Bekizart Beach Club: Ketika Ambisi Mengalahkan Nurani

Bekizart Beach Club

Sejak akhir tahun 2023, wacana mengenai pembangunan sebuah beach club di daerah Gunung Kidul, lebih tepatnya di Pantai Krakal, Desa Ngestirejo, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ramai diperbincangkan. Bermula dari unggahan Raffi Ahmad—selaku investor Bekizart Beach Clubyang menunjukkan adanya prosesi potong tumpeng di lokasi pembangunan. Kegiatan ini tampak dihadiri oleh Bupati Gunung Kidul dan para investor lainnya. Adapun unggahan yang menyatakan bahwa Bekizart Beach Club memiliki luas tanah sekitar 20 hektare dengan berbagai fasilitas, seperti hotel, vila, ballroom, hingga restoran. Beragam tanggapan dari berbagai pihak memenuhi kolom komentar media sosial, baik yang mendukung wacana tersebut, maupun yang menentang.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan wacana pembangunan kawasan wisata jika tujuannya untuk kepentingan bersama. Namun, bila ditelisik kembali, benarkah pembangunan beach club ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Lantas, mengapa fakta bahwa pembangunan dilakukan di atas kawasan lindung seolah tak dihiraukan? Bahkan, kemungkinan terjadinya krisis air yang lebih parah seakan tak menjadi pertimbangan. Atau sebenarnya “kemajuan pariwisata dan ekonomi” hanya dalih untuk menarik simpati agar mudah menggapai tujuan pribadi?

Kawasan Bentang Alam Karst Gunungsewu : Kawasan Lindung Geologi

Bekizart Beach Club rencananya akan dibangun di atas lahan Geopark, Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungsewu yang membentang dari Kabupaten Bantul, Wonogiri, hingga Pacitan. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kawasan karst adalah daerah yang terdiri dari batuan kapur berpori sehingga air permukaan selalu merembes dan menghilang ke dalam tanah (permukaan tanah pun selalu gundul karena kurangnya vegetasi). Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Pasal 60 ayat 2 poin F Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyatakan bahwa “Semua bentang alam karst termasuk Cagar Alam Geologi”, diikuti dengan Keputusan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 3045 K/40/Men. 2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu sebagai kawasan lindung geologi.

Berdasarkan peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) merupakan kawasan lindung geologi yang mesti dijaga eksistensinya, seperti yang tertuang pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia  Nomor 17 tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst yang berbunyi “Kawasan bentang alam karst memiliki komponen geologi yang unik serta berfungsi sebagai pengatur alami tata air dan menyimpan nilai ilmiah sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaannya dalam rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.”

Karst dan Krisis Air Gunung Kidul

Rongga-rongga besar pada batuan karst merupakan jalur bagi air permukaan untuk mengalir ke sungai bawah tanah, seperti sungai bawah tanah Bribin dan Seropan di kawasan karst Gunungsewu yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Sumber air ini diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan air bagi 150.000 jiwa. Sayangnya, baru sebagian kecil dari potensi air sungai bawah tanah yang telah dimanfaatkan. Kondisi ini pula yang menjadi salah satu penyebab atas rawan terjadinya krisis air di daerah Gunung Kidul. Selain menyerap air, karst juga mampu menyerap karbon dari atmosfer, yang umumnya dalam bentuk karbon dioksida. Karbon dibutuhkan karst untuk membangun strukturnya melalui karstifikasi (proses pembentukan karst).

Deputi Direktur Walhi Yogyakarta, Dimas Ramadhan Perdana, menyatakan bahwa pemotongan karst berdampak pada berkurangnya kemampuan karst untuk menampung dan mengalirkan air. Artinya, pembangunan beach club di atas batuan karst tentu akan memengaruhi debit air yang terserap pada sungai bawah tanah dan memperparah  masalah krisis air di Gunung Kidul. Pembangunan ini juga dapat mengakibatkan hilangnya biota, degradasi tanah, serta kerusakan bentuk lahan.

