Suara karawitan memecah keheningan, sorot lampu sayu menerangi wiyaga yang bermain dengan piawai. Uyon-uyon menggiring mata para penonton, menandakan hajatan Ambal Warsa Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta (UKJGS) akan dimulai. Uyon-uyon ialah pagelaran karawitan yang berdiri sendiri sebagai seni pertunjukan, bukan sebagai pengiring tarian ataupun sebuah peragaan. Wiyaga (pemain karawitan) dan waranggana (sinden) tampak anggun dan serasi, berbalut busana Jawa berwarna hijau tua.
“Kala Reksa Mataya: Upeksha Pawitra” merupakan tema yang diangkat untuk memperingati hari ulang tahun UKM UKJGS yang ke-56. Ambal warsa, atau dalam bahasa Indonesia berarti ulang tahun, menjadi momen UKJGS untuk mengembangkan seni tradisional Nusantara, menampilkan kebolehan mereka, serta menjadi tempat alumni dan para pegiat seni berkumpul bersama. Sebagai Ketua UKJGS, Rossi Firmansyah menyampaikan harapannya agar organisasi ini dapat terus berkontribusi dalam pengembangan budaya dan mempertahankan reputasi gemilangnya. Dengan penuh syukur, kedhuk tumpeng atau prosesi potong tumpeng menjadi penanda dimulainya Ambal Warsa UKJGS yang ke-56.
Meski malam diguyur hujan, Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada terasa hangat ketika para perempuan bersampur merah menampilkan Tarian Golek Asmarandana. Tari Golek Asmarandana menggambarkan gadis muda yang sedang berhias diri. Keindahan dan keanggunan wanita Jawa terlukis indah dalam setiap gerakan tarian ini. Suara karawitan tak henti terdengar. Dalam balutan kain parang rusak yang anggun, dua pasang penari membawakan kisah cinta Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. Gerakan mereka yang lembut dan penuh makna menciptakan suasana romantis yang menyihir para penonton. Tarian ini bernama Tari Driasmara, drias yang berarti hati dan asmara yang berarti cinta kasih.
Gebrakan Kabinet 56
Ambal Warsa kali ini menyajikan drama tari yang berlatar waktu dari zaman Jawa Klasik hingga Jawa Baru. Menampilkan perpaduan yang memukau antara keindahan karawitan, pedalangan, dan pesona tarian gagrag (gaya) Banyumasan hingga Jawa Timuran di dalam satu kisah yang tak terputus. Tak heran, UKJGS juga disebut sebagai Unit Kesenian Jawa Gaya Semuanya dan Unit Kesenian Jawa Gaya Serbabisa.
Sejarah dan Budaya: Siapa Sebenarnya Jawa?
Gendhing Jawa kembali bersuara. Berbalut kain coklat, manusia Jawa dari zaman kuno datang membawa sesajian berupa hasil bumi, kendi, wangi-wangian, dan bunga mawar. Kala itu, masyarakat sudah mengenal kepercayaan. Layaknya mesin waktu, tata panggung dan pencahayaan yang mendukung mengantarkan kita ke masa itu. Ini menjadi pembuka cerita yang epik membuat seluruh penonton merasakan sensasi yang tak terlupakan.
Gelegar Sumpah Palapa dari Sang Mahapatih Gadjah Mada menggema. Pertunjukan wayang kulit Gadjah Mada melanjutkan kisah dari babak sebelumnya. Pertunjukan ini menceritakan pencapaian Kerajaan Majapahit dalam menaklukkan seluruh Nusantara, termasuk Pulau Jawa.
Banyumas, tahun 1621, rakyat sudah bisa menanam dan memanen hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Diceritakan orang-orang sekitar mengadakan syukuran dan ronggengan setelah mendapatkan hasil bumi yang melimpah. Ronggengan atau Tari Ronggeng dalam tradisi Banyumas merupakan bagian dari ritus kesuburan yang diekspresikan lewat seni pertunjukan. Tarian ini diiringi oleh calung–alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipukul.
Babak keempat dibuka dengan Tari Prawira Watang. Tarian ini merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya Surakarta yang menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dan ketangkasan. Penggunaan watang–galah, bambu panjang–sebagai properti utama menjadi ciri khas dari tarian ini. Watang menyerupai senjata tradisional yang digunakan oleh para prajurit pada zaman itu.
Diceritakan di Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung mendengarkan keluh kesah rakyatnya akibat monopoli dagang yang dilakukan VOC. Sultan Agung sangat menentang keberadaan VOC di Pulau Jawa hingga perang di Batavia pun terjadi. “Mukti utawa mati” yang berarti menang atau mati, digaungkan Sultan Agung di hadapan pasukannya untuk menyulut semangat nasionalisme melawan VOC. Setelah 60 tahun kepulangan Sultan Agung, tahun 1755, konflik antara Mataram Islam dan VOC berakhir ditandai dengan adanya Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini membagi Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Tari Bedhayan Surakarta, sebuah karya tari yang menjadi simbol kemegahan Keraton Kasunanan Surakarta, dipentaskan secara tunggal tanpa diiringi cerita. Sembilan penarinya berbusana dodot ageng–kain panjang yang dililitkan beberapa kali hingga membentuk rok yang lebar dan megah–berwarna hijau pastel. Iringan kemanak–salah satu alat musik dari perangkat gamelan Jawa–dan gerakan anggun dari sang penari berhasil menciptakan suasana yang magis.
