Beranda Berita Bukit Algoritma: Sebuah Khayalan Belaka?

Bukit Algoritma: Sebuah Khayalan Belaka?

oleh Redaksi

Rencana pembangunan Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ini disebut akan menjadi Silicon Valley versi Indonesia. Pusat teknologi mutakhir 4.0 ini nantinya akan berdiri di atas lahan seluas 888 hektare.

Rencana pembangunan Bukit Algoritma baru terlihat jejaknya pada Februari lalu dan pembangunannya akan dimulai pada pertengahan Mei nanti. Adapun lokasi Bukit Algoritma sudah terdaftar di platform peta digital, Google Maps. Sebenarnya, bagaimana proyek ini nantinya akan berjalan?

Bukit Algoritma akan berdiri megah di wilayah Cikidang dan Cibadak, Sukabumi. Proyek ini dibangun oleh berbagai pihak, di antaranya BUMN PT Amarta Karya (AMKA) (Persero) sebagai kontraktor, PT Kiniku Bintang Raya sebagai pemilik lahan, dan PT Bintang Raya Lokalestari sebagai pihak pengembang teknologi dan inovasi. Ketiga perusahaan tersebut telah menandatangani kontrak pekerjaan pengembangan Bukit Algoritma pada Rabu (7/4) lalu di Jakarta.

Bukit Algoritma diperkirakan akan selesai dibangun dalam waktu sebelas tahun dengan tiga tahapan pembangunan. Tahap pertama pembangunannya akan dilaksanakan selama tiga tahun, dimulai dari tahun 2021. Pada pembangunan tahap pertama, akan dilaksanakan pembangunan akses jalan dari Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) ke kawasan Bukit Algoritma dan juga jalan penunjang akses kawasan sepanjang tiga puluh kilometer.

“Kelak kawasan ini akan jadi salah satu pusat untuk pengembangan inovasi dan teknologi tahap lanjut, seperti kecerdasan buatan, robotik, drone, hingga panel surya untuk energi yang bersih dan ramah lingkungan,” ujar Budiman Sudjatmiko, Ketua Pelaksana PT Kiniku Bintang Raya, dilansir dari beritasatu.com.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyebut Bukit Algoritma ini sebagai rencana pengembangan kota baru dengan mengambil tema Silicon Valley. Bagaimana tidak, di lahan seluas 888 hektar ini nantinya akan dibangun juga kawasan energi terbarukan sebesar satu giga watt yang besarnya cukup untuk mengalirkan listrik di sebuah kota kecil.


Tata Letak Proyek

Dari segi lokasi, Bukit Algoritma yang mengadaptasi konsep Silicon Valley di California ini berada jauh dari pusat penelitian dan kawasan industri. Terlebih lagi, tidak terdapat universitas atau perguruan tinggi di sekitar lokasi tersebut. Hal ini sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan sebuah kawasan riset yang identik dengan kolaborasi dan inovasi.

Meski terletak cukup jauh dari kawasan perguruan tinggi, saat ini telah ada tiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menyetujui pembangunan pusat riset di Bukit Algoritma. PTN tersebut adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Padjajaran. Ketiga PTN ini masing-masing mendapatkan hibah lahan seluas 25 hektar yang akan digunakan sebagai pusat riset mereka.

Selain lokasinya yang kurang strategis, keadaan wilayah sekitar Bukit Algoritma juga menjadi tantangan tersendiri. Hal tersebut dikarenakan wilayah yang didominasi oleh perkebunan sawit ini juga berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Terlebih lagi, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi geografis dari kawasan yang akan dibangun ini diapit oleh dua sesar Citarik dan Cimandiri sehingga kawasan ini memiliki potensi risiko gempa bumi yang cukup tinggi.

Dari data riwayat gempa BMKG, tercatat setidaknya sebelas kejadian gempa yang berpotensi menyebabkan kerusakan pernah terjadi di sekitar lokasi proyek ini. Dengan risiko gempa yang tinggi, pembangunan Bukit Algoritma disarankan untuk menggunakan prinsip bangunan tahan gempa serta mengacu pada building code.

Konsep bangunan tahan gempa penting untuk diaplikasikan demi untuk meminimalkan risiko kerugian apabila terjadi gempa di kemudian hari. Saat wawancara dengan CNN Indonesia, Nikolas Agung selaku Direktur Utama PT. AMKA menyatakan bahwa nantinya pembangun akan mengadopsi teknologi dari Jepang sehingga infrastruktur yang dibangun dapat dipastikan kuat dan tahan terhadap bencana alam seperti gempa bumi.


Sumber Dana

Megaproyek ini membutuhkan biaya yang jumlahnya fantastis. Untuk membangun akses jalan raya, fasilitas air bersih, pembangkit listrik, gedung konvensi, dan fasilitas lainnya, dibutuhkan dana sebesar 1 miliar dollar atau setara dengan 18 triliun rupiah. Dana ini akan menjadi modal pembangunan selama tahap pertama, yaitu mulai tahun 2021 hingga 2023. Lantas, dari manakah sumber uang 18 triliun rupiah tersebut?

Proyek Bukit Algoritma diklaim sebagai proyek milik swasta, bukan proyek milik negara. Artinya, seluruh pendanaan untuk proyek tersebut bukan berasal dari APBN, melainkan berasal dari beberapa investor. Sangat disayangkan, belum ada investor asal Indonesia yang ikut dalam pendanaan proyek Bukit Algoritma. Dilansir dari Tempo, Budiman mengatakan investor yang telah bergabung dalam proyek Bukit Algoritma berasal dari berbagai negara, salah satunya adalah Kanada.

