Sosial media baru-baru ini dihebohkan dengan informasi pembatasan penggunaan air tanah. Ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 berisi tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah. Pelbagai reaksi muncul merespons aturan baru ini, termasuk respons pro dan kontra terkait pembatasan penggunaan air tanah.
Mayoritas masyarakat Indonesia cenderung menggunakan air tanah sebagai sumber baku air bersih dibandingkan air permukaan. Dilansir dari Sumatra Bisnis, 90% warga Pekanbaru masih memakai air tanah. Di kota metropolitan seperti DKI Jakarta pun, penggunaan air tanah masih dilakukan oleh 35% masyarakat ibu kota Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat keberatan dengan kebijakan tersebut karena air tanah masih menjadi tombak utama dalam memenuhi kebutuhan air baku.
Meskipun protes banyak berasal dari masyarakat yang menggunakan air tanah sebagai air baku domestik harian, sebenarnya peraturan ini tidak banyak berpengaruh bagi mereka. Menurut Kementerian PUPR, penggunaan air rata-rata rumah tangga perkotaan di Indonesia sebesar 144 liter per orang per hari. Jika jumlah rata-rata anggota keluarga per KK berkisar 3–4 orang, penggunaan air bersih per satu KK belum mencapai batas penggunaan air tanah sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023, yaitu 100 meter kubik.
Lebih lanjut, ketentuan ini sebenarnya lebih banyak berpengaruh pada industri dan perusahaan yang ingin memanfaatkan air tanah. Menurut Kementerian PUPR, kebutuhan air bersih pada sektor industri mencapai 1 liter per sekon per hektare. Dampaknya, air tanah yang tereksploitasi besar-besaran malah akan menimbulkan efek negatif bagi lingkungan.
Ketersediaan Air
Bumi memiliki banyak limpahan air yang tersimpan—baik dalam bentuk air tanah maupun dalam air permukaan seperti mata air, sungai, danau, lahan basah, dan laut. Air permukaan banyak digunakan sebagai air baku pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, masih sekitar 21% penduduk yang menggunakan layanan PDAM di seluruh Indonesia pada tahun 2019. Artinya, lebih dari setengah penduduk di Indonesia memanfaatkan air tanah.
Air tanah merupakan sumber air yang terdapat di bawah permukaan tanah dan berada di atas permukaan kedap air. Air tanah berasal dari air hujan yang meresap ke dalam tanah melalui lubang pori di antara butiran tanah. Keberadaan air tanah berbeda setiap daerahnya bergantung pada aspek morfologi, litologi, jumlah curah hujan, dan vegetasi setempat. Dengan demikian, jumlah air tanah yang boleh diambil berbeda pula di setiap daerahnya. Air tanah pada umumnya lebih jernih dari pada air permukaan karena air tanah melewati proses absorpsi serta filtrasi oleh batuan dan mineral di dalam tanah.
Pada dasarnya, penggunaan air tanah diperbolehkan asal tidak melebihi batas. Penggunaan air tanah harus memperhatikan kesetimbangan air. Keseimbangan air atau water balance merupakan siklus air dimana besarnya aliran air yang masuk atau ketersediaan (inflow) dan keluar kebutuhan (outflow) siklus adalah sama (Hadrayana, et al,, 2015). Kesetimbangan air meliputi proses perkolasi, evaporasi, transpirasi, recharge, infiltrasi, dan delta storage. Untuk memastikan pengambilan air tanah tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, jumlah air tanah yang digunakan harus sama dengan delta storage—yaitu jumlah curah hujan di daerah setempat.
Mengapa Perlu Ada Ketentuan Terkait Pembatasan Air Tanah?
Penggunaan air tanah yang tidak terkendali akan mengakibatkan penurunan jumlah cadangan air dalam tanah yang mampu menyebabkan penurunan muka air tanah. Dampaknya berupa permasalahan lingkungan seperti penurunan tanah (land subsidence); kemiringan bangunan dan jalan; berkurangnya sumber mata air, aliran sungai, dan daerah lahan basah; meningkatkan pencemaran air tanah; serta intrusi air laut—yang bergantung pada kondisi geologinya.
Penurunan muka air tanah berpengaruh pada kondisi tanah setempat. Air tanah yang diekstraksi secara terus-menerus tanpa adanya pengisian kembali akan membentuk kekosongan celah di dalam tanah. Dampaknya, tanah akan mengalami land subsidence yang merupakan peristiwa runtuhnya tanah akibat penurunan air tanah. Peristiwa ini juga akan berpengaruh pada infrastruktur, seperti kemiringan pada bangunan dan jalan.
Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya persediaan air di sumber mata air, aliran sungai, dan daerah lahan basah. Area-area tersebut berisiko kering saat kemarau akibat kekurangan air. Akibatnya, siklus hidrologi akan terganggu karena tidak terjadi proses penguapan dan kondensasi selama pembentukan hujan.
Dampak selanjutnya yang mungkin terjadi adalah meningkatnya polusi air tanah. Masyarakat terkadang melakukan pengeboran untuk mendapat air tanah. Pada tanah yang tidak mengandung air, pengeboran ini mempengaruhi aliran air. Polutan yang seharusnya memiliki aliran downstream berubah menjadi upstream ke arah sumur yang akan dipakai.
