Sebagai salah satu negara dengan areal hutan tropis terluas di dunia yang produktif sepanjang tahun, Indonesia dilabeli memiliki bahan biomassa yang potensinya tidak main-main. Benar saja, kurang lebih sebanyak 146,7 juta ton biomassa dihasilkan tiap tahunnya, jumlah yang setara dengan potensi energi sebesar 470 GJ. Dengan urgensi krisis perubahan iklim yang semakin mendesak negara-negara di dunia untuk mencapai target net-zero emission, potensi tersebut memberi keunggulan tersendiri bagi Indonesia dalam hal pengembangan teknologi energi baru terbarukan (EBT). Sayangnya, Indonesia masih belum mendayagunakan pamor biomassa ini dengan optimal untuk kepentingan tersebut maupun untuk sekadar meningkatkan kapasitas energi nasionalnya.
Mengingat Indonesia sebagai negara berkembang yang masih memiliki banyak prioritas, terutama menyangkut peningkatan mutu ekonomi-sosial, memang tidak begitu mengherankan bila kebutuhan akan pengembangan teknologi EBT masih terasa terabaikan. Saat ini, terkait biomassa, eksploitasi Indonesia masih didominasi kegiatan ekspor. Sikap ini terutama menanggapi permintaan biomassa di Asia yang semakin pesat, terutama di Jepang dan Korea Selatan. Jepang baru saja menargetkan agar biomassa dapat memenuhi 3,7-4,6% kebutuhan produksi listriknya pada tahun 2030, sedangkan Korea Selatan memang sudah meletakkan fokusnya pada pengembangan EBT dari biomassa memang sudah berlangsung sejak tahun 2012 dengan laju yang cepat. Tercatat pada periode 2012-2018, Korea Selatan mampu meningkakan produksi listrik berbasis biomassa sebesar 160% tiap tahunnya. Dengan luas kawasan hutan yang kecil untuk melakukan produktivitas secara masif, tak dapat dihindari bagi Jepang dan Korea Selatan untuk juga bergantung pada impor biomassa dalam mencapai ambisinya sendiri. Ditaksir pada periode awal 2021 saja, nilai ekspor biomassa cangkang sawit Indonesia ke Korea Selatan mencapai 247 juta Dolar AS.
Kendati merupakan air segar untuk iklim perdagangan Indonesia, proyeksi di atas turut menjadi komparasi yang menunjukkan bahwa Indonesia semakin tertinggal dalam pengembangan teknologi EBT dari biomassa. Dengan berbagai pengalaman pahit dimana pihak asing justru yang mengontrol kekayaan alam Indonesia, sikap Indonesia yang tidak proaktif dalam memberdayakan sumber biomassanya ini pun dikhawatirkan akan mengundang bahaya yang sama. Lalu, bagaimana sebaiknya Indonesia berbenah agar tidak lantas hanya menjadi tambang keruk biomassa bagi khalayak internasional? Sikap apa yang harus diambil politik dan regulasi Indonesia dalam meningkatkan kans biomasssa sebagai sumber EBT?
Menyelaraskan urgensi dalam tubuh politik dan pemerintah
Saat ini, Swedia dan Finlandia merupakan 2 negara di dunia yang terdepan dalam pemanfaatan biomassa (terutama biomassa hutan) untuk memenuhi konsumsi energinya masing-masing. Bahkan, biomassa hutan sudah mensuplai hingga 1/5 dari kepentingan energi kedua negara. Kemajuan ini berawal dari Swedia yang pada tahun 1970-an terguncang perekonomian nasionalnya. Disrupsi tersebut merupakan buah dari naiknya harga minyak akibat adanya embargo dari negara-negara Arab pada tahun 1973 yang juga diperparah oleh penurunan produksi menyusul revolusi di Iran pada tahun 1979. Hal ini kemudian menyadarkan pemerintah Swedia akan pentingnya memiliki sumber energi sendiri yang dapat memotong ketergantungan mereka akan impor bahan bakar dari pihak luar sehingga berbagai penelitian pun akhirnya didanakan. Biomassa pada waktu itu menjadi pilihan yang disarankan sesudah energi nuklir. Akan tetapi, kekhawatiran publik akan risiko pengembangan reaktor nuklir serta berbagai insiden kebocoran di negara negara lain membuat pemerintah Swedia memilih opsi untuk berfokus pada pengembangan energi biomassa. Langkah ini pun tak lama diikuti oleh Finlandia.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa yang diperlukan sekarang bagi Indonesia adalah sama dengan Swedia dahulu, yaitu membangun urgensi atau keinginan bersama dalam tubuh politik dan jajaran pemerintahannya terhadap satu tujuan pengerjaan. Bila tubuh politik Indonesia mau menyelaraskan sikap akan kebutuhan terhadap adanya EBT ini, bukanlah hal yang tidak mungkin bagi Indonesia mengikuti jejak Swedia. Bila perlu melakukan perbandingan, Swedia maupun Finlandia sejatinya tidak memiliki hutan dengan kemampuan menopang pengembangan EBT dari biomassa sebaik Indonesia.
