Separator Jalan: Menjadi Masalah Atau Memang Solusi

Beberapa waktu yang lalu, sekitar bulan Mei 2024, Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengusulkan wacana pembongkaran separator jalan pada Ring Road Yogyakarta. Wacana ini berangkat dari pertimbangan bahwa separator jalan yang ada tidak mampu menampung kondisi arus lalu lintas saat ini. Tingginya angka kecelakaan yang timbul pada bukaan separator pun membuat Polda DIY merasa perlu untuk diadakan kajian terhadap separator jalan ini. 

Nah, Sobat Ero. Sebenarnya separator jalan dan bukaannya itu apa, sih? Apa benar ini menjadi sebuah masalah? Simak hingga akhir, ya!

Mukhammad Rizka Fahmi Amrozi, S.T., M.Sc., Ph.D. merupakan dosen bidang transportasi di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, UGM. Fahmi aktif dalam penelitian akademis dan konsultasi profesional pada berbagai proyek transportasi, termasuk perencanaan dan pemodelan transportasi serta manajemen keselamatan transportasi. Fahmi juga menjadi pemerhati isu transportasi nasional dan menjabat sebagai Ketua Komite Indonesia Research Group dan Workshop di Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT).

Separator Jalan dan Bukaannya

Pemisah jalur atau separator adalah bagian dari jalan yang memanjang sejajar dengan jalan dan tidak dapat dilalui oleh kendaraan. Berdasarkan penggunaannya, separator terbagi menjadi dua, yaitu sementara dan permanen. Separator jalan sementara biasanya terbuat dari plastik ataupun sejenisnya dan digunakan hanya pada kondisi arus lalu lintas tertentu. Sebaliknya, separator jalan permanen merupakan fasilitas jalan tetap yang umumnya terbuat dari beton pracetak yang dicat. 

Penggunaan separator pada suatu jalan bertujuan untuk memisahkan jalur lalu lintas yang memiliki fungsi atau karakteeristik berbeda, misalnya memisahkan jalur kendaraan cepat dengan jalur kendaraan lambat. Selain itu, separator juga memastikan bahwa jalur lalu lintas digunakan sesuai dengan peruntukannya, seperti jalur khusus bus atau sepeda. Jika diperlukan, separator juga bisa dimanfaatkan untuk pemasangan fasilitas pendukung lalu lintas, seperti rambu-rambu atau lampu penerangan jalan. Contohnya, separator di jalan raya yang membatasi jalur utama dengan jalur putar balik (U-turn) sehingga kendaraan tidak sembarangan berpindah jalur, membantu mengurangi risiko kecelakaan.

Penggunaan separator pada jalan membuat pengendara harus menuju titik tertentu yang terbuka agar dapat berpindah jalur atau berputar balik. Titik inilah yang disebut sebagai bukaan pada separator jalan. 

Pada Ring Road Yogyakarta, separatornya termasuk separator permanen dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi dan dicat hitam-putih. Ring Road Yogyakarta sudah dibangun secara bertahap sejak 1994 dan masih digunakan hingga sekarang. Walaupun sudah ada perubahan nama jalan, nama Ring Road akan tetap digunakan untuk memudahkan pembahasan.

Menurut Fahmi, penghapusan separator itu merupakan sebuah hal yang tidak bisa langsung dinilai secara gamblang, melainkan harus diketahui terlebih dahulu mengenai tujuan penggunaan separator itu sendiri.

Pendapat ahli

Aspek Keselamatan (safety)

Ring road (jalan lingkar) merupakan jalan nasional yang difungsikan sebagai jalan arteri primer. Dari segi hierarki jalan, hal ini berarti jalan tersebut didesain sebagai jalan utama untuk melayani lalu lintas kendaraan menerus atau perjalanan jarak jauh, berkecepatan tinggi dengan jumlah jalan masuk (akses) yang dibatasi agar lebih bebas dari hambatan samping. Pada kasus Ring Road, separator difungsikan untuk memisahkan jalur kendaraan Roda 4 atau lebih dengan jalur sepeda motor dan sekaligus menjadikan jalur sepeda motor tersebut sebagai jalur lambat. Kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi di jalur utama (cepat) tidak perlu melambat karena sudah dipisahkan oleh separator sehingga adanya hambatan samping seperti keluar masuknya kendaraan dari bangunan eksisting pun tidak akan mengganggu kecepatan pada jalur cepat.

Kecelakaan yang terjadi pada Ring Road kebanyakan terjadi pada titik-titik bukaannya ketika pengendara, umumnya motor, akan berpindah jalur. Pemotor akan melambat untuk melewati bukaan separator dan menuju ke bukaan median untuk putar balik, lalu kembali lagi menyebrang jalur cepat untuk kembali ke jalur lambat. 

Pada kasus ini, potensi konflik lebih dikarenakan lokasi bukaan separator yang beriringan dengan bukaan median jalan sehingga memicu pergerakan kendaraan lambat melakukan manuver putar balik melewati jalur cepat sehingga menginisiasi konflik, yaitu gerakan diverging, weaving, crossing, dan merging. Perbedaan kecepatan kendaraan dan potensi konflik inilah yang meningkatkan potensi kecelakaan, baik dari segi jumlah maupun tingkat keparahan. 

Secara sekilas, memang penggunaan separator dengan bukaan menimbulkan potensi kecelakaan atau konflik yang banyak. Akan tetapi, sebenarnya fungsi separator jalan adalah membatasi konflik dan mengurangi kecelakaan akibat perbedaan kecepatan dengan memusatkannya pada titik-titik tertentu yaitu bukaan. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori konflik.