Meskipun pendanaannya mengandalkan investor, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menyebut bahwa proyek ini berpotensi mengganggu APBN. Hal ini dapat terjadi apabila proyek Bukit Algoritma mangkrak nantinya.

Bhima melihat adanya kemungkinan proyek ini akan mangkrak. Hal ini didasarkan pada beberapa kritik soal ekosistem sains dan inovasi di Indonesia yang dinilai masih belum memadai untuk menciptakan sebuah daerah khusus seperti Silicon Valley. Proyek yang telah mangkrak, baik milik pemerintah maupun swasta, biasanya bermasalah pada masa uji kelayakan. Pemaksaan kelayakan suatu proyek dapat mengakibatkan mangkraknya proyek tersebut di kemudian hari.

Secara garis besar, semua proyek yang mangkrak atau bermasalah pada akhirnya juga melibatkan negara. Hal tersebut dikarenakan negara harus meningkatkan suntikan modal kepada perusahaan-perusahaan yang proyeknya mangkrak. Risiko ini disebut dengan risiko kontingensi, sebuah risiko yang tidak tampak secara langsung.

Meskipun memakai dana dari investor, pada praktiknya BUMN dengan jaminan dari pemerintah akan menerbitkan surat utang atas proyek tersebut. Surat utang dengan jaminan negara tersebut dibeli oleh para investor sehingga jika nantinya proyek tersebut mangkrak, investor yang membeli surat utang ini akan mendapat proteksi dari pemerintah melalui jaminan APBN.


Masa Depan Startup Indonesia

Proyek yang digadang-gadang akan menjadi pusat pengembangan teknologi terbarukan Indonesia pastinya akan memberikan banyak pengaruh ke berbagai bidang. Salah satu bidang yang paling merasakan manfaatnya adalah bisnis, khususnya perusahaan rintisan (startup).

Bukit Algoritma sebagai akselerator di bidang teknologi dapat menjadi wadah untuk menghubungkan konsumen dengan startup. Dengan adanya Bukit Algoritma, nantinya diharapkan semakin banyak perusahaan startup berstatus unicorn hingga decacorn dapat lahir. Secara keseluruhan, adanya Bukit Algoritma ini dapat memacu pertumbuhan startup Indonesia menjadi lebih cepat dan akhirnya dapat bersaing dengan startup negara lain.

Di Bukit Algoritma, perusahaan startup yang berkembang bukan hanya perusahaan-perusahaan e-commerce karena perusahaan e-commerce dapat berkembang sendiri tanpa pusat teknologi seperti Silicon Valley. Dalam pengembangan perusahaan startup ini, tidak bisa jika hanya mengandalkan fasilitas fisik berupa Bukit Algoritma. Akan tetapi, sumber daya manusia yang kompeten dalam bentuk mentor bisnis hingga teknologi juga diperlukan untuk bisa membimbing masyarakat, khususnya pemuda-pemudi Indonesia.

Pembangunan Bukit Algoritma dapat menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi Indonesia. Karena nantinya, Bukit Algoritma akan menjadi markas perusahaan-perusahaan teknologi dan tempat pengembangan industri kesehatan, yaitu Nano Technology Center.

Satu hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut sebelum menjadikan mimpi ini sebuah kenyataan adalah kemampuan negara kita sendiri. Pembangunan Bukit Algoritma dengan Silicon Valley sebagai inspirasinya jangan hanya menjadi gimmick saja.

Pembangunan fisik bangunan memang perkara yang mudah. Namun, untuk membangun ekosistem seperti Silicon Valley diperlukan dukungan dari berbagai pihak. Misalnya, pemuda-pemudi Indonesia pemilik perusahaan startup dapat menjadi mentor atau pembimbing bagi mereka yang ingin mendirikan perusahaan rintisan.

Dalam mengembangkan sebuah perusahaan rintisan, perlu perencanan bisnis yang matang. Mulai dari teknologi yang digunakan dalam proses produksi hingga teknik pemasaran produknya. Oleh karena itu, tidak bisa mengembangkan startup hanya dengan memakai fasilitas kawasan Bukit Algoritma. Kalau Bukit Algoritma sudah berdiri dan menghasilkan produk, kemudian siapa yang akan menjadi konsumennya dan membeli produk-produk yang dihasilkan tersebut?

Sah-sah saja apabila pemerintah mengizinkan pembangunan megaproyek. Akan tetapi, pemerintah perlu lebih selektif dalam memilih proyek-proyek besar yang akan direalisasikan, baik proyek milik pemerintah maupun swasta. Hal ini dikarenakan, dengan jumlah dana yang sama, kita bisa membangun lebih banyak proyek berskala kecil-menengah. Proyek-proyek ini nantinya akan memberi manfaat lebih luas pada masyarakat ketimbang membangun sebuah megaproyek yang dipaksa kelayakannya.

Masyarakat Indonesia juga berharap tinggi akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini tidak serta merta terjadi dalam sekejap, diperlukan proses yang memakan waktu cukup panjang untuk mencapainya. Tentu saja pertanyaan mendasar yang harus menjadi pertimbangan pembangunan kawasan ini: Apakah pembangunan Bukit Algoritma sebagai katalis kemajuan iptek sudah tepat?

Data Oleh Salma Zulfa
Tulisan Oleh Melisa Ruth Angelica
Gambar Oleh Caroline Valencia Kurniawan

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar