Beranda BeritaKilas Pasang Surut Pemanasan Global : Isu Lingkungan yang Tak Kunjung Usai

Pasang Surut Pemanasan Global : Isu Lingkungan yang Tak Kunjung Usai

oleh Redaksi

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa setiap tahunnya muka air laut mengalami kenaikan. Fenomena ini telah terjadi dan disadari sejak lama. Namun, kenaikan secara signifikan mulai terjadi di awal abad ke-20. Menurut U.S Global Change Research Program, setidaknya sejak tahun 1900 hingga 2016, permukaan air laut telah naik antara 16–21 cm.

Dampak dari kenaikan muka air laut ini berakibat cukup fatal. Secara global, pada tahun 2050 diperkirakan sekitar 118 ribu hektare lahan akan terendam air laut. Sementara di Indonesia, salah satu kota besar yang merasakan dampaknya adalah Jakarta. Ibu kota negara Indonesia ini mengalami kenaikan permukaan air yang memprihatinkan. Pada tahun 2050 mendatang, wilayah utara Jakarta diprediksi akan tenggelam akibat permukaan air laut yang naik 25–50 cm di tahun tersebut.

Sebagai imbas dari kenaikan muka air laut, tujuh belas persen dari total luas daratan Jakarta yang berada di daerah berisiko akan terendam bila terjadi banjir 10 tahunan pada tahun 2030 (Greenpeace Asia Timur). Ini berarti, sebagian wilayah Jakarta mungkin akan terendam 20 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumnya, yaitu pada tahun 2050. Ancaman ini menjadi salah satu alasan pemerintah tengah merencanakan pemindahan ibu kota yang semula di Jakarta menjadi di Kalimantan Timur.

Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta. Wilayah pesisir Indonesia lainnya turut merasakan dampaknya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Syiah Kuala di tiga stasiun pemantauan di Aceh, yaitu Bireuen, Aceh Besar, dan Aceh Barat, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan air laut di perairan Aceh mulai dari 1,3 mm/tahun menjadi 1,8 mm/tahun dalam 25 tahun terakhir. Kota lainnya seperti Semarang, Pekalongan, dan wilayah pesisir Demak juga mengalami ancaman yang sama.

Kenaikan air laut juga turut mengancam salah satu satwa endemik Indonesia, yakni komodo, yang sebelumnya diklasifikasikan “rentan” menjadi “terancam punah”. Habitat komodo yang berada di dataran rendah dan tersebar di beberapa pulau kecil diperkirakan akan “tenggelam” sekitar tiga puluh persen dalam 45 tahun ke depan.

Fenomena ini tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, tetapi juga berdampak langsung terhadap ekonomi dan masyarakat. Masyarakat pesisir berpotensi kehilangan dan kerusakan harta benda akibat tempat tinggal mereka yang terendam secara permanen. Selain itu, mereka juga terancam kehilangan mata pencaharian yang mayoritas merupakan nelayan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Chemonics International menyatakan bahwa jumlah biaya yang harus ditanggung Indonesia pada tahun 2050 karena perubahan iklim di area pertanian, kesehatan, dan kenaikan tinggi permukaan laut diperkirakan sebesar 132 triliun rupiah.

Biang Kerok Kenaikan Muka Air Laut
Kenaikan muka air laut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya kenaikan suhu bumi atau pemanasan global. Kenaikan suhu bumi erat kaitannya dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Pada tahun 2020, World Meteorological Organization melaporkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menembus 414,2 ppm, hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1900 yang hanya 280 ppm.

Peningkatan konsentrasi gas ini merupakan akibat dari aktivitas manusia, seperti penggunaan bahan bakar fosil untuk kegiatan industri dan transportasi. Pemanasan global secara perlahan mulai terjadi pada pertengahan abad ke-18, mengikuti maraknya revolusi industri di Amerika Serikat dan Eropa.

Hingga awal 2018, Climate Watch mencatat Tiongkok sebagai kontributor emisi gas rumah kaca terbesar dengan sekitar 26 persen dari total emisi global. Berdasarkan sumber yang sama, Indonesia termasuk dalam sepuluh negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia dengan peringkat ke-8. Tercatat, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di Tanah Air setara dengan dua persen emisi dunia. Lebih dari sembilan puluh persen emisi ini berasal dari sektor energi dan lahan, seperti pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil.

Sebagai buntutnya, Indonesia mengalami kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,58 derajat Celsius pada tahun 2019. Hal ini menjadikan tahun 2019 sebagai tahun terpanas kedua sejak rentang kenaikan suhu tahun 1981–2010, setelah tahun 2016.

Secercah Harapan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama kurang lebih 1,5 tahun telah memberhentikan sementara aktivitas manusia. Pembatasan sosial yang diberlakukan secara besar-besaran membuat kegiatan di sektor transportasi dan industri berkurang. Dalam penilaian tahunan yang dirilis Proyek Karbon Global pada 2020, terungkap bahwa pandemi secara tidak langsung telah berakibat dalam penurunan emisi gas rumah kaca global sebanyak tujuh persen.

Sebagai salah satu negara yang terdampak pandemi, Indonesia mengalami penurunan emisi gas rumah kaca. Sepanjang tahun 2020 dari Januari sampai Mei, terjadi penurunan emisi gas rumah kaca di sektor transportasi dan kelistrikan sebagai akibat dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi aktivitas ekonomi dan perjalanan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya emisi gas rumah kaca pada aktivitas transportasi darat, laut, dan udara yang masing-masing sebesar 34,2 persen; 93,5 persen; dan 90,4 persen. Sementara di bidang kelistrikan, emisi gas rumah kaca menurun sebesar 7,24 persen untuk produksi listrik dan 48,67 persen untuk konsumsi listrik dalam aktivitas industri.

Sayangnya, penurunan emisi gas ini tidak akan berlangsung lama. Menurut perhitungan International Energy Agency, kenaikan drastis karbon dioksida akan terjadi pada tahun 2023 akibat kegiatan industri dan sosial yang kembali berjalan normal ketika dunia mulai stabil dan berangsur pulih dari pandemi.

Sebagai contoh, Tiongkok, negara pertama yang merasakan dampak dari pandemi, mengalami penurunan emisi gas yang besar pada bulan Februari dan Maret 2020 silam, yaitu sekitar 1,7 persen. Namun, pada akhir tahun 2020, negara tersebut kembali memiliki tingkat emisi harian yang hampir sama seperti pada 2019 meskipun pandemi masih berlangsung.

Pemulihan Hijau: Solusi Pascapandemi
Ancaman akan kenaikan emisi gas pascapandemi pun tidak dapat dihindari. Inovasi serta solusi diperlukan untuk menangani pemanasan global lebih lanjut. Oleh karena itu, beberapa negara sudah mulai menerapkan beberapa program, salah satunya pemulihan hijau.

Pemulihan hijau merupakan upaya pemulihan ekonomi dan sosial atas Covid-19 tanpa memperparah krisis lingkungan dan justru mempercepat transisi pembangunan rendah karbon. Program Lingkungan PBB memproyeksikan emisi gas dapat berkurang hingga 25 persen pada tahun 2030 melalui pemulihan hijau.

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia tentu membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang dapat membangun dan memakmurkan bangsa. Apalagi, pandemi sempat memukul mundur pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemerintah telah merancang program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Sebagian program PEN sudah mendukung pencapaian pembangunan hijau di berbagai sektor, salah satunya di sektor energi yang berupa pembiayaan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk proyek energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah agar pemanfaatan EBT bisa lebih optimal dan terbaur dengan cepat, seperti menyiapkan rancangan pembelian listrik EBT hingga mendorong pengembangan panas bumi berbasis kewilayahan seperti Flores Geothermal Island untuk pemenuhan beban dasar listrik di Pulau Flores.

Di sektor transportasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mempercepat program kendaraan listrik, mulai dari menyiapkan kebutuhan bahan baku berupa baterai hingga infrastruktur penunjang seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU).

Kenaikan emisi gas yang menyebabkan pemanasan global memang sulit untuk dihindari, tetapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Berbagai rencana pemulihan telah dirancang sedemikian rupa agar mengurangi dampak buruk bagi lingkungan. Namun, rencana tersebut tidak akan bisa berjalan efektif tanpa kerja sama dari berbagai pihak. Mari bersama menjaga bumi ini demi masa depan yang lebih baik!

Tulisan oleh Dwitha Nurfarida
Data oleh Faatira Azzahra S K
Gambar oleh Rifki Fadhilah

Artikel Terkait