Sebuah Persepsi Tentang Nasionalisme

Perjuangan, patriotik, keberanian, dan kejayaan, empat hal ini selalu diajarkan pada kita dari kecil sampai sekarang. Mulai dari cerita keberanian para pejuang kemerdekaan mengusir penjajah dari tanah Indonesia hanya dengan bambu runcing, pidato Bung Tomo yang berhasil membakar semangat rakyat Surabaya, hingga menceritakan kejayaan “Nusantara” pada masa Kerajaan Majapahit yang membentang dari sebagian Asia Tenggara sampai Indonesia walaupun sebagian dari cerita tersebut seringkali tidak tepat karena dibuat dramatisir. Sebut saja cerita tentang perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan seorang diri. Padahal dalam proses kemerdekaan, kita tidak berjuang sendiri dalam mengusir penjajah. Justru pihak ketiga (Amerika) memiliki peran yang penting untuk memaksa Belanda hengkang dari Indonesia. Belum lagi efek tidak langsung dari persaingan perang dingin antara Komunis dan Kapitalis yang membuat Amerika dan sekutunya mau tidak mau menyudahi konflik yang tak pasti ujungnya. Hal-hal tersebut menjadi alasan mengapa Indonesia sangat tidak mungkin berjuang “sendiri” dalam memperoleh kemerdekaannya. Lalu mengapa hal tersebut selalu didengungkan? Untuk mengetahui jawabannya, kita harus menjawab sebuah pertanyaan dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin sebuah negara ingin mencetak generasi nasionalis sedangkan negaranya sendiri tidak memiliki sifat nasionalis—yang berjuang dengan tangan dan berdiri dengan kakinya sendiri—?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme merupakan ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Ideologi ini menekankan aspek kesetiaan, loyalitas, dan pengabdian kepada suatu bangsa atau negara dengan mengedepankan kewajiban melayani negara dianggap lebih utama dari pada kepentingan individu maupun kelompok tertentu lainnya. Apabila diterjemahkan dengan kalimat sederhana, nasionalisme dapat diartikan sebagai rasa cinta pada tanah air.

Lalu dari mana nasionalisme ini berasal? Nasionalisme modern yang sekarang hampir dianut di seluruh negara di dunia pertama kali berasal dari Perancis melalui Revolusi Perancis pada era Napoleon. Pada era inilah paham nasionalisme disebarkan hampir di seluruh dataran Eropa melalui Perang Napoleonic. Negara jajahannya dibentuk dan dikelompokkan sesuai dengan bangsanya masing-masing—yang sebelumnya terpecah-pecah dari negara kecil. Dasar pemahaman inilah yang kemudian disebar melalui penaklukan dan penjajahan bangsa Eropa ke seluruh wilayah bagian di dunia.

Konsep Nasionalisme

Seperti layaknya cinta, nasionalisme dapat mengekspresikan perasaan yang sama. Perasaan memiliki, perhatian, bangga, sedih, dan sakit hati apabila ada yang menyakiti. Apapun alasannya apabila ada yang menyakiti baik benar atau salah, tetap kita bela. Cinta bisa berdampak baik pada kita apabila dalam porsi yang cukup. Merasa saling dilindungi, diurus, dan diperhatikan adalah bentuk cinta yang baik, begitupun dengan nasionalisme.

Dengan nasionalisme, kita diajarkan untuk tidak cuek serta antipati terhadap lingkungan sosial di sekitar kita. Selain itu, kita diajarkan pula untuk saling peduli dan memiliki rasa persaudaraan yang tinggi terhadap bangsa sendiri. Orang yang memiliki jiwa nasionalis umumnya memiliki kecenderungan untuk tidak bersikap egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, menurut kesimpulan penulis, sebuah negara dengan masyarakatnya yang mempunyai pemahaman nasionalis cukup baik memiliki kecenderungan angka kasus korupsi yang lebih kecil dibandingkan dengan negara yang lain.

Bagaimana tidak? Dalam konsep nasionalisme, kita diajarkan untuk mengedepankan aspek loyalitas dan pengabdian kepada suatu bangsa lebih penting dari apapun termasuk kepentingan individu itu sendiri. Bagi seorang pejabat atau birokrat pemerintah yang menganut dan menjunjung tinggi semangat nasionalis, sangat tidak mungkin bagi mereka melakukan korupsi karena korupsi sendiri sudah melanggar dan merugikan aspek kepentingan bangsa. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya? Masyarakat yang nasionalis cenderung tidak apatis, peduli, dan siap mengawal ketika melihat pemerintahannya sedang tidak beres. Konsep kebangsaan yang dianut atas dasar suku, ras, kepentingan, atau penderitaan yang sama melahirkan rasa persaudaraan dan peduli antar masyarakat. Mereka berpikir efek yang dirasakan akan menjadi lebih besar ketika bersinggungan dengan kepentingan umum atau bangsa sehingga masyarakat akan terus mengawal pemerintahan agar tidak melenceng dan tetap terkendali sesuai dengan asas kepentingan bersama. Di sisi lain, tanpa nasionalisme masyarakat akan cenderung egois dan keras kepala. Pasalnya, bagi mereka “harga” untuk melawan lebih mendominasi daripada kerugian per individu yang mereka rasakan.

