Media sosial tidak lama ini dihebohkan dengan pro-kontra perihal memelihara satwa liar. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2014, satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Suatu satwa dapat dikategorikan sebagai satwa liar karena adanya sifat keliaran.
Pada hakikatnya, satwa liar hanya boleh berada di alam untuk menjaga keseimbangan alam. Jumlah satwa liar di alam harus tetap terjaga, tidak under population maupun over population. Dengan demikian, peran krusial satwa liar sebagai penjaga ekosistem rantai makanan terwujud.
Pada kenyataannya, tidak jarang ditemukan keadaaan terdesak yang mengharuskan manusia memelihara atau menyelamatkan satwa liar melalui konservasi. Banyak hewan yang tidak dapat bertahan hidup di habitat liarnya karena cacat, usia tua, atau perilaku yang tidak wajar. Pada keadaan itu, konservasi hadir untuk menyelamatkan hewan-hewan tersebut. Konservasi adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk menjaga atau melindungi kelestarian dan keseimbangan alam. Salah satu bentuk konservasi adalah konservasi satwa liar yang berfokus pada usaha untuk menjaga kelestarian satwa liar. Landasan hukum utama konservasi ditulis di UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Di samping menyelamatkan satwa liar karena kondisi buruk, konservasi juga menyelamatkan satwa liar yang berasal dari perdagangan ilegal. Satwa-satwa yang diperjualbelikan atau satwa liar yang pernah dipelihara akan kehilangan keliarannya lalu berubah menjadi jinak. Pada konservasi ini, satwa liar akan direhabilitasi dan diberi perawatan agar sifat liar muncul kembali sebelum dilepasliarkan ke habitat yang sesuai. Pada saat itu, dokter hewan akan melakukan pemantauan terhadap perilaku satwa tersebut untuk mengetahui apakah sifat liarnya sudah kembali atau belum. Sebagai contoh, siamang yang sudah bergelantungan di pohon dan tidak berjalan lagi di tanah dapat dinyatakan sudah kembali mendapatkan sifat liarnya.
Tidak hanya itu, konservasi juga melakukan berbagai upaya penyelamatan satwa liar. Sebutlah Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja yang berpusat di Kulon Progo, Yogyakarta. Upaya penyelamatan yang dilakukan oleh WRC meliputi beberapa tahap. Pertama, kedatangan hewan untuk di-rescue, baik dibawa oleh orang biasa maupun oleh tim Centre for Orangutan Protection (COP). Satwa yang dibawa bisa berasal dari satwa liar yang dipelihara sembarangan oleh masyarakat. Kedua, pihak WRC akan menyediakan tempat rehabilitasi bagi satwa liar tersebut. Ketiga, WRC akan memberi pelatihan untuk melatih satwa liar agar sifat keliarannya kembali kemudian melepasliarkan satwa tersebut ke habitat aslinya. Dihitung sejak Juni 2022, sebanyak 805 satwa liar berhasil dilepasliarkan oleh WRC Jogja.
Harimau, Si Kucing Besar yang Lucu Katanya
Konservasi satwa liar tidak dilakukan dengan sembarang. Dalam melakukan konservasi satwa liar, lima freedom animal welfare hendaklah diperhatikan. Animal welfare sendiri memiliki lima fokus utama, yaitu hewan harus memiliki kebebasan dari lapar dan haus, kebebasan dari ketidaknyamanan, kebebasan dari rasa sakit, luka atau cedera, dan penyakit, kebebasan mengekspresikan perilaku normal dan alami, serta kebebasan dari rasa takut dan tertekan.
Seorang influencer di salah satu platform YouTube baru-baru ini membuat konten satwa liar dengan perilaku yang tidak sewajarnya. Jika kita menilik pada 5 freedom animal welfare yang keempat, satwa liar harus bertingkah seperti satwa liar, yaitu mengekspresikan perilaku normal dan alami. Perilaku normal dan alami bagi satwa liar tentu saja berperilaku agresif, bukan berperilaku manja layaknya hewan peliharaan. Alih-alih membuat satwa liar berperilaku lucu dan menggemaskan, menurut Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) Asia for Animals, menjadikan hewan sebagai konten termasuk dalam kekejaman pada hewan.
Dampak yang dapat ditimbulkan dari tindakan memelihara satwa liar adalah zoonosis. Zoonosis atau penyakit zoonotik adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Penyakit ini dapat menular melalui media apa saja, bisa melalui gigitan atau hanya sekadar melalui udara yang sama. Hampir semua penyakit manusia bisa tertular pada satwa liar, apalagi primata. Bahaya nyata zoonosis ini bahkan dapat mengubah sebagian besar tatanan kehidupan manusia (baca: dampak Covid-19).
