Ajakan Mengenang Korban Penghilangan Paksa

Perang Rusia dan Ukraina yang masih terus berlanjut hingga hari ini membawa dampak besar bagi masyarakat di kedua negara tersebut. Rasa takut dan cemas akan pembunuhan, penculikan, dan penghilangan paksa menjadi teman sehari-hari bagi masyarakat. Kondisi cemas ini membawa ingatan kita kembali pada sejumlah insiden pelanggaran HAM pada abad ke-20 yang pada saat itu, banyak orang kesulitan untuk hidup bebas dan aman.

Hak Manusia untuk Hidup Bebas dan Aman
Hidup bebas dengan rasa aman dan tenteram seharusnya menjadi hak yang dimiliki seorang manusia dari awal usianya. Namun, tidak semua orang dapat menikmati hak tersebut karena rasa takut akan teror, penahanan, penangkapan ilegal, dan penculikan di sekitar yang pada akhirnya menyebabkan penghilangan seseorang. Penghilangan paksa tidak hanya menimbulkan trauma bagi korban, tetapi juga membawa penderitaan bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. 

Abad ke-20 menjadi masa ketika kasus penghilangan paksa banyak terjadi di seluruh dunia yang banyak di antaranya dilatarbelakangi oleh Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada tahun-tahun ini, peperangan ideologi antara liberalis dan komunis menyebabkan banyak pelencengan pemahaman yang berujung pada pelanggaran HAM seperti kasus penghilangan paksa oleh rezim Amerika, penculikan anak-anak oleh rezim militer Argentina (1982) yang akhirnya membentuk gerakan Mothers of the Plaza de Mayo, penangkapan dan pembunuhan pemberontak komunis NPA di Filipina 1972, dan lain sebagainya.

Penegakan hukum dan HAM saat itu sangat diperlukan untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus penghilangan paksa dengan baik. Tanggal 21 Desember 2010, melalui resolusinya, Majelis Umum PBB menyatakan rasa prihatinnya terhadap setiap penghilangan paksa, termasuk penangkapan, penahanan, dan penculikan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada resolusi yang sama, Majelis Umum PBB juga menyambut adopsi konvensi internasional untuk International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (ICPPED) atau Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dan menetapkan tanggal 30 Agustus sebagai Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional yang mulai diperingati tahun 2011. 

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional ditetapkan PBB sebagai bentuk rasa prihatin dan pengingat bahwa pernah terjadi penghilangan paksa di berbagai negara. Selain itu, peringatan ini juga menjadi ajakan agar selalu bersimpati dan mempertanyakan nasib orang-orang yang belum kembali sampai saat ini. 

Kasus Penghilangan Paksa di Indonesia dan Tindak Lanjutnya
Di Indonesia sendiri, penghilangan orang secara paksa juga marak terjadi pada abad ke-20 hingga sekarang. Berbagai peristiwa tersebut telah memakan puluhan ribu korban, misalnya tragedi 1965–1966, saatterjadi penangkapan dan penahanan besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh sebagai ataupun terlibat dengan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kasus serupa juga terjadi pada tahun 1982–1985 yang terdapat banyak penembakan misterius (petrus) terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai gabungan anak liar (gali), preman, atau pelaku kejahatan. Perbedaan ideologi juga memunculkan organisasi separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berakhir pada penculikan dan penyiksaan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota GAM selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Tidak hanya itu, peristiwa berdarah di Tanjung Priok (1985) dan Lampung Berdarah (1989) akibat tidak adanya toleransi antar-agama juga berakhir dengan penghilangan dan pembunuhan orang-orang tak bersalah. 

Perhatian tentang kasus penghilangan paksa di Indonesia mulai mendapat perhatian oleh Komnas HAM sejak Kerusuhan 27 Juli 1996 pada masa Orde Baru. Kasus tersebut tidak menemukan titik terang walaupun sudah satu tahun berlalu. Masuk tahun 1998, beberapa aktivis dikabarkan menghilang. Sembilan di antaranya kembali dalam keadaan hidup, sedangkan masih terdapat tiga belas aktivis yang belum kembali. Tiga belas orang tersebut adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Kambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Komnas HAM kembali melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang belum kembali meski masa pemerintahan Orde Baru telah berhenti pada Mei 1998. Pada tahun yang sama, dibentuk Tim Mawar yang terdiri dari Kopassus TNI AD untuk bertugas mencari data dan mengumpulkan informasi tentang kegiatan kelompok radikal. 

Penyelesaian awal kasus penghilangan paksa dilakukan dengan penetapan Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia. Namun setelah reformasi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dibentuk. Komnas HAM kemudian melakukan kajian terhadap kasus penghilangan paksa melalui undang-undang tersebut yang akhirnya ditingkatkan menjadi penyelidikan setelah muncul UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah itu, pada tahun 2005, Komnas HAM juga membentuk TIM Ad Hoc yang khusus menyelidiki kasus penghilangan paksa 1997–1998. Meski begitu, sampai hari ini, ketiga belas nama di atas masih belum diketahui keberadaannya. 

Pencegahan dan Pelaporan Orang Hilang
Kasus penculikan dan penghilangan paksa sering kali terlambat mendapat tindak lanjut karena masih banyak yang tidak tahu bagaimana cara melaporkan orang hilang. Saat melaporkan orang hilang, sebisa mungkin pelapor harus mengetahui identitas, kondisi, dan posisi terakhir korban pada saat ia menghilang. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberi kabar jika berpergian dan sebisa mungkin membawa seseorang untuk menemani. 

Langkah pertama yang bisa dilakukan untuk melaporkan orang hilang adalah dengan menelepon nomor darurat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) pada 115. Selain itu, pelapor juga dapat datang ke kantor Basarnas daerah masing-masing yang kontak dan alamatnya sudah tertera di website resmi Basarnas. Langkah yang bisa dilakukan selanjutnya adalah menyebarkan kabar, membuat selembaran, dan membuat pengumuman baik secara luring ke masyarakat sekitar maupun secara daring lewat media sosial.

Jika semua pencegahan dan tindak lanjut sudah dilakukan, hal terakhir yang dapat dilakukan adalah menyerahkan semuanya pada pihak berpengalaman dan selalu mengawal kasusnya agar terselesaikan. Setiap pelaporan orang hilang memang sudah seharusnya diselesaikan karena hak hidup setiap orang diatur dalam undang-undang. Terkhusus untuk kasus penghilangan secara paksa, selama negara tidak memberi keterangan resmi, kasus penghilangan harus terus diselidiki hingga tuntas dan dinyatakan selesai. 

Terakhir, dengan tulisan ini, penulis dan seluruh awak Clapeyron menyampaikan simpati dan doa terbaik untuk seluruh korban penghilangan paksa agar dapat ditemukan dan segera pulang dengan selamat. 

Ditulis oleh Nur Zakia Ahmat
Data oleh Nadya Khailifa 
Ilustrasi oleh Maruta Bagas