Aspal Plastik, Solusi Berkelanjutan untuk Atasi Sampah Plastik?

Aspal plastik dinilai sejumlah kalangan sebagai salah satu solusi berkelanjutan dalam penanggulangan sampah plastik. Betulkah demikian?

Kantong maupun kemasan plastik sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Setiap kita berbelanja, hampir dipastikan barang belanjaan yang kita beli diwadahi atau dibungkus kantong plastik maupun kemasan plastik. Buntut dari penggunaan masif kantong serta kemasan plastik, dunia sekarang ini berada di ambang ancaman petaka lingkungan dahsyat.

Menurut laman theworldcounts.com, 160.000 kantong plastik digunakan secara global setiap detik. Ironinya, kantong plastik digunakan rata-rata tak lebih dari 25 menit. Setelah itu, dibuang menjadi sampah dan mencemari lingkungan. 

Pencemaran akibat limbah plastik sekarang ini menjadi salah satu persoalan lingkungan yang serius hampir di semua belahan dunia. Sebagian besar kantong dan kemasan plastik terbuat dari polipropilena yang berasal dari minyak bumi dan gas alam. Artinya, material utama plastik berbasis bahan bakar fosil yang tidak terbarukan—proses produksi plastik ikut pula melahirkan gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim global.

Mengingat dampak negatifnya, pengurangan atau bahkan pelarangan penggunaan kantong plastik memang perlu dilakukan. Jika tidak, cepat atau lambat, daratan dan lautan kita akan tertutup oleh sampah plastik dan kehidupan kita akan semakin terancam.

Sejauh ini, ada sekitar 60 negara yang telah melakukan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai, baik secara parsial maupun secara menyeluruh. Bagaimana dengan Indonesia? Secara nasional, Indonesia belum melakukan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai, tetapi secara lokal, beberapa kota di Indonesia telah melakukan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. 

Salah satunya adalah Kota Banjarmasin. Melalui Peraturan Walikota Nomor 18 Tahun 2016, Banjarmasin telah melakukan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai sejak tahun 2016 dan menjadi kota pertama di kawasan Asia-Pasifik yang melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Selain Banjarmasin, kota lainnya di Indonesia yang telah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai, yakni Balikpapan (Kalimantan Timur), Badung (Bali), dan Bogor (Jawa Barat).

Aspal plastik

Upaya lain dalam mengurangi sampah plastik adalah dengan memanfaatkan sampah plastik untuk sejumlah keperluan. Salah satunya, yaitu dengan memanfaatkannya untuk pengaspalan jalan.

Di sejumlah negara, uji coba masih terus dilaksanakan dalam pemanfaatan sampah plastik untuk bahan campuran aspal jalan. Para insinyur dari Universitas Missouri bekerja sama dengan Dow Chemicals serta Departemen Transportasi di sejumlah negara bagian Amerika Serikat (AS) terus menguji coba campuran plastik-aspal untuk digunakan sebagai material pengaspalan jalan dan jembatan di AS. Aspal plastik telah digunakan untuk mengaspal sekitar 3,2 kilometer kawasan Stadium Boulevard di Columbia, Missouri, AS, di mana rata-rata sekitar 36.000 kendaraan melintasi kawasan ini.

Menurut Bill Buttlar dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Missouri, kemasan botol minum, kantong belanjaan, dan sedotan secara kimiawi mirip dengan aspal karena keduanya berasal dari minyak mentah.

“Tampaknya plastik daur ulang benar-benar meningkatkan daya rekat pada campuran aspal,” jelas Buttlar, seperti dikutip majalah Forbes September 2021 lalu.

Jauh sebelum proyek uji coba aspal plastik diluncurkan di sejumlah negara bagian di AS, Dow Chemicals telah memulainya di Depok, Jawa Barat pada tahun 2017 lalu. Dow Chemicals bermitra dengan pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya mencapai target pengurangan sampah plastik di laut hingga 70 persen pada tahun 2025.

Selain di Depok, uji coba aspal plastik pada tahun 2017 juga dilakukan di Denpasar, Bekasi, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Terkini, uji coba aspal plastik dilakukan di Garut pada tahun 2022. Sekitar 50 kilometer ruas jalan di Kota Dodol ini bakal diaspal menggunakan aspal plastik. Tahap pertama proyek uji coba ini akan menyertakan 28,8 juta lembar sampah plastik jenis kantong kresek.

Sampah plastik untuk keperluan pengaspalan di Kota Garut disediakan oleh perusahaan Chandra Asri yang bekerja sama dengan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI). 

Jalan sebagai TPA

Sejak dikenalkannya proyek uji coba aspal plastik di Indonesia, Asosiasi Zero Waste Indonesia (AZWI) justru menentang penggunaan aspal plastik ini. Menurut AZWI, pemanfaatan sampah plastik untuk campuran aspal jalan bisa disamakan dengan memperlakukan jalan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. AZWI menilai pemanfaatan sampah plastik untuk pengaspalan jalan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan pemrosesan akhir sampah minimal harus berupa sanitary landfill. Tujuannya agar semua sampah yang tidak dapat didaur ulang, bahkan limbah berbahaya beracun dikelola secara terpusat dan terisolasi sehingga mencegah penyebaran bahan-bahan pencemar.

Menurut Dennis Kamprad, konsultan keberlanjutan yang juga pendiri Impacful Ninja, dalam aspek keberlanjutan terkait proses pembuatannya, aspal plastik justru membutuhkan suhu yang lebih rendah, yaitu 20 persen lebih sedikit bahan bakar. Selain itu, uap yang dikeluarkan juga lebih sedikit. Kamprad berpendapat aspal plastik merupakan solusi sirkular untuk masalah sampah plastik global.

Meskipun demikian, sejumlah kalangan tetap mengapungkan kekhawatiran soal dampak lingkungan dan kesehatan terkait penggunaan aspal plastik ini. Kekhawatiran pertama, yaitu aspal plastik justru akan membuat kita terus memproduksi sampah plastik. Jadi, alih-alih menuju lingkungan yang bebas plastik, kita malah didorong menghasilkan sampah plastik sebagai bahan pembuatan aspal plastik.

Kekhawatiran kedua terkait dengan risiko kesehatan. Proses pembuatan aspal plastik dinilai sangat beracun. Pemanasan polimer plastik melepaskan gas seperti polipropilena, polistirena, dan polimer polietilena. Ini kemungkinan bisa menjadi ancaman risiko kesehatan bagi para pekerja, baik saat proses pembuatan aspal plastik maupun saat melakukan pengaspalan jalan.

Kemungkinan risiko lainnya, yaitu setelah pengaspalan jalan itu sendiri. Dalam hal ini, perlu dipastikan bagaimana dampak jangka panjang soal penggunaan aspal plastik ini. Misalnya, akumulasi jangka panjang terhadap kualitas tanah dan kualitas air, mengingat plastik melepaskan partikel mikro dan partikel nano.

Tentu saja, risiko lingkungan dan risiko kesehatan tersebut harus benar-benar dikaji secara cemat untuk mengantisipasi timbulnya problem akumulatif yang pelik di kemudian hari. Solusi untuk mengatasi sampah plastik memang perlu terus diupayakan, hanya saja jangan sampai opsi solusi yang kita pilih justru malah melahirkan masalah-masalah baru.

Tulisan oleh Djoko Subinarto  

Ilustrasi oleh Alif Vivian