Tren Memelihara Satwa Liar, Bagaimana Cara Menghentikannya?
Menjadi hobi yang digemari masyarakat menengah hingga kaum borjuis, bukan rahasia lagi bahwa memelihara satwa liar menjadi tren yang sedang naik daun dalam dekade ini. Bahkan jauh sebelum itu, tren ini sudah digemari sejak zaman mesir kuno. Tren memelihara satwa liar disukai manusia bukan tanpa alasan. Prestise dan ego membuat manusia ingin terlihat sebagai makhluk terkuat di bumi dengan memelihara satwa liar. Alasan lainnya menganggap lucu satwa-satwa liar tersebut.
Layaknya efek domino, maraknya pemeliharaan satwa liar menyebabkan tingginya tingkat perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020, sebanyak 1.733 satwa hasil penyelundupan ilegal dilepasliarkan oleh KLHK. Salah satu perdagangan satwa liar yang terjadi adalah perdagangan bayi monyet ekor panjang di Bali.
Dalam proses bisnis perdagangan satwa liar tersebut, tak sedikit induk satwa liar mati terbunuh karena sudah menjadi hal alami bagi setiap induk untuk menjaga dan melindungi anakan. Dengan demikian, para pelaku perdagangan ilegal ini tentu harus membunuh induk satwa liar tersebut. Tak hanya membuat sang induk tewas, para pelaku membawa anakan satwa liar dan menjualnya di pasar hewan. Kejadian ini menimbulkan trauma dan stress pada satwa.
Jangan Beli Anakan Satwa Liar!
Apa yang kita pikirkan saat melihat anakan satwa terkurung dalam kandang yang sempit? Kasian? Iba? Lalu apa? Teraba hatinya untuk membeli? Alih-alih menyelamatkan anakan satwa, tahukah kamu dengan membeli anakan satwa liar justru melanggengkan bisnis dan perdagangan ilegal? Permintaan pasar akan satwa liar nantinya meroket dan indukan yang mati terbunuh menjadi lebih banyak. Pun dengan membelinya, kamu tidak bisa sembarang melepasliarkan satwa liar tersebut. Pelepasliaran satwa liar tidak semudah itu, banyak pertimbangan yang harus sesuai, contohnya adalah ekosistem tempat satwa liar tinggal.
Tempat pelepasliaran satwa liar harus sesuai dengan habitat aslinya. Jangan sampai melepas burung kasuari, burung asli Indonesia Timur di Hutan Jawa. Selain membuat burung asli Jawa terancam kehilangan habitatnya karena invasif, pelepasliaran satwa secara sembarangan juga dapat membuat satwa asli di habitat tersebut mati karena kompetisi. Jangan sampai niat baik memelihara berujung buruk karena kesalahpahaman.
Does It Affect Us?
Dipikir secara logis, saat satwa liar punah, manusia tetap hidup dengan semestinya. Akan tetapi, secara tidak langsung, kehidupan manusia akan terganggu selama satwa itu kritis. Elang yang dipelihara akan menyebabkan under population elang di alam. Akibatnya, populasi tikus akan merajalela dan mengganggu aktivitas bertani. Serangan hama belalang di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur juga terjadi karena terganggunya keseimbangan ekosistem. Serangan belalang itu menghabiskan lahan pertanian warga dan mengancam hewan ternak warga. Hal ini akhirnya akan manusia rasakan dampaknya karena jumlah makanan pokok akan berkurang.
Siapa pula yang menyangka bahwa isu pemanasan global salah satunya disebabkan oleh populasi orangutan yang semakin berkurang? Perubahan iklim yang ekstrem ini terjadi karena habitat orangutan dipangkas oleh manusia. Padahal, orangutan secara tidak langsung sudah berjasa dalam menyebarkan benih-benih tanaman yang dapat melestarikan hutan. Dari keterlibatan satwa dengan alam yang terlihat, bisa dinyatakan bahwa setiap hewan mempunyai perannya dalam keseimbangan alam. Apakah peristiwa ini disebabkan oleh satwa tersebut? Apakah itu salah belalang? Apakah itu salah tikus? Apakah itu salah orangutan?
