Polusi Jakarta, Solusinya?

Pertengahan Agustus 2023, Indonesia terjerat berita kurang mengenakkan di kaca dunia. Jakarta, Ibu Kota Negara menduduki peringkat kedua setelah Dubai, Uni Emirat Arab dalam nominasi kota paling berpolusi di dunia. Nominasi ini didasarkan atas nilai indeks kualitas udara (AQI US) Jakarta yang sempat menginjak angka 168 menurut laman IQAir pada Minggu, 13 Agustus 2023 pukul 09:34 WIB. Angka ini amat memprihatinkan karena indeks kualitas udara di Jakarta sangat buruk—indeks udara dikategorikan baik apabila dalam rentang 0 hingga 50.

Tingginya mobilitas di ibu kota merupakan kontributor utama polusi udara, bahkan menduduki peringkat pertama dalam polusi udara saat ini. Mobilitas di Jakarta didominasi oleh transportasi pribadi kendaraan bermotor berbahan bakar minyak. Proses pembakaran minyak inilah yang nantinya menimbulkan residu berupa polutan NOx, CO, partikel PM10, dan partikel PM2.5. Menurut data penelitian DLH (Dinas Lingkungan Hidup) DKI, jumlah polutan yang dihasilkan dari sektor transportasi untuk CO sebesar 298.171 ton (96,36%), selanjutnya NMVOC (non-methane volatile organic compounds) sebesar 201.871 ton (98,5%), partikel PM10 sebesar 5.113 ton (57,99%), dan partikel PM2.5 sebesar 5.257 ton (67,04%). Apabila dilihat dari besarnya nilai polutan yang dihasilkan, sektor transportasi dimahkotai sebagai kontributor utama dalam polusi udara ibu kota.

Menyelisik lebih lanjut mengenai penyebab tingginya polusi udara di DKI Jakarta, menurut data policy brief “Sumber Utama Polusi Jakarta” oleh Vital Strategis (2020), pembakaran batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) juga turut menyumbang polusi udara sebesar 14% di bagian timur wilayah Jakarta selama musim penghujan. Dikaitkan pula dengan sepuluh PLTU di Banten yang menjadi menyumbang emisi di ibu kota berdasarkan pemetaan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Greenpeace pada 2017. Meski lokasi PLTU ini tidak berada di ibu kota, emisi dari sebagian PLTU setiap bulan terbawa angin sehingga memperkeruh udara Jakarta.

Mengesampingkan hal-hal besar yang menjadi faktor utama terjadinya polusi udara di kota metropolitan Jakarta, terdapat faktor lain yang menyebabkan polusi udara bertambah parah di Indonesia. Indonesia tengah mengalami musim kemarau yang menyebabkan polusi udara sulit dikendalikan. Lain halnya apabila polusi udara ini terjadi di musim penghujan., derasnya hujan seolah mencuci udara dari polutan yang berhamburan. Siklus pencucian udara (atmospheric washout) terjadi ketika hujan turun yang mengikat polutan di udara sehingga jatuh ke tanah. Selain itu, tumpukan polutan di udara yang berasal dari banyaknya pembakaran sampah serta aktivitas industri di sekitaran wilayah ibu kota akan berdampak dalam banyak aspek kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Langit cerah menjadi suatu momen yang langka di Jakarta saat ini. Pasalnya, langit yang dulunya dipenuhi awan kini terselimuti dengan kabut putih di udara. Kabut yang menyelimuti kota metropolitan ini bukan karena uap air di udara yang mengembun seperti di dataran tinggi, melainkan kabut ini timbul akibat polusi udara. Tingginya polutan di udara yang bereaksi dengan cahaya (fotokimia) menghasilkan polutan sekunder yang mengandung NO2 dan O3 menjadi cikal bakal kabut asap terjadi. Timbulnya kabut asap menyebabkan jarak pandang mata memendek sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari dan menurunkan produktivitas masyarakat. Kendati demikian, timbulnya kabut asap ini bukanlah satu-satunya akibat dari polusi udara di ibu kota.

Mengulas dari aspek kesehatan, indeks kualitas udara (AQI US) Ibu Kota Jakarta dikategorikan sebagai “tidak sehat”. Padahal, kehidupan kita tidak terlepas dari udara sebagai media untuk bernapas. Semakin tinggi kualitas udara yang kita hirup, semakin tinggi pula kualitas hidup yang kita dapatkan. Lantas, kualitas udara ibu kota yang “tidak sehat” tentu akan menimbulkan gangguan pernapasan. Hal ini terbukti dari meningkatnya aduan warga ibu kota yang terpapar infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Selain itu, banyak juga penyakit yang mengancam kesehatan akibat paparan udara yang buruk. Menyadur dari laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, beberapa penyakit yang ditimbulkan adalah flek kulit, serangan asma, iritasi mata, iritasi saluran napas, gangguan kulit, dampak pada pertumbuhan anak, dan risiko kanker paru-paru.

Mengingat banyaknya ancaman kesehatan yang timbul akibat adanya polusi udara, tentu saja banyak usaha yang patut dilakukan untuk menanggulangi tragedi ini. Salah satunya, pemerintah melalui Kemenkes RI secara resmi mengimbau warga DKI Jakarta untuk melakukan 6M dan 1S dalam pernyataan pers pada Senin (28/08).Berkesinambungan dengan pencegahan risiko penyakit yang ditimbulkan dari polusi udara melalui 6M dan 1S, warga ibu kota dihebohkan oleh kabar burung untuk solusi dari polusi udara dengan kebijakan work from home (WFH) bagi sebagian ASN di Jakarta. Namun, solusi yang digadang-gadang dapat menurunkan polusi udara di Jakarta ternyata berlatar belakang semata-mata untuk persiapan KTT ASEAN ke-43 Tahun 2023 melalui Surat Edaran Menteri PANRB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) Nomor 17 Tahun 2023. Walaupun begitu, kebijakan ini patut untuk diapresiasi karena mungkin sebetulnya pemerintah telah berencana menanggulangi polusi udara ini yang “dikemas” dalam persiapan KTT ASEAN. Sedikit kilas balik, Presiden RI menyebutkan salah satu cara untuk mengembalikan kualitas udara Jakarta, yaitu dengan rencana pemindahan ibu kota ke IKN. Diharapkan nantinya kepadatan penduduk DKI Jakarta akan berkurang sehingga polusi dapat dikendalikan dalam pidatonya di Indonesia Arena GBK, Jakarta, Senin (07/08).

Berbincang mengenai penanggulangan polusi ibu kota, Presiden RI Joko Widodo menggelar rapat terbatas (ratas) terkait upaya peningkatan kualitas udara Jabodetabek di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (28/08). Dalam rapat tersebut dibahas bahwasannya pemerintah telah menguji coba Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Mikro menggunakan mist generator guna menurunkan tingkat polutan di udara. Pengujian penyemprotan air ini direncanakan dapat terealisasi dengan mengaplikasikannya di setiap lantai tertinggi dari suatu gedung pemerintahan dan BUMN secara massal. Selain itu, banyak usulan lain seperti pembangunan tirai air dan gerakan penanaman pohon bersama. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rapat menyebutkan akan mempercepat transisi dari kendaraan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar listrik. 

Lantas, apakah tanggapan dan tindakan pemerintah sudah tepat?

Apakah pemindahan Ibu Kota ke IKN yang disinggung merupakan cara yang tepat untuk menanggulangi polusi Jakarta?

Data oleh Sanitya Pralambang

Tulisan oleh Almas Nawa Hairin
Ilustrasi oleh Muhammad Khuzamy