Jalan Tol Semarang–Demak merupakan bagian dari jaringan Tol Trans-Jawa koridor Pantura yang akan menghubungkan Semarang, Demak, Tuban, dan Gresik, serta bersambung dengan Tol Gresik–Surabaya. Lokasinya yang berada di Pantai Utara Jawa membuat pembangunan jalan tol ini juga mempertimbangkan peristiwa banjir rob yang kerap melanda Semarang, terutama di wilayah Genuk dan Kaligawe.
Dengan panjang total 26,7 kilometer, pembangunan Jalan Tol Semarang–Demak terbagi dalam dua seksi. Seksi 1 (Semarang/Kaligawe–Sayung) memiliki panjang 10,39 kilometer, sedangkan Seksi 2 (Sayung–Demak) memiliki panjang 16,31 kilometer. Pada Seksi 1, akan dibangun jalan tol yang terintegrasi dengan tanggul laut sebagai bentuk pencegahan banjir rob.
Jalan Tol Semarang–Demak akan terhubung dengan jalan tol eksisting, yaitu jalan tol Seksi A, B, C di Semarang. Selain itu pula, jalan tol ini akan terhubung dengan Jalan Tol Semarang Harbour dari Kaligawe. Terhubungnya kedua jalan tol ini nantinya akan meningkatkan konektivitas Pelabuhan Tanjung Emas dengan kawasan-kawasan industri di sekitar.
Konstruksi Jalan Tol Semarang–Demak ini menghadapi kendala di pembebasan lahan. Baik di Seksi 1 maupun Seksi 2, sebagian besar lahan merupakan tanah musnah, yaitu tanah terendam banjir rob yang batas-batasnya sudah tidak terlihat lagi. Pembebasan tanah musnah ini dilakukan dengan mengacu pada peraturan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Peraturan Presiden yang membahas dampak sosialnya. Menurut Deddy Susanto selaku General Manager Technical PT PP Semarang–Demak, kendala pembebasan lahan khususnya di Seksi 2 telah terurai hingga lebih dari 92% per 3 Juni 2022.
Selain kendala pembebasan lahan, Deddy juga menyebutkan bahwa sebanyak 46 hektare lahan mangrove perlu direlokasi untuk proyek Jalan Tol Semarang–Demak. Relokasi mangrove ini dilakukan bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup Demak ke tiga lokasi di sekitar pembangunan jalan tol.
Struktur jalan tol Semarang–Demak ini selain terintegrasi dengan tanggul laut, juga menggunakan slab on pile dan timbunan. Pemilihan slab on pile dilakukan lantaran kondisi tanah yang berupa tanah lunak cukup dalam, mencapai lebih dari 50 meter. Akan tetapi, konstruksi timbunan masih menjadi opsi utama karena biaya pembangunan slab on pile yang mahal. Selain itu, dilakukan juga soil investigation untuk menentukan tinggi kritis timbunan. Pada lokasi-lokasi yang elevasinya melewati tinggi kritis timbunan inilah digunakan slab on pile untuk mencegah terjadinya longsor.
Sistem operasional yang nantinya digunakan adalah pengoperasian Seksi 2 terlebih dahulu dengan sistem terbuka dan pengguna jalan tol cukup melakukan tapping kartu di gerbang tol masuk, yaitu Gerbang Tol Sayung. Akan tetapi, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) kedepannya akan menggunakan sistem multi lane free flow (MLFF)—sistem transaksi nirsentuh tanpa gerbang—di seluruh jalan tol Indonesia, termasuk Jalan Tol Semarang–Demak ini.
Penggunaan Matras dan Cerucuk Bambu
Jalan Tol Semarang–Demak, khususnya Seksi 1, dibangun terintegrasi dengan tanggul laut sebagai upaya penanganan banjir rob di daerah Semarang. Kondisi tanah yang lunak membuat pekerjaan perbaikan tanah mendapat perhatian serius dalam pembangunan jalan tol ini. Untuk perbaikan tanah, selain menggunakan prefabricated vertical drain (PVD), juga menggunakan cerucuk bambu dan matras bambu.
Teknologi bambu ini dipilih berdasarkan perbandingan dengan teknologi lain. Cerucuk ataupun matras bambu merupakan pilihan paling efisien dan dapat memberikan kekuatan sesuai yang dibutuhkan. Selain itu pula, bambu merupakan material natural yang tidak akan menyebabkan pencemaran berarti di laut, hanya perlu diperhatikan agar proses pemasangannya tidak mengganggu perahu-perahu yang melintas.
Bambu yang akan digunakan sebelumnya diuji di laboratorium, mulai dari uji tarik hingga uji lentur. Pada pengujian ini, digunakan 17 lapis matras bambu sesuai dengan detail engineering design (DED). Akan tetapi, jumlah lapisan dioptimasi sesuai hasil pengujian laboratorium sehingga digunakan 13 lapis matras bambu. Selanjutnya, dilakukan trial embankment, yaitu trial matras bambu secara penuh. Trial embankment dilakukan hingga 2 lapis timbunan dari keseluruhan 7 lapis untuk dapat dijadikan acuan pekerjaan tanggul laut.