Alam yang rusak bukanlah salah satwa di hutan. Manusia mengambil peran besar dalam hal itu. Pembangunan infrastruktur dan alih lahan sebagai tempat tinggal menyebabkan hutan semakin sedikit. Seiring dengan lahan dan hutan yang terus berkurang, habitat bagi para satwa liar turut menjadi terbatas.
Namun, jangan jadikan hutan yang tidak aman sebagai pembenaran atas pemeliharaan satwa liar. Jangan berpikir jika saat ini hutan tidak aman bagi satwa liar, maka kandang adalah solusinya. Pemikiran seperti ini harus segera diubah. Jika hutan tidak aman bagi satwa liar, kita sebagai manusia harus mengembalikan keamanan itu. Manusialah yang mempunyai kuasa menghentikan penebangan hutan tempat satwa liar tinggal. Manusia pula yang dapat menghentikan perburuan satwa liar.
Kisah Panjang Domestikasi Kucing dan Anjing yang Liar menjadi Hewan Peliharaan
Pernah terpikirkan mengapa kita dilarang untuk memelihara harimau, ular, atau satwa lainnya, tetapi tidak dengan kucing dan anjing? Ternyata, ada kisah panjang di balik itu semua.
Berdasarkan sejarah, usaha domestikasi kucing mulai terjadi sekitar tahun 4.000 SM di Mesir. Saat itu, kucing digunakan untuk menjaga sebuah toko pangan agar terhindar dari serangan tikus. Namun, jauh sebelumnya (tahun 7.500 SM), ada usaha domestikasi kucing yang ditandai dengan ditemukannya kerangka kucing yang dikuburkan bersama-sama manusia di sebuah makam di Shillourokambos Cyprus. Anjing pun telah mengalami domestikasi dari serigala sejak 15.000 tahun yang lalu atau mungkin sudah sejak 100.000 tahun yang lalu. Hal ini berdasarkan bukti genetik berupa penemuan fosil dan tes DNA. Penelitian lain mengungkap sejarah domestikasi anjing yang belum begitu lama.
Walaupun sudah didomestikasi, kucing dan anjing masih mempunyai sifat liarnya, yaitu mencakar. Ada pula kasus anjing yang membunuh orang. Anjing dan kucing yang sudah didomestikasi dari ribuan tahun lalu saja bisa membunuh manusia, apalagi sang buas yang berada di puncak rantai makanan?
Then, what’s next? Do we have the power to change it?
Polemik tak berkesudahan antara tim pro dan kontra akan pemeliharaan satwa liar masih berlangsung. Sang pemilik satwa bersikeras dirinya benar. Menurutnya, tempat teraman bagi satwa liar adalah kandang miliknya. Padahal, satwa liar bukanlah hewan peliharaan. Jangkauan mereka bukan sebatas kandang saja, ada hutan yang harus mereka telusuri. Jangkauan ikan bukan sebatas akuarium saja, ada lautan yang menunggu dijajaki. Ada ekosistem yang harus mereka jaga. Seperti manusia yang enggan dikurung, pun demikian dengan satwa.
Selain itu, tahukah kamu? Sebagai warganet budiman, we have the power to change it. Hanya dengan sekadar membagikan, menyukai, atau me-retweet informasi satwa liar tidak boleh dipelihara, kita dapat meningkatkan kesadaran masyarakat. Tentu akan lebih baik lagi jika membuat konten tandingan tentang kehidupan satwa liar yang harus tetap liar. Kita juga dapat membantu kemaslahatan satwa liar dengan mengirimkan donasi pada konservasi satwa liar, salah satunya melalui WRC Jogja https://kitabisa.com/campaign/wildliferescuecentrejogja atau BNI Cabang UGM Yogyakarta a/n Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta – 0259237730.
a little bit case & tips
Kasus harimau dan ular masuk ke pemukiman warga masih saja terjadi hingga saat ini. Kasus terbaru Maret tahun 2022, giliran ular kobra menjadi bintangnya. Ular kobra sepanjang 4 meter masuk ke pemukiman warga di Kalimantan Tengah. Kejadian satwa liar yang tersesat hingga pemukiman warga disertai berbagai alasan, misalnya makanan di habitatnya habis atau bisa pula terjadi bencana alam di tempat tinggal satwa tersebut. Dalam keadaan ini, hal yang harus dilakukan adalah tetap tenang dan perlahan menghindar. Kemudian, lapor instansi setempat untuk meminta bantuan.
Tulisan oleh Jannatul Qolbi Ash Shiddiqi
Data oleh Firdanarestri Mahya Prabaningrum
Ilustrasi oleh Bintang Gunindra Aryandaru