Bergeser ke Tuban, sekitar tahun 1843. Tiupan terompet reog terdengar, para penari terlihat menaiki kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu. Jaranan merupakan tarian yang terinspirasi dari legenda seorang putri yang meminta para pelamarnya menciptakan kesenian baru. Pemenang dari sayembara tersebut mengiringi pernikahan mereka dengan kuda dan lantunan musik. Tari Jaranan bukan hanya tarian, melainkan juga ritual untuk menolak bala, memohon kesuburan, keamanan, dan ketentraman.
Di ujung timur Pulau Jawa, penari Tledhek menampilkan gerakan energik yang terinspirasi dari gerakan-gerakan yang dilakukan para petani di sawah. Penampilan para penari semakin sempurna dengan kombinasi kostum berwarna-warni dan sanggul yang rapi. Tarian ini sering dikaitkan dengan ritual yang bertujuan untuk meminta keselamatan dan kelimpahan hasil panen.
Diceritakan masyarakat sekitar mengharapkan kesejahteraan dari hasil panen mereka. Namun kenyataannya, pada masa itu tanah Jawa masih diburu oleh penjajah Belanda yang mengambil hak tani pribumi. Kegeraman yang tak terbendung pun membuat rakyat kecil balas dendam kepada Belanda melalui tipu daya Gandrung. Tari Gandrung merupakan tari tradisional yang berasal dari Banyuwangi. Di awal kemunculannya, Gandrung ditarikan oleh laki-laki yang berdandan layaknya perempuan karena tari ini digunakan sebagai strategi perang melawan penjajah sehingga masyarakat menyebutnya Gandrung Lanang.
Babak terakhir dari narasi drama tari ini mengisahkan hasil perjuangan Indonesia dengan diraihnya kemerdekaan.
Siap Tampil di Pendopo GIK
Gelegak tawa dan ketegangan yang menyelimuti penonton malam itu menjadi bukti kesuksesan pertunjukan drama tari Ambal Warsa UKJGS ke-56. Tentunya hal ini tak lepas dari kesiapan teman-teman anggota ataupun alumni yang akan tampil. Setiap kelompok seni—tari, karawitan, dan drama—melakukan persiapan intensif secara mandiri. Selanjutnya, untuk mengintegrasikan seluruh elemen pertunjukan, diadakanlah kegiatan Tempuk Gendhing yang bertempat di pendopo milik salah satu pelatih di Manisrenggo, Kabupaten Klaten.
Nguri-Uri Kabudayan: Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta menjadi wadah bagi mahasiswa yang cinta akan budaya Jawa. UKJGS adalah bukti bahwa hingga saat ini masih banyak generasi muda yang mau melestarikan kebudayaan Nusantara. “Alasan aku mau melestarikan budaya Jawa melalui UKJGS karena aku suka dengan kebudayaan, banyak banget nilai yang bisa dipetik dan dijadikan pengajaran untuk kehidupan sehari-hari,” kata Alan, salah satu anggota UKJGS angkatan 2024.
Antusiasme pengunjung menunjukan bahwa minat masyarakat terhadap budaya Jawa masih sangat tinggi. Nadia, salah satu pengunjung, menyampaikan bahwa ia sangat tertarik dengan kebudayaan Jawa sehingga datang ke Ambal Warsa UKJGS ke-56. Selain itu, Nadia menjadikan acara ini sebagai wadah healing di tengah-tengah kesibukan kuliah. Banyak juga yang memanfaatkan kesempatan free entry untuk malam Minggu-an bersama teman-teman sekaligus belajar sejarah.
Nadia juga mengajak teman-teman di luar sana untuk mulai peduli dengan kebudayaan Nusantara, “Ayo mulai sadar akan budaya sebagai identitas dan kekayaan dari negara kita, ikut serta dalam pelestarian budaya dan jangan pernah anggap budaya Jawa sebagai budaya yang kuno karena jika bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?”.
“Dengan terus diadakannya acara seperti ini, orang-orang jadi lebih tahu tentang sejarah Indonesia. Kalau mau ke acara seperti ini, tanamkan dalam benak teman-teman untuk kepo dan fomo dulu, setelah itu coba perhatikan sedikit. Teman-teman pasti akan mulai aware dengan nilai sejarah dan kebudayaan yang ada di dalam cerita. Yang awalnya fomo jadi benar-benar menikmati acara tersebut. Salam Gen Z!” jelas Ishaq, salah satu penikmat acara Ambal Warsa UKJGS.
Begitu juga dengan Alan, ia mengingatkan tentang pepatah Jawa yang berbunyi, “Wong Jawa aja ilang Jawa-ne”, jangan sampai kehilangan jati diri sebagai orang Jawa dan lupa akan budaya sendiri. “Sebaiknya sebagai sesama orang Jawa harus saling mengingatkan untuk melestarikan budaya leluhur,” tambah Alan.
Tulisan oleh Cempakaningrum Kinasih Gusti
Dokumentasi oleh Nawang Azani Sukma Bestari