Muka Tebal atau Pembual, Mana yang Harus Rakyat Pilih?

Rangkaian kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 sedang menjadi topik hangat di tengah masyarakat. “Pilkada Core” muncul sebagai istilah yang menggambarkan berbagai blunder‒kesalahan serius atau memalukan yang disebabkan kebodohan, kecerobohan, atau kelalaian‒oleh para calon kepala daerah, terutama pada saat debat pasangan calon.

Pemilihan kepala daerah tahun 2024 ini dilaksanakan secara serentak di 37 provinsi serta 508 kota/kabupaten yang diawali dengan perencanaan program dan anggaran oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Januari 2024, penetapan pasangan calon pada 22 September 2024, kampanye calon kepala daerah pada 25 September hingga 23 November 2024, pemungutan suara pada 27 November 2024, serta diakhiri dengan perhitungan dan rekapitulasi hasil yang akan dilaksanakan hingga 16 Desember 2024.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak termasuk di dalamnya sebagaimana yang tercantum dalam Undang˗Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bahwa pengangkatan gubernur dan wakil gubernur melalui proses pengukuhan. Enam kota administratif di DKI Jakarta juga tidak menjadi bagian dari pemilihan karena menurut Undang˗Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, wilayah Jakarta diatur sebagai satu kesatuan pemerintah provinsi di bawah gubernur langsung.

Debat publik pemilihan kepala daerah merupakan salah satu wadah untuk mengetahui profil, visi, misi, serta program kerja calon˗calon pemimpin agar nantinya dapat membantu masyarakat dalam memutuskan kandidat mana yang akan dipilih. Sayangnya, para peserta debat tampak belum memanfaatkan kesempatan ini dengan maksimal. Tak sedikit dari mereka justru menyampaikan gagasan “lucu” yang menimbulkan tanda tanya. Bagaimana mungkin pernyataan ini muncul dari pemikiran seorang calon pemimpin?

Salah satu contohnya adalah ketika seorang calon wakil bupati Tangerang menyebut bahwa ia dan pasangannya akan menggerakkan ekonomi mikro dan makro agar inflasi meningkat. Padahal, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi adalah keadaan perekonomian negara yang cenderung mengalami kenaikan harga barang ataupun jasa dalam jangka waktu panjang akibat tidak seimbangnya arus uang dan barang. Artinya, kenaikan inflasi hanya akan mengancam kesejahteraan masyarakat.

Tak hanya berisi gagasan nyeleneh‒menyimpang dari kebiasaan atau kaidah yang berlaku‒debat pilkada tahun ini juga diwarnai beberapa kejadian yang mengganggu jalannya acara. Pada sesi penyampaian visi misi oleh calon wakil bupati Bojonegoro, salah satu peserta tiba˗tiba membacakan Keputusan KPU Nomor 1363 dan SK KPU Bojonegoro Nomor 1529 yang mengizinkan pasangan calon tampil bersama saat debat sembari memanggil pasangan bupatinya untuk naik ke atas panggung. Sorak protes dari tim lawan tidak dapat dihindarkan. Pasalnya, dari awal telah disepakati bahwa debat publik perdana hanya untuk calon wakil bupati saja. Moderator pun telah berusaha meminta calon bupati untuk turun tetapi tidak dihiraukan. Untuk mencegah kericuhan semakin menjadi, kegiatan debat perdana ini akhirnya dibatalkan.

Pemberhentian debat juga terjadi saat debat kedua pilkada Situbondo. Bermula saat calon bupati nomor urut 1 bertanya mengenai komitmen anti-korupsi kepada calon bupati nomor urut 2, yang sedang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Apalagi, sebelumnya cabup nomor urut 2 menjanjikan pemerintahan Situbondo yang bersih, tentu bertentangan dengan status hukumnya. Pertanyaan ini menimbulkan ketegangan, terutama bagi tim sukses kedua paslon sehingga debat harus dihentikan.

Terkait hal ini, apakah sebenarnya seorang tersangka boleh mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah? Ketentuan mengenai pencalonan pejabat publik di Indonesia telah diatur dalam Undang˗Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang˗Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang˗Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Persyaratan bagi calon kepala daerah yang disebutkan, di antaranya bahwa calon kepala daerah bukan merupakan terpidana yang telah mendapat kekuatan hukum tetap. Sementara bagi mantan terpidana, boleh mencalonkan diri dengan syarat telah jujur ke publik bahwa dirinya adalah mantan pidana. Selain itu, calon kepala daerah tidak boleh seseorang yang sedang dicabut hak pilihnya dan harus terbukti bersih dari segala tindakan tercela berdasarkan surat keterangan catatan kepolisian. Dapat dilihat bahwa belum ada peraturan yang menyatakan secara eksplisit mengenai pelarangan pencalonan kepala daerah yang sedang berstatus tersangka karena belum adanya putusan berkekuatan hukum tetap.

Sebagai warga negara, kita berhak menentukan siapa yang akan kita pilih sebagai pemimpin tanpa paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun. Penting untuk mengetahui program serta gagasan dari para kandidat yang sesuai dengan isu dan profil daerah itu sendiri. Jangan biarkan jabatan disalahgunakan dan masyarakat terus dirugikan. Dua puluh tujuh November adalah saat bagi kita menggunakan hak suara sebagai bentuk kontribusi karena golput bukanlah solusi. Yuk, bijak memilih!

Tulisan oleh Nadya Rahma Riviantika

Data oleh Saqila Insyira

Ilustrasi oleh Moh. Syafaat Arzal