  • Teori Konflik Lalu Lintas

Melansir dari The Swedish Traffic Conflict Technique (Lund University), teori konflik lalu lintas adalah konsep yang digunakan untuk mencari potensi terjadinya kecelakaan di jalan. Sejatinya, setiap pengendara di jalan baik motor maupun mobil memiliki resiko mengalami tabrakan ketika arah pergerakannya bertemu/berpotongan di titik tertentu apabila mereka tidak berupaya untuk menghindari kecelakaan tersebut. Titik pertemuan itulah yang kemudian disebut sebagai titik konflik. 

Apabila dilakukan penghapusan separator jalan pada Ring Road Yogyakarta, maka titik konflik yang tadinya hanya terpusat pada bukaan yang ada akan terjadi di sepanjang jalan. Menimbang adanya perbedaan kecepatan yang cukup besar antara pengendara jalur cepat dan lambat. Akibatnya, pengendara jalur cepat mau tidak mau harus melambat sebagai upaya untuk menghindari potensi kecelakaan yang terjadi. 

Kondisi jalan yang seperti ini disebut sebagai kondisi mixed traffic, yaitu sebuah kondisi jalan ketika tidak ada lagi pemisahan antara jenis kendaraan, misalnya bis, truk, mobil, dan motor yang saling bertemu dalam sebuah jalan dengan kecepatan yang berbeda-beda sehingga membuat banyak sekali variasi arus berkendara. Kondisi ini umumnya ditemukan di jalan perkotaan. 

Jika Ring Road Yogyakarta diubah  menjadi mixed traffic, maka berbagai kendaraan besar dan berkecepatan tinggi yang tadinya hanya melewati jalan tersebut harus melewati jalan lain agar tidak meningkatkan potensi kecelakaan pada Ring Road.

Seperti apa yang disebutkan oleh Fahmi, maka penghapusan separator pada Ring Road malah akan berakhir sebaliknya apabila ditinjau dari aspek keselamatan. Konflik yang muncul akan terjadi di sepanjang jalan dan membuat jalan menjadi mixed traffic, juga kecepatan maksimal pada jalan akan berkurang menjadi sekitar 30-40 km/jam saja.

Selanjutnya, Fahmi juga menyebutkan bahwa jika memang keselamatan yang dikejar, maka berdasarkan teori konflik dan mixed traffic, seluruh bukaan pada separator bisa ditutup saja dan putar balik untuk kendaraan jalur lambat dilakukan di persimpangan pada jalan kolektor terdekat ataupun mendesain infrastruktur khusus putar balik. Namun, apakah hanya keselamatan yang diinginkan dari pembuatan sebuah jalan? Tentu tidak.

Aspek Aksesibilitas (accessibility)

Keberadaan toko atau warung di sepanjang jalan kerap kali membuat warga mendesak pembukaan akses tambahan. Adanya jalan eksisting ataupun baru yang terhubung dengan Ring Road tanpa melalui persimpangan juga membuat berbagai masalah akses yang seharusnya dibatasi. Hal inilah yang membuat keputusan untuk menutup atau membuka separator menjadi persoalan yang sensitif karena berdampak pada aksesibilitas dan perekonomian lokal.

Menurut Fahmi, pada jalan arteri yang aksesnya benar-benar dibatasi (red: bukaannya minim dan saling berjauhan),  pengendara memang dianjurkan untuk berputar balik di persimpangan dengan jalan-jalan kolektor terdekat. 

Memang dalam praktiknya dinilai kurang efisien dan membuat perjalanan menjadi lebih jauh sehingga merugikan orang-orang yang membutuhkan akses ke tujuannya, misal toko, sekolah dan lainnya, yang terdapat di seberang jalan. Itulah mengapa konsep ini lebih cocok untuk jalan dengan fasilitas penunjang yang baik, seperti jembatan penyebrangan karena tidak memungkinkannya zebra cross di Ring Road.

Fahmi juga menambahkan bahwa pada akhirnya penentuan kebijakan mengenai separator ini perlu mempertimbangkan banyak hal dan tidak bisa diwujudkan dari satu sisi saja, inilah yang disebut seni dalam ilmu manajemen lalu lintas. Keberadaan separator jalan memang membawa tantangan tersendiri dalam manajemen lalu lintas. Apakah harus dipertahankan atau dihilangkan, semuanya kembali pada tujuan utama yang ingin dicapai. Apakah demi keselamatan atau untuk memenuhi aksesibilitas.

Mewujudkan Ring Road sebagai jalan arteri yang memiliki akses terbatas merupakan salah satu wujud bahwa separator telah berfungsi sesuai tujuannya untuk keselamatan. Akan tetapi, pemberian bukaan juga merupakan perwujudan dari memberikan akses terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, solusi ideal dari dilema separator ini memerlukan keseimbangan antara keselamatan, kelancaran lalu lintas, dan kebutuhan aksesibilitas masyarakat. 

Beberapa penyelesaian yang diberikan Fahmi, seperti membatasi jumlah bukaan atau menutupnya pada titik-titik tertentu yang memiliki potensi kecelakaan tinggi, dapat membantu meminimalkan konflik lalu lintas. Selain itu, pembuatan area U-turn atau putar balik yang lebih strategis—disertai dengan fasilitas untuk menampung kendaraan yang akan berputar jika lahan masih memenuhi—juga dapat mengurangi penumpukan yang sering kali menyebabkan kemacetan.

Penyelesaian ini sudah sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh  Polda DIY yaitu penutupan dan penertiban bukaan separator ilegal, penambahan rambu lalu lintas dan marka jalan, penambahan penerangan di beberapa titik, serta penutupan area putar balik pada median yang dinilai memiliki potensi kecelakaan tinggi di sepanjang Ring Road.

Tulisan oleh Hammam Ash Shiddiqy

Data oleh Rakha Pradipa Auliya

Ilustrasi oleh Putri Kinasih Yuka