Pengurus keluarga atau himpunan mahasiswa hampir selalu memiliki masalah dengan mengadakan kegiatan yang relevan untuk para anggotanya. Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (KMTSL) pun menunjukkan bahwa mereka merupakan outlier melalui Fast KMTSL X Project Visit bertajuk “Facing Future Challenge For The Youth Generation”. Bagaimana tidak? Tahun ini, Fast memberikan kesempatan bagi para mahasiswa—yang saat ini sangat menantikan kegiatan lapangan—untuk lebih mengenal dunia kerja melalui kunjungan langsung ke proyek yang sedang berjalan, yaitu Tol Semarang–Demak section 1B.
Dalam hitungan menit, kursi peserta habis oleh 100 mahasiswa DTSL angkatan 22 dan 23 yang ingin lepas (sejenak) dari penatnya semester ini. Untuk menjawab antusiasme tersebut, dua sesi keberangkatan dijadwalkan pada Sabtu, 16 November 2024, yaitu pada pukul 5.30 WIB dan 9.00 WIB. Masing-masing memberangkatkan 50 peserta menuju Semarang dalam kurun waktu lebih kurang dua jam—terima kasih kepada Tol Jogja–Solo.
Sesampainya di tujuan, Ibu Novita Amien (Marketing and Communication Geoforce Indonesia), Ibu Yasinta Yati Nur Anbya (Sales Engineer Geoforce Indonesia), dan perwakilan satker (satuan kerja) Toll Road Development Semarang–Demak 1B menyambut para peserta dengan mengajak berfoto dan melanjutkan sesi pengenalan serta pemaparan yang diakhiri dengan quiz untuk memastikan pemahaman para peserta.
Saat yang dinantikan pun tiba, para peserta diajak untuk meninggalkan tempat duduk dan memastikan bahwa APD (alat pelindung diri)-nya telah terpakai lengkap karena mereka akan segera memasuki sesi site seeing (melihat pembangunannya lebih dekat, red). Nah, mengingat banyaknya Sobat Ero yang mungkin kalah war tiket peserta dan mau tahu lebih banyak tentang proyek ini, Ero akan merangkum semua yang didapatkan oleh para peserta dalam Fast KMTSL X Project Visit.
Kalau umumnya tol dibangun di darat, apakah Tol Semarang–Demak berusaha menjadi outlier?
Sebelumnya, apabila ingin lebih mengenal Tol Semarang–Demak, Sobat Ero dapat membaca artikel yang berjudul “Gunakan Bambu untuk Halau Banjir Rob, Inovasi Tol Semarang–Demak” di laman web Clapeyron Media.
Di section 1B, proyek konstruksi berfokus pada pengerjaan tanggul laut, revetment, main road, elevated toll road, jembatan, ramp (di Terboyo, Babon, dan Sayung), pekerjaan pematangan lahan, pembangunan rest area, dan gerbang tol serta fasilitas tol. Menariknya adalah ketika membuka Google Maps di tempat ini, ikon navigasinya menunjukkan bahwa kita berada di atas laut. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah “mengapa tol ini dibangun di atas laut?”.
Bapak Halim selaku perwakilan KSO WIKA-CRBC-PP menyampaikan bahwa mulanya trase tol ini dibuat tanpa melewati Laut Jawa, tetapi diubah karena beberapa alasan yang diajukan oleh pemerintah provinsi. Salah duanya adalah kekhawatiran pembebasan lahan dan keinginan untuk mengembalikan fungsi area yang terendam air laut. Halim menambahkan bahwa area yang sedang direklamasi ini merupakan daratan pada tahun 1997, tetapi harus menjadi Atlantis pada tahun 2007 karena tanah yang menurun dan air laut yang semakin naik (land subsidence).
Untuk mewujudkannya, struktur pondasi Tol Semarang–Demak ini menggunakan cerucuk bambu dan timbunan di atas laut diperkuat dengan matras bambu sekaligus untuk mempercepat waktu konsolidasi. Bapak Halim menyatakan bahwa material bambu dipilih karena beberapa alasan. Secara kekuatan struktur, bambu akan semakin kuat apabila terendam air. Secara keberlanjutan lingkungan, bambu yang digunakan akan terendam dan menjadi bagian dari terumbu karang nantinya. Secara biaya, bambu lebih efisien sebesar 3% dibandingkan material lainnya. Adapun spesifikasi bambu yang digunakan adalah sebagai berikut,
- Memiliki panjang 8 meter
- Pangkalnya berdiameter 8–10 sentimeter
- Ujungnya berdiameter 7–9 sentimeter
- Tidak retak dan daerah asalnya bebas (termasuk tetapi tidak terbatas pada Legi, Ampel, Balku, dan Wulung)
Walaupun terlihat mulus, penggunaan bambu untuk konsolidasi tanah pun menemui berbagai tantangan.
Bapak Halim menyampaikan bahwa terdapat beberapa tantangan yang ditemui di lapangan. Mulai dari jumlah material sampai dengan masalah geoteknik. Namun, mereka adalah profesional dan beginilah lebih kurang cara mereka mengatasinya,
- Jumlah bambu dan pengikat yang digunakan kurang optimal
Rencananya, timbunan tanah akan diperkuat dengan matras bambu sebanyak 17 lapis. Namun, muncul kekhawatiran akan kebutuhan material yang bisa saja melewati ketersediaannya. Dengan rencana tersebut, bambu yang dibutuhkan mencapai tujuh juta dan pengikat yang dibutuhkan pun sebesar berlipat ganda diameter bumi. Maka dari itu, jumlah lapisan bambunya dioptimalkan melalui pengujian laboratorium dan didapatkan angka 13 (lapis matras bambu).
