Hingga Kamis (3/6), sebagian warga Wadas masih meramaikan halaman depan Kantor BBWS Serayu Opak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gerakan itu merupakan bentuk penolakan terhadap perpanjangan Izin Penetapan Lokasi Bendungan Bener. Dengan adanya pembangunan bendungan, aktivitas penambangan masih akan terus berjalan. Penambangan tersebut dikhawatirkan akan menghancurkan lahan-lahan produktif dan memperparah potensi bencana di Desa Wadas. Selain itu, kerusakan lingkungan juga dikhawatirkan dapat merusak tatanan struktur sosial dan menghilangkan hasil bumi di Desa Wadas.
Akan tetapi, pernyataan dan kekhawatiran tersebut perlu divalidasi melalui tinjauan keilmuan. Apakah benar pengambilan batuan andesit akan menimbulkan malapetaka yang bisa berujung pada hilangnya sumber daya alam? Atau ternyata kajian akademisi dapat hadir menjadi sebuah solusi untuk meminimalkan kerusakan dan memaksimalkan manfaat? Untuk itu, ulasan akademisi terkait kontroversi ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan perspektif baru kepada masyarakat.
“Problematika” banjir masih menjadi topik yang populer di tanah air. Hingga saat ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam mengatasi persoalan banjir, salah satunya melalui pembangunan Bendungan Bener. Pembangunan bendungan ini diharapkan dapat membendung aliran Sungai Bogowonto untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah daerah aliran sungai (DAS) Bogowonto.
Bendungan Bener ini nantinya akan menjadi bendungan kedua terbesar di Asia Tenggara dengan ketinggian 156 meter, panjang 543 meter, dan lebar dasar 550 meter. Bendungan seharga 3,8 triliun rupiah yang dibangun di atas lahan seluas 590 hektare dan terbentang dari Kabupaten Purworejo hingga beberapa Kabupaten Wonosobo ini memiliki kapasitas tampungan air sebesar 68,34 juta meter kubik.
Pembangunan bendungan ini direncanakan menggunakan tipe urugan zonal (zone type) dengan lapisan beton kedap air di bagian hulu. Lapisan ini disebut sebagai urugan batu membran beton (UMB) yang juga dikenal dengan istilah concrete face rockfill dam (CFRD).
Konstruksi inti Bendungan Bener ini berbeda dengan waduk pada umumnya yang menggunakan campuran pasir dan tanah batuan yang dipadatkan. Bendungan Bener hanya menggunakan urugan batu yang diperkuat dengan beton pada bagian wajah bendungan di sisi hulu sehingga tidak terpengaruh oleh kadar air tanah.
Besarnya dimensi bendungan berbanding lurus dengan kebutuhan akan material konstruksi. Salah satunya, kebutuhan akan batuan andesit sebagai material utama. Untuk memenuhi tingginya kebutuhan batuan andesit, pada awal Juni 2018, Gubernur Jawa Tengah menetapkan kebijakan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah No 591/41 Tahun 2018. Kemudian, SK tersebut diperpanjang dengan SK Gubernur Jawa Tengah No 539/29 Tahun 2020. SK tersebut menetapkan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan batuan andesit untuk bahan proyek pembangunan Bendungan Bener.
Menurut penuturan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bendungan Bener, M. Yushar, pemilihan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan batuan andesit telah melalui serangkaian studi yang panjang sejak tahun 2015 dan penyelidikan geologi di tahun 2017. Desa Wadas dinilai memenuhi spesifikasi-spesifikasi yang telah ditentukan, baik dari spesifikasi batuan untuk timbunan maupun jumlah ketersediaan material. Desa Wadas dapat menyuplai hingga 40 juta meter kubik batuan andesit dari 8,5 juta meter kubik yang dibutuhkan untuk pembangunan bendungan.
Pihak BBWS memilih menggunakan penambangan tipe terbuka (open pit) atau yang dikenal dengan metode peledakan (blasting) menggunakan bahan peledak dinamit lantaran karakteristik batu andesit yang kuat. Sebab apabila dipaksakan menggunakan giant breaker, “kuku” dari giant breaker akan lebih sering rusak dan mengganggu keefektifan pekerjaan penambangan.
Menilik Alasan di Balik Penentuan Quarry di Desa Wadas
Pada kesempatan kali ini, Clapeyron berkesempatan mewawancarai Bapak Hendy Setiawan, S.T., M.Eng., Ph.D. selaku Dosen Departemen Teknik Geologi UGM dan ahli pada bidang Geoteknik. Hendy menjelaskan bahwa dalam pembangunan suatu infrastruktur, kajian terhadap aspek geologi teknik sangat penting.
Tinjauan geologi teknik terdiri dari tinjauan regional, pemetaan geologi, dan aspek-aspek geologi teknik. Aspek-aspek geologi teknik terdiri dari geomorfologi, sifat keteknikan batuan dan tanah, serta struktur geologi dan hidrogeologi yang meliputi tinjauan geologi pengembangan wilayah, aspek kesesuaian lahan, dan aspek kemampuan lahan.