Walaupun nasionalisme memiliki sisi yang baik, tetap saja memiliki banyak celah untuk dimanfaatkan sisi buruknya oleh orang-orang yang haus akan kekuasaan. Bahkan seorang ilmuwan penting yang berpengaruh besar terhadap fisika modern, Albert Einstein, mengatakan bahwa nasionalisme merupakan hal yang kekanak-kanakan. Apa yang dikatakan Albert Einstein sebagiannya bisa dikatakan benar. Mengapa demikian? Bayangkan ketika masih kecil, anak-anak sering kali bertengkar dan berebut mainan sembari mengklaim bahwa mainan itu merupakan kepunyaannya. Ataupun berebut “kekuasaan” wilayah bermain karena menganggap dirinya menemukan wilayah ini terlebih dahulu. Tujuannya tetap sama, untuk membuat dirinya merasa “lebih” dibandingkan dengan yang lain.

Lebih gilanya lagi, contoh yang diberikan di atas merupakan contoh nyata dari alasan dimulainya sebuah peperangan yang terus berulang tanpa henti bak lingkaran setan. Hampir sebagian besar peperangan di dunia disebabkan oleh semangat nasionalisme yang berlebihan. Polanya hampir sama, ada seseorang atau sekelompok orang yang haus akan kekuasaan menginginkan sebuah kejayaan kelompok atau bangsanya. Kemudian, kelompok tersebut  melakukan propaganda dan menghasut seakan kelompok atau bangsa lain berusaha menghambat dan menindas bangsa tersebut.

Sebutlah salah satu contohnya adalah Jerman pada Perang Dunia 2. Adolf Hitler—pemimpin Jerman saat itu—dengan paham nasionalisme radikalnya terus-menerus mengglorifikasi kejayaan Jerman sebelum kalah pada Perang Dunia 1 dan menganggap bahwa bangsa Yahudi-lah alasan dibalik kekalahan Jerman. Munculnya hal tersebut,  bukanlah tanpa alasan. Berawal dari sebuah penghinaan dan lanjut hingga mengalami kesengsaraan pasca diterpa badai kekalahan pada perang sebelumnya. Oleh karena itu, Ia membutuhkan kambing hitam untuk mempersatukan rakyat Jerman dalam semangat nasionalis yang dibentuk dalam kebencian rasial. Bagi rakyat Jerman yang telah sengsara, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk terhasut ke dalam paham nasionalisme ini. bBelum lagi kebijakan politiknya untuk mendoktrin pemikiran masyarakat bahwa Bangsa Jerman adalah bangsa yang unggul dibandingkan bangsa lain, serta obsesinya untuk menyatukan ras Arya dan bBangsa Jerman yang tersebar di Eropa Tengah dalam satu negara. Ketika bangsa Jerman menjadi putus asa, Hitler dapat dengan mudah masuk mengisi kekosongan dan mengeksploitasi Bangsa Jerman sesuai ambisi dan tujuannya. Mulai dari berbarisnya tentara Jerman ke kota Warsawa, Paris, dan 900 km dari kota Moskow hingga rencana pembunuhan sistematis bangsa Yahudi di seluruh antero Eropa. Bukankah ini paket yang lengkap untuk mengeksploitasi bangsa Jerman menjadi bangsa yang bengis?

Jika ditanya mengapa bisa? Alasannya adalah Nasionalisme. Nasionalisme bisa mengubah masyarakat menjadi egois dan hanya mementingkan kelompok atau bangsanya saja. Pada tingkat yang lebih parah—seperti nasionalisme yang dibentuk atas dasar kebencian pada bangsa lain—masyarakat akan cenderung terobsesi untuk mewujudkan tujuannya dengan segala cara hanya untuk kelompok atau bangsanya lebih superior dari bangsa lain. Tak peduli seberapa besar dampak buruknya terhadap bangsa lain, tak peduli seberapa besar utopianya tujuan ini. Tujuan tersebut akan tetap diwujudkan. Walaupun termasuk mengorbankan dan melanggar hak bangsa lain serta hak kebebasan dalam individu.

Belajar dari sejarah di atas, sudah selayaknya kita harus mengontrol kadar nasionalisme yang ada pada diri kita. Nasionalisme harus dijaga dalam kadar yang sehat, terukur, dan terarah. Jangan lupakan bahwa peperangan besar nan kejam tercipta dari nasionalisme yang berlebihan. Layaknya senjata yang bisa digunakan dengan tujuan membela diri atau melukai. Nasionalisme pun berperilaku demikian. Sudah selayaknya kita menjadi lebih dewasa dan bijaksana dalam menerjemahkan rasa cinta kita terhadap tanah air. Jangan sampai kita tumbuh menjadi seseorang agresif yang menginginkan perang dan mau mati hanya untuk hal yang sederhana. Jangan pula kita punya ambisi untuk merendahkan bangsa lain han ya karena merasa “lebih”. Jangan pula kita juga mudah terhasut untuk menjadi anarkis hingga hati nurani tertutup hanya karena mengatasnamakan nasionalisme. Seharusnya nasionalisme ditempatkan sejajar dengan hak asasi manusia. Dengan menempatkannya sejajar kita bisa menilai bahwa nasionalisme yang kita yakini sudah benar atau salah. Apakah nasionalisme ini bertujuan untuk membela dan mempertahankan tanah air bangsa sendiri atau untuk memperebutkan kekuasaan dan menindas bangsa lain? Kitalah yang menentukannya.

Tulisan oleh Dhiya Ul Hilal

Data oleh Dimas Apta Adiyatma

Ilustrasi oleh Kelvin Kenzie Muhammad