Tak Ada Izin Pembangunan

Bupati Gunung Kidul mengaku belum memberikan izin terhadap pembangunan Bekizart Beach Club. Fakta ini tentu menjadi tanda tanya. Jika memang belum ada izin secara resmi, mengapa kepala daerah tersebut mau hadir, bahkan melakukan prosesi potong tumpeng bersama dengan para investor, yang justru menunjukkan seolah Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mendukung pembangunan beach club tersebut. Apalagi kegiatan tersebut dilakukan tepat di atas kawasan batuan karst. Sebagai “pemilik wilayah”, Bupati Gunung Kidul seharusnya lebih paham dampak dari pembangunan di lokasi tersebut.

Dilansir dari www.jogjaprov.go.id, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Yogyakarta serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) juga belum memberikan izin terkait pembangunan Bekizart Beach Club. Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pun menyatakan bahwa belum mendapat laporan langsung dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mengenai pembangunan. Izin dan kewenangan memang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Namun, perlu adanya koordinasi dari berbagai pihak mengingat Kawasan Bentang Alam Karst Gunungsewu merupakan kawasan lindung geologi.

Pakar Karst UGM, Dr. Eko Haryono, M.S., mengatakan bahwa desentralisasi kewenangan menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan dalam pengelolaan karst di Indonesia. Tak jarang, terjadi perbedaan antara aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan implementasi yang dilakukan oleh kepala daerah sebagai pemegang kewenangan. Di samping itu, peraturan perundangan di Indonesia lebih berfokus pada biodiversitas (keberagaman makhluk hidup) dan budaya sehingga perlu adanya peraturan perundangan yang mengatur operasional konservasi berbasis geodiversitas (keberagaman unsur geologi).

Semua Punya Peran

Penolakan Bekizart Beach Club oleh masyarakat ditandai dengan munculnya petisi berjudul “Tolak Pembangunan Resort Raffi Ahmad di Gunung Kidul” yang telah ditandatangani oleh sekitar 71 ribu orang. Petisi ini berisi uraian singkat mengenai dampak pembangunan beach club bagi lingkungan, kritik terhadap bupati Gunung Kidul, serta ajakan untuk menandatangani dan menyebarkan petisi.

Tujuh bulan berlalu, tak terlihat adanya proses pembangunan di wilayah beach club saat ini. Hanya ada jalan cor beton dan lampu penerangan yang tampak belum selesai dibangun. Entah tidak akan dilanjutkan atau sedang mengulur waktu hingga kontroversinya mereda, tetapi yang jelas, pada bulan Juni, Raffi Ahmad menyatakan mundur dari keterlibatan di proyek ini.

Egois rasanya jika pihak-pihak tertentu masih bersikeras mempertahankan beach club ini. Tak seharusnya pembangunan dilakukan di atas penderitaan masyarakat. Tujuan meningkatkan minat pariwisata dan pertumbuhan ekonomi di Gunung Kidul tak sebanding dengan potensi kerusakan alam yang muncul karena proyek ini. Masyarakat lebih membutuhkan inovasi pemanfaatan karst sebagai sarana mengatasi krisis air, daripada sarana wisata.

Semua pihak, baik pemerintah, investor, maupun masyarakat, harus bekerja sama dalam memajukan pariwisata dengan tetap menjaga keberlangsungan lingkungan. Harus ada aturan yang dijadikan pedoman bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam mengambil keputusan sehingga terbentuk satu kesatuan pandangan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Investor juga harus lebih “sadar” atas proyek yang mereka jalankan. Jangan karena dibutakan oleh nafsu pribadi, lalu mengesampingkan konsekuensi jangka panjang, apalagi jika berujung pada kesengsaraan. Masyarakat pun harus turut aktif dalam mengkritisi kebijakan yang dirasa merugikan.

Tulisan oleh Nadya Rahma Riviantika

Data oleh Cempakaningrum Kinasih Gusti

Ilustrasi oleh Narendra Dewa Wilutama