Lahan Kritis, Bumi Pertiwi Menangis

Tiap tahunnya, 17 Juni diperingati sebagai Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia. Peringatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menjaga lingkungan dari kekeringan dan degradasi lahan. Hari besar tersebut memang jarang didengar oleh masyarakat awam, tetapi memiliki dampak yang besar apabila disepelekan.

Definisi Degradasi Lahan dan Kekeringan

United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), sebuah konvensi yang berfokus pada pencegahan penggurunan dan kekeringan, mendefinisikan degradasi lahan sebagai penurunan fungsi lahan di daerah kering ataupun basah yang ditimbulkan dari beberapa faktor, seperti variasi iklim dan aktivitas manusia. Penurunan fungsi lahan mengindikasikan adanya penurunan kualitas lahan yang berdampak pada berkurangnya produktivitas lahan tersebut.

Dari perspektif kebencanaan, kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam periode waktu tertentu, umumnya dalam satu musim atau lebih, yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kebutuhan (UN-ISDR, 2009).

Sejarah Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia

Degradasi lahan disebabkan oleh faktor alami, yaitu bencana alam dan proses kimia dan biologi seperti hujan asam atau erosi. Degradasi lahan juga disebabkan oleh faktor buatan, yaitu praktek pertanian yang tidak tepat dan aktivitas pertambangan dan industri. Selain itu, terdapat faktor lain seperti perubahan jumlah populasi manusia, marginalisasi tanah, kemiskinan, hingga ketidakstabilan politik dan masalah administrasi.

Pada kenyataannya, kebijakan politik mengenai agraria terlalu ambigu. Di Indonesia contohnya, RUU Pertanahan yang muncul pada tahun 2019 silam mengundang perhatian banyak orang karena pasal kontroversial yang dikandungnya. Lahan pertanian dan perkebunan yang dinilai tidak menguntungkan dapat ditawar dan dialihfungsikan menjadi tempat berdirinya bangunan yang dirasa lebih menguntungkan. Para petani pun tidak memiliki pilihan selain menerima uang ganti tanahnya akibat kondisi kemiskinan. Dengan demikian, marginalisasi tanah hanya akan menjadi bom waktu yang memperparah kondisi degradasi lahan.

Bencana alam serta kegiatan pertambangan dan industri juga dapat menurunkan produktivitas  suatu lahan. Kegiatan pertambangan dan industri yang melibatkan terlalu banyak proses fisika dan kimia dapat menghilangkan sifat alami yang dimiliki suatu lahan produktif sehingga lahan tersebut hanya berujung menjadi tanah mati.

Dengan begitu banyaknya penyebab terjadinya degradasi lahan, diperlukan suatu cara yang dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dunia akan penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan.

Hingga pada 19 Desember 1994, Komite Rapat Paripurna Ke-92 UNCCD mengesahkan tanggal 17 Juni 1994 sebagai perayaan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia. Alasan di balik pengesahan tersebut didasarkan pada fenomena degradasi lahan dan kekeringan yang makin merajalela di dunia dan dapat memberi dampak kepada seluruh negara sehingga diperlukan perhatian, baik pada tingkat nasional maupun internasional.

UNCCD mengajak seluruh negara di dunia untuk mempromosikan hari besar tersebut, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCCD pada tahun 1998 dan telah berpartisipasi secara aktif di dalamnya.

Hubungan Degradasi Lahan dan Kekeringan dengan Musim Kemarau di Indonesia

Indonesia merupakan negara tropis yang saat ini tengah mengalami musim kemarau. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim kemarau di Indonesia pada tahun 2022 akan mengalami puncaknya pada bulan Agustus. BMKG memperkirakan akan ada 181 dari 342 zona musim (ZOM) yang mengalami kemarau sehingga diprakirakan lebih dari separuh daerah di Indonesia akan mengalami musim kemarau.

Musim kemarau mengandung arti bahwa terjadi penurunan curah hujan dan kelembaban di suatu wilayah. Hal tersebut tentunya akan memengaruhi pasokan air di wilayah tersebut sehingga potensi terjadinya kekeringan muncul. Penurunan elevasi berbagai sumber daya air, seperti sungai, waduk, danau, ataupun air tanah menjadi indikator awal menurunnya pasokan air di wilayah tersebut.

Secara meteorologi, terjadinya kekeringan dapat diketahui secara tidak langsung melalui sifat hujan. Berdasarkan data dari BMKG, sifat hujan di Indonesia selama musim kemarau 2022 adalah 104 ZOM (30,4% dari 342 ZOM) diprakirakan di atas normal, 197 ZOM (57,6% dari 342 ZOM) diprakirakan normal, dan 41 ZOM (12,0% dari 342 ZOM) diprakirakan di bawah normal.

Kekeringan yang terjadi tentunya memiliki berbagai dampak, seperti kebakaran hutan, tanah longsor, hingga erosi yang merupakan faktor utama degradasi lahan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Provinsi Banten mencatat bahwa erosi merupakan penyebab utama degradasi lahan pada lahan pertanian, terutama di lahan kering.

Indonesia dan Upayanya Dalam Memerangi Degradasi Lahan dan Kekeringan

Menurut data luas dan penyebaran lahan kritis (lahan yang terdegradasi) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, hampir 10 juta hektare lahan di Indonesia termasuk dalam lahan yang kritis dan 4,5 juta hektare lainnya termasuk dalam lahan yang sangat kritis. Secara total, 1,79% dari luas Indonesia mengalami degradasi lahan dan kekeringan. Ini tentu menjadi masalah serius yang harus segera ditangani sebelum dampaknya meluas.

Sesuai pada sustainable development goals (SDGs), Indonesia memiliki beberapa upaya untuk memerangi desertifikasi (penggurunan) dan membalikkan degradasi lahan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 telah mengemukakan upaya Pemerintah Indonesia dalam bidang konservasi tanah dan air. Hal tersebut selaras dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi degradasi lahan sebesar 27,5 juta hektare dan mencapai degradasi lahan netral pada tahun 2040 nanti.

Untuk mendukung upaya Pemerintah dalam penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan, mari tingkatkan kesadaran diri terhadap lingkungan. Satu langkah kecil dapat sangat berarti dalam keberlangsungan kehidupan di Bumi tercinta ini. 

Tulisan oleh Syafiq Hilmy Ardani

Data oleh Faris Mishbahul Ma’ruf

Ilustrasi oleh Fairunafis Sabrina