecekan secara rutin. Mekanisme monitoring tersebut dilakukan melalui inspeksi kondisi aset yang dimiliki oleh Tol Cipali, meliputi drainase, pavement, dan slope. Selain itu, ASTRA Tol Cipali juga akan segera bertindak cepat melakukan inspeksi apabila terjadi kasus khusus, seperti gempa, banjir dan bencana alam lainnya.

Bagaimana solusi yang sudah diberikan untuk penanganan tersebut?

Agung menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah yang sudah ditempuh untuk menangani retakan tanah di KM 122. Langkah pertama, ASTRA Tol Cipali telah  memberlakukan rekayasa lalu lintas lawan arus (contraflow) sepanjang 1 KM, yakni dari KM 121+800 s.d. 122+800 sebagai bentuk antisipasi terhadap kepadatan volume kendaraan di jalan tersebut.

Langkah kedua, tepatnya pada hari ke-7 setelah kejadian tersebut, ASTRA Tol Cipali juga telah selesai membangun dua jalur sementara atau detour di median sepanjang empat ratus meter guna normalisasi arus lalu lintas di Tol Cipali selama masa pengerjaan perbaikan jalan (1,5 bulan). Selain itu, Agung menambahkan bahwa kejadian ini tidak berpengaruh bagi operasional jalan tol. Hal ini dikarenakan setelah terjadinya retakan tanah di KM 122, ASTRA Tol Cipali segera memberlakukan contraflow di ruas Tol Cipali sehingga tidak ada penutupan jalur ke arah Jakarta.

Langkah ketiga, ASTRA Tol Cipali melakukan pembangunan jalur sementara di KM 122  dengan memasang sheet pile. Sheet pile merupakan dinding vertikal tipis yang berfungsi untuk menahan tanah dan menahan masuknya air ke dalam lubang galian.

Sementara itu, selain melakukan penanganan terhadap retakan tanah, ASTRA Tol Cipali juga melakukan pembangunan untuk jalur yang mengalami retakan di KM 122 melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi pengeboran struktur soldier pile sebagai penahan longsoran, pengurugan area keretakan dengan material yang ditentukan hingga top badan jalan, perkerasan terhadap badan jalan, pemasangan sistem drainase atau saluran pengairan, hingga pemasangan beberapa aksesoris jalan seperti guardrail dan delineator.

Sudut Pandang Akademisi

Menurut penuturan dari salah satu Dosen Geoteknik Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, Fikri Faris, pergerakan tanah yang mengakibatkan amblesnya jalan pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol meliputi topografi, diantaranya morfologi, kecuraman lereng, material penyusun lereng, tata guna lahan, dan vegetasi. Sementara itu, faktor pemicu pergerakan tanah meliputi faktor alam dan faktor kegiatan manusia.

Indikasi sebuah jalan akan mengalami ambles sangat ditentukan oleh karakteristik tanah, topografi, serta luasan area yang bergerak. Indikator tersebut akan mudah dilihat pada daerah dengan topografi relatif landai dengan material penyusun lereng berupa tanah kelempungan atau berbutir halus.

Fikri juga berpendapat terkait kemungkinan adanya indikator yang menunjukkan akan terjadinya keruntuhan tanah pada kasus Tol Cipali, misalnya median yang mengalami sedikit penurunan atau keretakan. Hanya saja, kemungkinan tersebut bisa tidak terdeteksi atau kurang diperhatikan karena kondisi jalan cukup panjang dan tergantung oleh skala longsoran yang terjadi.

Kepala PVMBG, Andiani, mengatakan bahwa jenis gerakan tanah yang terjadi berupa nendatan atau rayapan. Gerakan ini ditandai dengan retakan pada badan jalan. Terkait hal tersebut, Fikri juga mengatakan bahwa jenis gerakan tanah sebenarnya sangat tergantung pada material penyusun timbunan dan kecuraman lereng.

Material penyusun timbunan yang relatif homogen dan kohesif serta kemiringan lereng yang tidak terlalu curam akan cenderung mengalami pergerakan tipe nendatan atau rotasi. Tipe inilah yang terjadi pada peristiwa amblesnya Tol Cipali. Cirinya berupa pergerakan terbatas, menyebabkan penurunan, serta mempunyai massa material yang cenderung masih utuh. Konsekuensi jenis pergerakan tanah ini dari segi deformasi mengakibatkan penurunan dan keretakan pada jalan serta penggelembungan pada bagian kaki longsor.

Fikri menambahkan bahwasanya tingginya intensitas curah hujan mengakibatkan pembasahan pada timbunan dan meningkatkan kadar air pada tanah. Tanah yang awalnya tidak jenuh air kemudian menuju pada kondisi jenuh air sehingga ikatan partikel tanah menjadi berkurang. Ketika kondisi mencapai kritis (terjadi infiltrasi berlebihan ditambah durasi hujan yang relatif lama), maka akan terjadi  kenaikan tekanan air pori pada tanah dan penurunan kekuatan geser efektif pada tanah. Hal tersebut berdampak pada berkurangnya kekuatan lereng dalam mendukung beban secara keseluruhan.

Kemudian, terkait faktor material timbunan, Fikri juga menjelaskan bahwa kepadatan tanah timbunan merupakan faktor internal. Material timbunan harus memenuhi syarat tertentu yang memenuhi spesifikasi teknis. Pada umumnya, penggunaan tanah timbunan yang mengandung tanah lempung dengan plastisitas tinggi seharusnya dihindari. Hal ini dikarenakan tanah tersebut cukup sensitif terhadap perubahan air sehingga dapat berdampak pada penurunan stabilitas timbunan akibat pembasahan. Sementara itu, erosi merupakan faktor eksternal dan hanya akan terjadi apabila terdapat faktor pemicunya.

Di samping itu, Fikri juga berpendapat terkait adanya temuan lapisan lempung pada material timbunan yang ditemukan oleh LIPI. Menurutnya, hal tersebut perlu diselidiki lebih lanjut. Temuan tersebut penting untuk ditelusuri karena tanah lempung mempunyai kekuatan geser yang relatif rendah dibandingkan dengan tanah berbutir kasar. Selain itu, kemampuannya dalam meresapkan air yang kurang baik menyebabkan tanah lempung bersifat kedap air sehingga terjadi proses pembasahan (wetting) yang menyebabkan kadar airnya meningkat. Lebih parahnya lagi, karakteristik fisik dan mekanik suatu tanah bisa berubah akibat bertambahnya kadar air. Saat kadar airnya tinggi, tanah lempung bisa kehilangan kekuatan secara drastis bahkan bisa bersifat cair.

Fikri berpendapat terkait ada atau tidaknya inovasi teknologi yang bisa digunakan dalam penanganan amblesnya jalan tol ini tergantung pada kondisi nyata di lapangan. “Metode harus sesuai kondisi lapangan dan aset yang ada sehingga bisa efektif menyelesaikan masalah. Sehingga bukan hanya dikejar cepat tetapi bisa menyelesaikan masalah,” ungkap Fikri.

Data oleh Ardinata Prasmono

Tulisan oleh Indah Wildan Nuriah

Gambar oleh Astra Infra Toll Road, disunting oleh Arieq Zulian

Artikel Terkait