Berdasarkan tinjauan lokasi geologi regional, daerah Bendungan Bener dan Desa Wadas termasuk ke dalam Formasi Kebo-Butak yang tersusun oleh breksia andesit, tuf, sisipan lava, serta intrusi andesit.
Adanya batuan andesit di Desa Wadas telah memenuhi aspek kesesuaian lahan. Namun, kajian mengenai kemampuan lahan di sekitarnya juga harus dilakukan. Pelaksanaan kajian tersebut ditujukan untuk memastikan lahan di sekitarnya dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi setelah kegiatan penambangan batuan andesit.
Dengan meninjau peta geologi regional, Desa Wadas dianggap dapat menjadi pilihan yang ideal. Di samping itu, Desa Wadas juga memiliki jarak paling dekat dengan Bendungan Bener sehingga dapat mendongkrak nilai effective cost-nya.
Namun, Desa Wadas bukan merupakan satu-satunya pilihan dalam pengambilan batuan andesit. Pada hulu Bendungan Bener juga terdapat batuan andesit dengan nilai unconfined compression strength (UCS) yang tinggi. Hal ini memungkinkan adanya sumber pengambilan batuan andesit baru sehingga dapat meringankan beban quarry di Desa Wadas.
Potensi Longsor dan Rusaknya Mata Air Akibat Penambangan di Desa Wadas
Pada hakikatnya, Daerah Wadas termasuk ke dalam Formasi Kebo-Butak yang apabila terkena perubahan iklim, batuannya akan terlapukkan dan menjadi bagian dari residu yang mudah mengalami ketidakstabilan. Hal tersebut menyebabkan Desa Wadas memiliki risiko yang cukup tinggi terhadap bencana longsor, terlepas dari diambil atau tidaknya batuan andesit di desa tersebut.
Lebih lanjut berbincang mengenai aktivitas penambangan dengan metode blasting di Desa Wadas, Hendy mengatakan bahwa secara umum, kejadian tanah longsor dapat disebabkan oleh gempa dengan magnitudo di atas 3,5 SR. Oleh sebab itu, intensitas dari blasting perlu diketahui terlebih dahulu untuk dapat menjustifikasi kemungkinan blasting ini menjadi penyebab terjadinya tanah longsor atau tidak.
Akan tetapi, walaupun belum tentu menjadi penyebab utama terjadinya tanah longsor, getaran yang dihasilkan akibat metode blasting ini tentunya akan mengganggu kondisi lereng. Di sisi lain, pada lereng yang tersusun dari tanah residu, keruntuhan (surficial failure) pun sangat mungkin terjadi.
Oleh karena itu, untuk meminimalkan dampak ledakan ini, jarak lokasi blasting terhadap pemukiman warga perlu diatur agar cukup jauh. Mengulas pernyataan pihak BBWS, penambangan ini telah mempertimbangkan radius aman peledakan, yakni sekitar 300-500 meter dari pemukiman warga untuk meminimalkan kerusakan.
Selanjutnya, kaki lereng pada daerah dengan tutupan lahan yang mempunyai perkuatan alami heterogen juga sebaiknya ditanami dengan pohon berakar dalam. Perkuatan lereng menggunakan angkur juga dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tata cara pelaksanaan blasting sesuai kaidah pelaksanaannya.
Perlu diingat juga bahwa daerah Wadas tidak hanya tersusun dari batuan intrusi andesit, tetapi juga breksia andesit yang bersifat lebih lemah. Untuk itu, ketika peledakan dengan blasting dilakukan, daerah di sekitarnya harus diperkuat terlebih dahulu. Karena bisa saja ketika blasting dilakukan secara sekaligus, pecahan batuan intrusi andesit ini lebih kecil daripada efek yang dialami oleh sekitarnya.
Terlebih lagi, di dalam breksia vulkanis, terdapat pula sisipan batu pasir atau sisipan tuf yang menimbulkan adanya lensa tipis. Adanya lensa tipis ini berpotensi menghasilkan lapisan akuifer atau zona air tanah. Zona akuifer yang berada di dekat kawasan breksia andesit ini tidak terbentuk ataupun dipengaruhi oleh batuan andesit secara tidak langsung. Oleh karena itu, kajian yang komprehensif perlu dilakukan untuk memastikan terganggu atau tidaknya sumber mata air di Desa Wadas tersebut.
Kendati demikian, pihak BBWS telah melakukan tindakan preventif terhadap pencemaran sumber mata air di Desa Wadas. Sebanyak 27 mata air di Desa Wadas telah dipindahkan terlebih dahulu menggunakan pipa ataupun batu pecah agar memudahkan warga untuk mengambil air secara terpusat di tempat yang telah disediakan.
Lebih lanjut menelaah dari sifat batuan, batuan andesit mempunyai butiran yang halus dan densitas yang tinggi. Hendy berpendapat bahwa besar kemungkinan zona air tanah yang terbentuk tidak melewati area yang memiliki andesit, tetapi melewati sisipan sekitarnya. Namun, hal ini perlu dikonfirmasi lagi melalui kajian-kajian lebih lanjut.