Keduanya merupakan negara yang berlokasi di lingkaran arktika sehingga diversitas hutannya tergolong rendah dengan dominasi jenis pohon berdaun jarum yang tidak mampu memproduksi sepanjang tahun dikarenakan musim dingin yang tanpa matahari. Selain itu, Swedia memulai usaha pengembangan sejak tahun 1970-an, kala teknologi belum memasuki era digital yang maju seperti sekarang. Jadi, apa yang menghalangi Indonesia mengulang kesuksesan tersebut?
Meregulasikan sistem perekonomian baru yang berbasis biomassa
Seperti tercantum sebelumnya, salah satu penyebab kebutuhan akan EBT belum memiliki capaian yang berarti adalah karena Indonesia yang masih sebagai negara berkembang memiliki fokus utama dalam menuntaskan berbagai isu ekonomi-sosial. Prioritas ini pun menjadikan minat para pemangku jabatan maupun masyarakat sendiri masih berkutat pada prospek terkait. Oleh karena itu, agar biomassa memperoleh ruang untuk berkembang maka biomassa itu sendiri harus bisa masuk menjadi bagian dari sistem perekonomian dalam sosial masyarakat.
Memasukkan agenda ekonomi-sosial dalam pengembangan EBT dari biomassa paling baik dilakukan dengan membuat regulasi yang memberdayakan peran serta masyarakat. Biomassa merupakan material yang datang dari beragam sumber dan tempat, mulai dari kotoran ternak di kandang ternak milik masyarakat, daun-daun kering di pekarangan rumah, jerami dan bonggol jagung yang menjadi limbah panen di ladang, hingga serpihan kayu sisa penggergajian di rumah perkakas. Hal ini berarti biomassa adalah material yang bisa dicari dan dikumpulkan oleh semua kalangan. Problematika selanjutnya adalah untuk menjadikan biomassa menjadi memiliki nilai jual agar kemudian masyarakat menjadi tertarik mengumpulkannya.
Mengadopsi konsep bank sampah, pemerintah selanjutnya perlu membangun fasilitas lokal macam ‘bank biomassa’. Lebih lanjut, fasilitas ‘bank biomassa’ ini juga baiknya berperan ganda sebagai lokasi pengelolaan awal untuk bahan biomassa itu sendiri. Alasan utama biomassa mentah belum cenderung nilai jual adalah karena material organik ini perlu diberi pre-treatment sebelum dapat dimanfaatkan oleh industri. Tiap biomassa pun memiliki standar pre-treatment yang berbeda, bergantung pada bahan penyusunnya (umumnya didominasi lignin, selulosa, dan hemiselulosa). Ada yang perlu diubah ukuran atau dimensinya dan ada yang perlu diberi perlakuan khusus. Sebagai contoh, sering terlihat para pengepul kayu menyimpan kayu dekat dengan air atau justru menyiram kayu tersebut kemudian menjualnya sebagai bahan pembuatan arang. Padahal, kayu yang hendak dijadikan arang haruslah diletakkan pada lokasi yang kering dan tidak lembap agar pembakaran dapat berlangsung efektif dan maksimal.
Menyongsong prospek ke depan
Andil politik dan regulasi dalam pengembangan prospek biomassa untuk EBT tidak bisa dianggap remeh. Potensi biomassa di Indonesia terlalu luas, inisiatif atau pergerakan dari sekelompok masyarakat saja tidak akan menyuarakan perubahan maupun menginisiasi cukup pergerakan. Negara lain saja sudah berhasil melakukan dengan bahan kerja yang lebih sedikit dan sejak saat teknologi belum semewah hari ini. Tinggal bertanya: Indonesia ada kemauan atau tidak?
Ditulis oleh Geraldy Kianta (Juara 3 Lomba Opini Claproyex#5)
Ilustrasi oleh Davina Fairuz Zain
Tulisan ini merupakan karya yang meraih Juara 3 dalam Lomba Menulis Opini Claproyex#5 yang mengangkat Tema “Tantangan dan Proses Indonesia dalam memenuhi Energi Baru Terbarukan”