Patriarki menjadi kata yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan oleh masyarakat umum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Kalimat tersebut sepertinya mengesampingkan dan merugikan perempuan. Namun, apakah benar hanya perempuan yang dirugikan?
Dewasa ini, semakin banyak masyarakat memberikan perhatian khusus kepada isu kesetaraan gender. Istilah-istilah seperti patriarki, feminisme, dan seksisme mulai eksis di telinga masyarakat, utamanya generasi Z. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui bahwa patriarki adalah salah satu kebudayaan yang susah untuk dihilangkan.
Budaya patriarki semakin lama menjelma menjadi maskulinitas beracun (toxic masculinity). Maskulinitas beracun menurut Nur Hasyim, Dosen UIN Walisongo Semarang dan Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru pada acara Sintesa Diskusi Berat (27/3) adalah norma maskulinitas tradisional dan sempit yang membentuk kehidupan laki-laki.
Maskulinitas beracun merujuk
pada kekuatan, superioritas, dominasi, dan agresif.
“Toxic masculinity sesuai dengan terminologinya itu dia tidak sehat, dia berbahaya dan dia itu sebenarnya membatasi laki-laki untuk mewujudkan potensi maksimal sebagai manusia,” kata Nur Hasyim.
Maskulinitas beracun di Indonesia semakin dianggap biasa saja karena sudah mengakar kuat pada budaya kita. Perempuan yang dianggap lebih lemah daripada laki-laki dan laki-laki yang diharuskan lebih kuat dari perempuan sudah ditanamkan dalam pola pikir kita sejak kecil.
Contoh yang sering kali kita temui dalam masyarakat sehari-hari yaitu: “Laki-laki kok nangis?”, “Laki-laki kok bajunya pink?”, dan masih banyak lagi.
Kalimat-kalimat seperti itu dianggap biasa saja dalam masyarakat kita. Bahkan ironisnya, kekerasan yang dilakukan oleh oknum laki-laki terhadap pasangan atau keluarganya dianggap sebuah perwujudan dari cinta dan kasih sayang. Laki-laki dianggap berhak untuk menyalurkan emosinya melalui kekerasan, tetapi tidak berhak menangis untuk tujuan yang sama.
Budaya patriarki menganggap bahwa menangis adalah salah satu tanda bahwa seseorang tersebut lemah. Padahal, menangis adalah salah satu cara normal untuk mengekspresikan sebuah emosi. Maskulinitas beracun membuat laki-laki harus bisa memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat.
Standar yang dimaksud yaitu laki-laki harus kuat, harus sukses dalam finansial, serta tidak wajar jika melakukan perawatan diri dengan make up atau skincare karena itu dianggap kegiatan perempuan, dan masih banyak lagi. Dampak dari standardisasi tersebut yakni banyak laki-laki yang tumbuh menjadi manusia dengan gengsi tinggi.
“Laki-laki yang ada di K-Pop itu ‘kan mereka punya ekspresi atau bagaimana mereka mengekspresikan dirinya. Menurut aku sudah lepas dari idea of apa itu masculinity dan apa itu feminisme, jadi mereka comfortable menggunakan make up, pakai skincare, menggunakan baju warna pink, dan lain-lain. Menurut aku sudah mendobrak itu,” ucap Anindya Restuviani, Direktur Program Lintas Feminis Jakarta pada acara Sintesa Diskusi Berat.
Efek maskulinitas beracun tidak hanya dirasakan oleh laki-laki saja, tetapi juga dirasakan oleh perempuan. Maskulinitas beracun melestarikan ketidaksetaraan gender dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 menyentuh angka 299.911 kasus. Dikutip dari Badan Pusat Statistik, jumlah perempuan yang ada di Indonesia pada tahun 2020 menyentuh angka 134,26 juta. Hal ini menunjukkan bahwa ada 0,2 persen perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan pada tahun 2020.
Maskulinitas beracun memiliki dampak buruk yang signifikan bagi laki-laki. Laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas rentan mendapatkan tekanan dari laki-laki lain atau masyarakat sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan mentalnya. Perlakuan ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami stress. Dikutip dari BBC Indonesia, pada tahun 2016, World Health Organization (WHO) memperkirakan kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia mencapai angka 793.000 yang didominasi oleh kaum laki-laki.
“Kalau kita mau melakukan transformasi maskulinitas patriarkis, kita mesti ubah relasi-relasi yang seksis, kita mesti ubah rezim-rezim institusi yang seksis, dan kita mesti ubah dari tatanan sosial yang seksis dan patriarkis itu. Karena dia, maskulinitas beracun, bukan sesuatu yang mengambang, tapi dia berakar. Dan akarnya itu adalah yang saya gambarkan dalam kerangka ekologi ini (red: keyakinan dan praktik maskulinitas beracun, relasi patriarkis/seksis, rezim institusi sosial patrarkis/seksis, dan tatanan sosial patriarkis/seksis),” kata Nur Hasyim.
Nur Hasyim menyampaikan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan maskulinitas beracun. Pertama, membuka ruang perbincangan tentang maskulinitas, yakni ruang yang aman dan nyaman tanpa dihantui rasa takut untuk membicarakan tentang diri mereka. Kedua, merefleksikan konsekuensi negatif dari maskulinitas beracun bagi laki-perempuan, dan kelompok-kelompok lain. Ketiga, mempromosikan konsep laki-laki manusiawi yang keluar dari konsep maskulinitas dan feminitas yang merupakan produk patriarki. Keempat, menjadi sekutu gerakan feminisme dalam aksi transformasi sistem sosial yang kini masih patriarkis dan seksis.
Dampak yang semakin jelas terlihat di masyarakat seharusnya bisa menjadi tamparan kepada kita bahwa hal yang terjadi di lingkungan kita ini tidak wajar. Apabila hal ini dibiarkan, boleh jadi stigma patriarki akan terus mendarah daging hingga generasi selanjutnya. Mari bergandengan menyelamatkan masa depan 84,4 juta anak Indonesia. Kita dan mereka adalah harapan baru untuk bangsa Indonesia. Jangan biarkan maskulinitas beracun mengikis kita!
Budaya patriarki juga melahirkan jurang ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jurang yang semakin lama semakin memakan banyak korban. Lantas, seperti apa pengaruh ketidaksetaraan gender bagi laki-laki maupun perempuan? Tunggu opini kami pada postingan yang akan datang ya!
“Both men and women should feel free to be sensitive. Both men and women should feel free to be strong.” – Emma Watson at the HeForShe campaign 2014 United Nations
Tulisan oleh Nada Gitalia
Data oleh Nandhita Noorviana
Gambar oleh Crysanda Faza Kinanti