Apakah kekuatan strukturnya akan menurun? Tentu saja tidak. Geoforce Indonesia dengan geotextile high strength-nya pun datang menjawab kekhawatiran tersebut. Bapak Halim menyatakan bahwa geotextile high strength yang disisipkan di antara lapisan matras bambu dapat mengakomodasi gaya tarik dengan lebih baik.
- Kondisi tanah lunak yang konsolidasinya membutuhkan waktu lama
Tanah lunak yang berada di area pembangunan terus menerus terkena air, baik air laut maupun hujan, sehingga konsolidasi pun akan memakan waktu lama. Maka dari itu, tanah yang berada di area tersebut pun dikuras dengan metode PVD (prefabricated vertical drain) untuk dimampatkan dengan waktu yang lebih singkat.
Baca juga “Prefabricated Vertical Drain (PVD), Kamu Harus Tahu!”.
- Ombak yang datang seperti pencuri di malam hari
Timbunan pasir yang merupakan bagian penting dalam pelaksanaan konstruksi jalan tol pun tidak bisa dikerjakan secara biasa-biasa saja dalam kasus ini. Mengingat ombak laut yang dapat kontak langsung dengan area pembangunan, abrasi menjadi tak terhindarkan. Apabila terus dibiarkan, timbunan pasir yang telah dihamparkan dapat tergerus sampai habis—terbawa ke laut oleh ombaknya. Untungnya, Geoforce Indonesia belum kehabisan jawaban karena mereka memiliki Geotube.
Di Pantai Selatan, rawan menggunakan pakaian hijau. Lain cerita dengan Pantai Utara, Si Hijau ini menjadi pahlawan.
Kenalan dulu sama Si Gemoy Multitalenta ini, yuk! Namanya Geotube, ia terbuat dari geotextile non-woven yang diisi dengan pasir. Untuk keperluan pengerjaan Tol Semarang–Demak, ukuran yang ditetapkan melalui pengujian laboratorium adalah sebagai berikut,
- Panjang 20–21 meter
- Tinggi 1,2 meter
- Radius 2,1 meter
Site manager menyatakan bahwa Geotube dapat diberdayakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari reklamasi alami, mencegah abrasi, sampai dengan pengendali banjir.
Pada Tol Semarang–Demak, Geotube ditumpuk sebanyak empat lapis sehingga area yang ingin direklamasi pun lebih tinggi dibandingkan area lain. Hal tersebut dimaksudkan agar air laut dapat melimpas ke area yang lebih rendah dan sedimen yang dibawa air laut pun dapat tertinggal (reklamasi alami). Selain itu, Geotube juga dimaksudkan untuk mencegah abrasi yang dapat menggerus habis timbunan pasir.
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Geotube—yang disebutkan secara umum oleh site manager dari Geoforce Indonesia—adalah sebagai berikut,
- Proses pengisian pasir ke dalam Geotube dilakukan dengan pompa pasir (pasir dicampur air agar bisa dipompa) dengan tenaga solar. Dengan demikian, air akan mengalir keluar dari dalam Geotube dan meninggalkan pasir di dalamnya.
- Pasir yang ideal untuk mengisi Geotube adalah pasir yang lolos saringan nomor 4 atau ⅜ karena akan memudahkan untuk membuat Geotube berbentuk oval seperti pada ilustrasi.
- Dalam proses pengisian pasir ke Geotube, maksimal perubahan ukuran (melebar) yang diperbolehkan adalah 110% atau setara dengan 55 kN/m.
- Pengerjaan Geotube dan timbunan pasir dilakukan secara bersamaan. Apabila Geotube dikerjakan terlebih dahulu, Geotube tersebut rawan akan guling karena tidak ada yang menyangganya. Apabila timbunan pasir terlebih dahulu, maka timbunannya akan terkena abrasi.
Proses pemeliharaan Geotube dilakukan beberapa hari sekali oleh tim patroli untuk dicek apakah ada benda tajam yang dapat merobek permukaan Geotube. Apabila terjadi robek, maka akan dilakukan metode pacing, yaitu membuat potongan simetris di area robek dan menambalnya.
Selain itu, penampilan adalah segalanya. Geotube yang berwarna hijau ini dimaksudkan untuk memberikan kesan asri pada Tol Semarang–Demak. Maka dari itu, Geotube tidak hanya bisa menyelesaikan masalah geoteknik, tetapi juga memiliki nilai estetik dibandingkan teknologi konvensional.
Gimana nih, Sobat Ero? Banyak banget wawasan yang kita dapatkan dari kunjungan ini, kan? Melalui Fast KMTSL X Project Visit ini, peserta mendapatkan pengalaman untuk melihat langslung apa yang mereka pelajari di kelas, bagaimana para profesional menyelesaikan masalah yang mereka temui di lapangan, dan berbagai wawasan segar lainnya. Terima kasih kepada seluruh pihak terlibat yang turut menyukseskan acara ini dan sampai jumpa di lain kesempatan.
Tulisan oleh Raihan Aditya
Data oleh Yasmina R. Khairunnisa
Dokumentasi oleh Ridwan Firmansyah Choirul Ramadhan
Tim liputan (Yasmina, Syilo, Dhea, Nifa, Ridwan, dan Raihan)