Alih-alih Melakukan Reklamasi, Alih Fungsi Lahan Dirasa Lebih Efektif
Dalam pengambilan batuan andesit melalui quarry, dipastikan akan ada lubang bekas galian. Terkait hal tersebut, penimbunan kembali lubang galian memang menjadi alternatif yang cukup menarik. Namun, timbul juga pertanyaan mengenai material yang akan digunakan untuk menimbun lubang galian tersebut. Dari manakah material yang akan digunakan untuk menimbun lubang galian yang besar tersebut? Apakah dengan membuka quarry baru?
Penutupan lubang timbunan sebenarnya memang dapat dilakukan. Akan tetapi, pelaksanaannya menjadi kurang efektif karena memerlukan sumber quarry yang baru. Di samping itu, penimbunan kembali tersebut tentunya akan membutuhkan waktu yang lama agar kesuburan tanah kembali seperti kondisi semula.
Berkaca dari penambangan di Merapi, pada saat pengambilan batuan dilakukan, bekas galiannya masih membekas dan sulit untuk diremajakan. Oleh karena itu, alih-alih berbicara tentang penimbunan kembali lubang bekas galian, peremajaan dapat dilakukan dengan mengalihfungsikan tanah menjadi lahan produktif. Misalnya, lahan pertanian, perkebunan, ataupun peternakan dengan memastikan ketersediaan suplai air dari Bendungan Bener yang nantinya telah selesai dibangun.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Hendy menyampaikan bahwa penambangan Bendungan Bener ini memang akan memberikan dampak kepada daerah sekitar. Namun, dampak tersebut seharusnya hanya terjadi pada masa pembangunan bendungan saja. Jangan sampai dampaknya tetap berlangsung walaupun pembangunan telah selesai dan operasi bendungan telah berjalan.
Membangun Sekaligus Memperbaiki dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Meninjau dari sisi lingkungan, Clapeyron juga berkesempatan mewawancarai Prof. Dr. Ir. Sunjoto, DIP., HE., DEA. selaku Guru Besar Universitas Gadjah Mada dan ahli dalam bidang Lingkungan. Sunjoto juga menegaskan bahwa pengambilan quarry dapat dilakukan dari calon genangan sehingga tidak menambah kerusakan lingkungan. Hal ini seharusnya dilakukan untuk mewujudkan penambangan batuan yang berlandaskan asas pembangunan berkelanjutan.
Akan tetapi, hal ini cukup sulit dilakukan lantaran bendungan tipe urugan pada umumnya memerlukan lebih dari satu jenis bahan material. Misalnya, clay sebagai lapisan kedap air, fine boulder atau gravel sebagai filter, dan boulder yang merupakan bongkahan batu besar sebagai bagian badan bendungan sekaligus pelindung dari benturan cuaca dan gerusan ombak pada hulu dari bendungan.
Akan tetapi, apabila terpaksa harus mengambil quarry dari luar calon genangan, kaidah konservasi air harus diperhatikan. Lahan bekas quarry ini harus direklamasi hingga kerapatannya lebih baik dari sebelum proses penggalian. Proses pemindahan top soil sebagai lapisan tanah yang paling subur sebelum penggalian juga harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik untuk meminimalkan kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, Sunjoto menerangkan bahwa dalam keadaan ini, masalah yang terjadi hanyalah pengubahan bentuk bentang lahan yang semula berelevasi lebih tinggi menjadi lebih rendah. Dalam hal ini, juga mungkin terjadi konsep membangun sekaligus memperbaiki lingkungan, yakni melalui perancangan desain topografi yang menyebabkan koefisien limpasan menjadi lebih kecil dengan pembuatan terasering.
Selanjutnya, lapisan tanah subur yang dipindahkan sementara dapat dikembalikan lalu ditanami dengan pohon yang lebih rapat dengan memperhatikan pilihan jenis pohon bervolume evapotranspirasi yang kecil. Dengan begitu, konsep berkelanjutan juga dapat diterapkan.
Meskipun pembangunan Bendungan Bener ini ditujukan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, penolakan masyarakat yang diberitakan berbagai media menunjukkan tindakan yang kontradiktif. Dalam hal ini, miskonsepsi menjadi penyebab konflik antara masyarakat dengan pemangku kepentingan terkait pembangunan Bendungan Bener dan penambangan batuan di Desa Wadas. Untuk itu, diperlukan adanya mediator yang paham terkait konsep pembangunan Bendungan Bener dan mengantongi kepercayaan dari masyarakat sebagai penyambung makna di kedua belah pihak.
Penting diketahui bahwa pembangunan infrastruktur tentunya akan memberikan dampak, baik secara langsung maupun tidak. Dalam kegiatan pembangunannya, tak sedikit pula hal yang harus dikorbankan. Namun, pengorbanan tersebut akan menjadi berarti ketika infrastruktur yang sudah dibangun dapat benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, terkhusus masyarakat sekitar yang mungkin saja ikut terdampak. Oleh karena itu, peranan pemerintah dan masyarakat menjadi suatu hal yang krusial dalam memastikan keberhasilan suatu pembangunan infrastruktur.
Tulisan oleh Giovanni Serena Siahaan
Data oleh Jason Devian Putra
Gambar oleh Fairunafis Nur Sabrina