Transisi menuju optimalisasi energi baru terbarukan (EBT) menjadi keharusan bagi seluruh negara di dunia. Perubahan iklim akibat emisi karbon penggunaan energi fosil secara masif terbukti berandil besar terhadap eskalasi temperatur bumi selama berdekade. Target peningkatan temperatur bumi dibawah 1,5°C serta netral karbon pada 2050 kian sulit dicapai meski berbagai negara telah berkomitmen bersama di Paris Agreement 2015. Bahkan, studi UNFCCC (2021) menyatakan bahwa butuh upaya konsisten mengurangi emisi karbon sebesar 45% dari 2010 pada 2030 untuk mencapai target ini.
Faktor antropogenik dalam perubahan iklim tidak dapat dinafikan lagi. Laporan IPCC (2021) menunjukkan bahwa sektor industri, energi, dan transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar selama 100 tahun. Ketiga sektor ini merupakan aktivitas esensial manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Struktur sosial masyarakat hingga pemerintahan bertanggung jawab dalam mendorong penggunaan energi yang selama ini berbasis fosil untuk kepentingan umat manusia. Namun, cara manusia berinteraksi dengan energi untuk mempertahankan eksistensinya harus diubah. Menjadikan energi kotor sebagai tumpuan seperti saat ini hanya akan terus merusak rumah kita bersama; bumi.
Ragam Problematika Transisi Energi di Indonesia
Penggunaan EBT saat ini menjadi primadona di tengah era transisi energi global. Masa depan akan bertumpu pada energi berkelanjutan, dibandingkan energi fosil seperti batu bara yang saat ini masih menjadi tulang punggung energi khususnya di Indonesia. Batu bara digunakan sebagai senjata untuk meningkatkan energi per kapita nasional karena dianggap murah serta cadangannya berlimpah. Namun, pemerintah tampaknya tidak memerhatikan bahwa biaya tersebut tidak meliputi biaya sosial dan tanggungan kesehatan.
Perkiraan biaya energi fosil batu bara apabila mempertimbangkan biaya sosial dapat mencapai 100 USD/MWh, jauh lebih besar dibandingkan nuklir dan EBT (Grausz, 2011).
Laporan IISD (2018) juga menjelaskan tanggungan biaya kesehatan akibat penggunaan energi batu bara bisa mencapai Rp11.250 triliun dalam jangka waktu 2012-2030. Pembiayaan energi fosil yang tidak menanggung biaya sosial dan kesehatan mengesankan biayanya lebih murah dibandingkan EBT.
Murahnya biaya energi fosil akibat hal ini menjadi indikasi adanya diskriminasi pemerintah dalam meregulasi energi fosil dibandingkan pengembangan EBT. IISD (2017) melaporkan setidaknya terdapat 15 subsidi yang diberikan pemerintah terhadap industri batu bara. Subsidi ini diperkirakan bernilai lebih dari USD 8,5 miliar pada 2015, sedangkan pengembangan EBT hanya disokong subsidi sebesar USD 179 juta. Bentuk diskriminasi ini pada akhirnya meruntuhkan komitmen Presiden Joko Widodo dalam mendorong optimalisasi energi bebas emisi di Global Methane Pledge.
Komitmen untuk segera mengawali transisi energi harus diwujudkan dalam kebijakan yang jelas. Penggodokan RUU EBT dipandang menjadi gerbong utama dalam mendorong penggunaan EBT di Indonesia. Namun, tampaknya diskusi RUU EBT masih terus ditarik-ulur. Justru, upaya menciptakan iklim investasi yang ramah bagi EBT sebagai runtutan UU Cipta Kerja malah mendapatkan pandangan sinis dari para pegiat lingkungan. Pelibatan masyarakat yang rendah serta beberapa pasal berkaitan skema investasi masih dianggap kontroversial. Padahal seharusnya pengembangan EBT selaras dengan nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan.
Tantangan lain seperti penolakan implementasi EBT di beberapa daerah juga menjadi potret bangsa yang belum familiar dengan EBT. Perasaan asing terhadap EBT dikarenakan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam proyek strategis pemerintah ini. Padahal menurut Sugiawan dan Managi (2019), keterlibatan masyarakat dan pemda sangat memengaruhi keberhasilan penetrasi teknologi energi di daerah.
Alasan penolakan masyarakat juga sangat bervariasi. Mulai dari permasalahan hak tanah, kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan, serta trauma terhadap pola pendekatan tambang, menjadi agregat resistansi masyarakat terhadap EBT. Di sinilah pentingnya strategi komunikasi dan asas inklusivitas dalam upaya penetrasi teknologi apapun ke masyarakat, khususnya energi.