Bambu merupakan material alam yang tidak bisa diatur dengan mudah, baik dimensi maupun kualitasnya. Oleh karena itu, dalam penentuan standar bambu yang akan dipakai, tidak ada syarat panjang bambu secara keseluruhan. Bambu yang dipakai harus memenuhi diameter 10 centimeter dan panjang lurus minimal 8 meter. Untuk jenis bambu, tidak ada ketentuan khusus mengingat pengadaan bambu tidak bisa hanya dari satu daerah saja. Pada pelaksanaan trial embankment, dibutuhkan bambu kurang lebih 400.000 batang yang didatangkan dari daerah sekitar Jawa Tengah, terutama di Magelang dan Boyolali. Sementara itu, kebutuhan bambu untuk pengerjaan tanggul laut ini mencapai 7 juta batang dan akan didatangkan dari berbagai provinsi mulai dari Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, bahkan hingga Lampung.
Pada struktur timbunan tanggul laut, dipilih menggunakan pasir laut dari daerah Jepara dan Karimun Jawa. Pemilihan pasir laut ini untuk mencegah kerusakan jalan eksisting akibat distribusi material jika menggunakan pasir darat. Selain itu pula, dengan adanya matras bambu di lapisan bawah timbunan, tidak memungkinkan untuk melakukan pemadatan dengan vibro roller. Apabila menggunakan pasir darat, pemadatan perlu dilakukan di setiap lapisan. Pemadatan cukup dilakukan di lapisan terakhir jika menggunakan pasir laut, menggunakan teknik vibro voltation yang menggetarkan pasir hingga memadat.
Tanggul laut yang dibangun memiliki top elevasi yang cukup tinggi, yaitu +7,2 meter. Hal ini didasarkan pada perhitungan adanya land subsidence atau penurunan muka tanah yang bisa mencapai 7 centimeter per tahunnya. Selain itu pula, untuk mencegah terjadinya penurunan muka tanah yang lebih parah, masyarakat diimbau untuk mengurangi pemakaian air tanah sebagai air baku rumah tangga dan industri.
Kolam Retensi sebagai Infrastruktur Pendukung
Pembangunan tanggul laut yang menghadang air laut untuk menuju ke daratan tentunya berdampak pada penutupan muara sungai, kecuali muara Sungai Babon. Muara Sungai Babon, sungai besar yang berhadapan dengan tanggul laut, dibuat tetap terbuka sehingga air sungai bisa mengalir ke laut. Terdapat beberapa sungai yang muaranya tertutup karena keberadaan tanggul laut ini, yaitu Sungai Tenggang, Sungai Sringin, dan Sungai Sriwulan. Muara dari ketiga sungai ini dialihkan menuju kolam retensi yang berada di kanan dan kiri Sungai Babon. Dari kolam retensi ini, air kemudian akan dipompa menuju Sungai Babon dan mengalir ke laut.
Kolam retensi Terboyo dan Sriwulan didesain dengan kala ulang rencana 25 tahun. Kolam retensi Terboyo sendiri memiliki luas 189 hektare dengan 6 pompa berukuran 5 m3/s dan kolam retensi Sriwulan memiliki luas 28 hektare dengan 4 pompa berukuran 5 m3/s. Kolam retensi Terboyo didesain lebih luas agar bisa menampung debit dari Sungai Sringin dan Sungai Tenggang.
Pemompaan air dari kolam retensi menambah beban debit tampungan Sungai Babon. Untuk menghindari banjir akibat pertambahan tampungan ini, dilakukan normalisasi sungai Babon. Normalisasi yang dilakukan mengikuti desain penampang rencana kala ulang 50 tahun meliputi pengerukan dasar sungai hingga pelebaran sungai.
Selain terintegrasi dengan tanggul laut, Jalan Tol Semarang–Demak juga memiliki daya tarik lain, yaitu rest area yang berada di tepi laut. Rest area tipe A dengan luas kurang lebih 8 hektare ini merupakan rest area pertama di Indonesia yang dibangun di tepi laut.
Jalan Tol Semarang–Demak dibangun dengan harapan menjadi jalan tol multifungsi, tidak hanya sebagai konektivitas, tetapi juga sebagai pencegah banjir rob di kawasan sekitarnya. Air dari kolam retensi yang dibangun juga dapat dimanfaatkan menjadi tambahan air baku masyarakat.
Dengan adanya tanggul laut yang mencegah terjadinya banjir rob di wilayah Genuk dan Kaligawe dapat merevitalisasi kawasan industri di daerah tersebut. Wilayah-wilayah bekas genangan yang mengering ini kemudian bisa digunakan untuk kawasan industri dan pendukungnya, serta pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Provinsi Jawa Tengah.
Tulisan oleh Melisa Ruth Angelica
Data oleh Aninda Garnierita
Dokumentasi oleh Deva Setya Ajeng Kartika
Tim Liputan Clapeyron (Melisa Ruth, Aninda Garnierita, Deva Setya, Sultan Ibrahim)