Intrusi air laut juga menjadi salah satu efek negatif dari eksploitasi air tanah. Intrusi air laut adalah peristiwa naiknya batas antara permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan. Fenomena intrusi air laut berawal dari ketidaksetimbangan air tanah dan air laut. Secara alamiah air laut tidak dapat masuk jauh ke daratan sebab air tanah memiliki piezometric yang menekan lebih kuat dari pada air laut sehingga membentuk interface sebagai batas antara air tanah dengan air laut. Dalam keadaan jumlah air tanah yang menipis bahkan habis, tekanan air tanah akan menjadi besar. Akibatnya, air laut yang memiliki tekanan lebih kecil akan tersedot dan tercampur dengan air tanah di daratan yang menyebabkan interface akan bergeser.
Bagaimana dengan Kota-kota di Indonesia?
Mimpi buruk “Jakarta Tenggelam 2050” sebenarnya bukan isapan jempol belaka. Salah dua penyebabnya adalah land subsidence dan intrusi air laut. Berdasarkan Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara (Bappenas, 2021), muka air tanah Jakarta turun 7,5-10 cm per tahunnya. Angka ini diperkirakan akan terus naik hingga 25-50 cm pada 2050.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa kondisi cekungan air tanah (CAT) Jakarta yang melayani 3 provinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat) telah mencapai tahap kritis hingga mengalami kerusakan karena eksploitasi air tanah melebihi ambang batas normal yang disarankan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan ini mencapai 40%, padahal seharusnya maksimum hanya sejumlah 20% agar tidak terjadi intrusi air laut ke daratan. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya land subsidence dan intrusi air laut.
Kasus “air tanah asin” akibat intrusi air laut ditemukan di daerah Angke dan di beberapa titik wilayah pesisir Jakarta dan Tangerang. Penelitian oleh Assegaf, et al. (2017) menyatakan bahwa fenomena ini terjadi karena tiga hal. Pertama, terjadi intrusi air laut ketika air laut masuk ke dalam pori-pori batuan sehingga mengontaminasi air tanah. Kedua, air tanah di Jakarta berasal dari air laut zaman dahulu yang terperangkap dalam batuan. Ketiga, perubahan dalam struktur geologi menyebabkan air fosil naik ke lapisan akuifer.
Peristiwa land subsidence dan intrusi air laut tidak hanya terjadi di Ibu Kota Jakarta, tetapi juga Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Kota Semarang menjadi kota metropolitan—setelah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung—yang terletak di pesisir utara Jawa. Menjadi salah satu kota metropolitan menandakan bahwa terjadi perkembangan pesat pada bidang infrastruktur, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk di kota metropolitan meningkat, begitu pula dengan kebutuhan air sehari-hari.
Di lain sisi, POLGOV FISIPOL UGM menyatakan bahwa 79,7% warga Semarang masih bergantung pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Bahkan, sumber air baku di PDAM—seperti di Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Kangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah—masih menggunakan air tanah (ATDm). Eksploitasi air tanah ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan amblesan tanah (land subsidence) di Semarang.
Di daerah pesisir, eksploitasi air tanah menyebabkan air bersifat payau. Air payau mengindikasikan terjadinya intrusi air laut. Hal ini terjadi karena air laut mulai meresap dan masuk ke permukaan tanah di pesisir pantai.
Konservasi Air, Bagaimana Caranya?
Pembatasan penggunaan air tanah dilakukan sebagai upaya konservasi air tanah. Konservasi air tanah adalah upaya pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian sumber daya air tanah. Pengelolaan lebih lanjut air tanah dapat dilakukan dengan sumur resapan, perlindungan dan pelestarian sumber air, penentuan zona konservasi air, serta injeksi air limbah pada tanah.
Sumur resapan adalah sumur yang dibangun dengan tujuan memperluas area resapan air, terutama air hujan. Memiliki struktur yang berbeda dengan sumur air bersih, lubang sumur resapan dirancang agar air dari luar dapat terserap dengan baik ke dalam tanah. Sumur resapan dapat berguna untuk mencegah genangan, mengurangi banjir, dan media stabilisasi air tanah.
Perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan untuk menjaga keberadaan dan mencegah kerusakan kondisi lingkungan air. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa membuat kawasan hijau pada daerah perbukitan berlereng curam dan kawasan lindung dengan cara reboisasi, menanam tanaman keras pada tepian jalan, dan menanam pepohonan pada daerah aliran sungai (DAS)—dengan jenis pohon seperti mahoni, trembesi, bambu, angsana, dan akasia. Hal ini dilakukan untuk mengurangi polutan dan mempercepat penyerapan air.
Penentuan zona konservasi air dilakukan dengan melibatkan pengaturan curah air hujan agar terjadi keselarasan antara waktu aliran air dengan kapasitas resapannya ke dalam tanah. Tujuannya adalah menghindari potensi bencana seperti banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau.
Cara selanjutnya adalah injeksi air limbah, yaitu metode yang aman untuk membuang limbah berbahaya jika sumur diletakkan, dibangun, dioperasikan, dan dipelihara dengan baik.. Metode injeksi sumur dalam adalah teknik untuk membuang limbah cair dengan menerapkan tekanan khusus ke dalam formasi batuan berpori yang terletak jauh di bawah permukaan tanah. Injeksi air limbah dapat meningkatkan air tanah sehingga dapat mencegah intrusi air laut.
Terakhir, konservasi air tanah dan penyelesaian permasalahan air tanah tidak dapat disamakan di setiap daerah. Kondisi geologi, jenis tanah, curah hujan, morfologi, litologi, dan vegetasi setempat menjadi aspek penting dalam memutuskan tipe konservasi yang akan dilakukan.
Tulisan oleh Jannatul Qolbi Ash Shiddiqi
Data oleh Saiful Wasiim Maisaan
Ilustrasi oleh Shafa As Syifa Listyoputri