Mengurai Benang Kusut Transisi Energi
Kesadaran akan signifikansi energi dalam kehidupan harus benar-benar ditumbuhkan di pikiran pemerintah dan masyarakat. Jika permasalahan ini tidak ditangani dengan tepat, maka Indonesia hanya akan menjadi penonton di pembagian kue bisnis energi bersih masa depan. Asa green economy yang menjadi arah perekonomian nasional yang akan datang tampaknya dapat terganjal oleh regulasi sendiri. Benang kusut ini harus diurai dengan pendekatan strategis dan tindakan yang cermat.
Dua hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah (1) menyusun regulasi mengenai EBT di Indonesia yang berkeadilan, dan (2) menjalankan politik inklusif dalam upaya “memasyarakatkan energi”. Langkah pemerintah yang proaktif dalam berbagai pertemuan isu iklim internasional serta penggodokan RUU EBT merupakan langkah tepat dalam memimpin transisi energi nasional. Namun, langkah awal tersebut belum cukup untuk mengawal transisi menuju energi bersih sebagaimana yang diharapkan. Komitmen itu harus diwujudkan dengan segera menyelesaikan RUU EBT dengan mengusung nilai-nilai keberpihakan terhadap lingkungan.
Nyawa dari transisi menuju EBT adalah upaya menyelamatkan bumi. Memang terdapat banyak sekali manfaat di luar keselamatan lingkungan seperti ekonomi, kesehatan, dan kemasyarakatan. Akan tetapi, alasan terbesar untuk mengakselerasi penggunaan EBT disebabkan perubahan iklim yang kian tak terkendali. Nilai ini yang harusnya terus membara di setiap diskusi para elit dan akademisi dalam mendorong penerapan EBT.
Upaya ini tidak bisa dilakukan tanpa sikap politik yang mengayomi masyarakat. Keberpihakan terhadap lingkungan adalah keberpihakan terhadap masyarakat kecil. Dampak perubahan iklim akibat penggunaan energi fosil paling besar dirasakan oleh masyarakat kecil. Laporan OECD (2015) menegaskan perubahan iklim memiliki relasi tak terelakkan terhadap kerentanan masyarakat miskin yang memengaruhi infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, kelangkaan makanan, dan kesehatan mereka. Dengan mendorong akselerasi penerapan EBT melalui regulasi yang tidak diskriminatif, pemerintah dapat menghindarkan masyarakat miskin dari kerentanan ini.
Politik inklusif menjadi kunci bagi pemerintah untuk menggaet masyarakat yang menolak EBT untuk bisa menerima akses teknologi tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam proyek energi bersih di daerahnya harus didorong sebagai bentuk demokratisasi energi. Transisi energi menurut Sovacool (2016) bukan hanya mengubah infrastruktur dan teknologi, tetapi juga melibatkan perubahan masyarakat dan sikap politik. Jika masyarakat sudah resistan terhadap penetrasi energi yang dilakukan, bagaimana bisa kita membangun infrastruktur EBT di “tanahnya masyarakat”?
Karena keterlibatan masyarakat sangat esensial, maka pendekatan yang bersifat inklusif harus dikedepankan. Termasuk dalam diskusi RUU EBT yang sebaiknya perlu melibatkan masyarakat energi lebih banyak. Dalam artian, ruang diskusi perlu diperlebar meliputi para politisi, akademisi, pengusaha, hingga para pegiat energi di akar rumput. Jangan sampai pembicaraan energi bersih justru banyak dipegang oleh pemilik industri energi fosil semata. Jika demikian, maka perkembangan EBT di Indonesia tentu akan dihadapkan dengan kepentingan bisnis pribadi.
Dua langkah yang dapat dilaksanakan pemerintah ini mesti didorong oleh segenap bangsa Indonesia khususnya masyarakat sadar energi. Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam pekerjaan besar yang perlu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat ini. Masyarakat perlu terus mengawal transisi ini dengan proaktif melibatkan diri dalam diskusi energi untuk memudahkan pemerintah menerapkan politik inklusif. Atau minimal kita berusaha memahami pentingnya EBT agar tidak menjadi beban tambahan dalam gerbong arus peralihan menuju energi bersih. Ibarat kata jika tidak bisa membantu, jangan sampai kita merusuh.
Tulisan oleh Glenshah Fauzi (Juara 1 Lomba Opini Claproyex#5)
Ilustrasi oleh Crysanda Faza Kinanti
Tulisan ini merupakan karya yang meraih Juara 1 dalam Lomba Menulis Opini Claproyex#5 yang mengangkat Tema “Tantangan dan Proses Indonesia dalam memenuhi Energi Baru Terbarukan”