B30: Suplai dan Pendayagunaannya bagi Substitusi BBM Negeri

Pada awal 2020, Indonesia mulai melaksanakan substitusi sebagian solar dengan biodiesel atau akrab dikenal sebagai Program Mandatori B30. Program ini lantas membuahkan sejumlah bahasan baru. Bagaimana langkah Indonesia mewujudkan pemerataan suplai sekaligus mewujudkan biodiesel yang benar lestari bagi negeri?

Sebagai salah satu komoditas ekspor utama nasional, sawit telah menjadi hal yang transenden dan berpengaruh di Indonesia. Tak hanya ekspor, hasil produksi sawit juga dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Salah satu bentuk pemanfaatan riilnya ialah melalui pelaksanaan Program Mandatori Biodiesel 30% (B30). Program ini memungkinkan penggunaan biodiesel sebagai substituen solar tak terbarukan pada konsentrasi tertentu. Misalnya, biodiesel B30 menandakan 30% bahan bakar minyak (BBM) tersebut berasal dari biodiesel dan 70% sisanya berasal dari solar.

Sejak 2008, pengembangan pencampuran biodiesel dengan solar mulai diimplementasikan dengan persentase awal sebesar 2,5%. Persentase tersebut makin ditingkatkan seiring berjalannya waktu. Hingga pada Januari 2020, Program Mandatori B30 mulai diimplementasikan di Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia resmi menjadi negara pertama yang menerapkan campuran 30% biodiesel di dunia. 

Program Mandatori B30 diberlakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil sekaligus mengembangkan industri minyak nabati dalam negeri. Selain itu, campuran biodiesel relatif lebih bersih apabila dibandingkan dengan solar murni sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Dikutip dari The International Council on Clean Transportation, emisi karbon monoksida pada solar murni mencapai 0,88 g/km. Sementara pada campuran biodiesel 30%, emisi tersebut tereduksi menjadi 0,81 g/km. 

Program Mandatori B30 berlaku pada beberapa sektor, mulai dari rumah tangga, transportasi, hingga pembangkitan energi. Dalam praktiknya, Kementerian ESDM menugaskan Pertamina sebagai BUMN pelaksana Program Mandatori B30.

Alur Logistik Biodiesel

Biodiesel berwujud liquid (cair) sehingga memiliki metode penanganan yang berbeda dengan logistik pada umumnya. Biodiesel juga menggunakan skala tonne of oil equivalent (TOE), berbeda dengan logistik umum yang menggunakan skala twenty-foot equivalent unit (TEU) atau setara dengan kontainer 20 kaki.

Dalam prosesnya, campuran biodiesel memiliki proses hilirisasi yang cukup kompleks. Berawal dari perkebunan kelapa sawit (PKS), minyak sawit kemudian diolah oleh Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN) menjadi biodiesel murni. Biodiesel ini lebih dikenal dengan istilah fatty acid methyl ester (FAME). 

Berbeda dengan BBM lain yang dapat langsung digunakan selepas dari kilang, biodiesel perlu melalui proses pencampuran (blending) dengan solar sesuai dengan persentase yang telah ditentukan. FAME kemudian didistribusikan ke sejumlah terminal bahan bakar minyak (TBBM) untuk dicampurkan dengan solar. Sejumlah TBBM tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat keterjangkauan antardaerah masih merupakan pekerjaan rumah Indonesia hingga kini.

“Untuk supplier dengan penugasan di wilayah Indonesia Timur sementara pabrik mereka ada di Sumatra, ini kan jauh sekali untuk suplainya. Bisa sampai 7-10 hari, belum lagi dengan kendala cuaca dan segala macamnya di perjalanan,” tutur Afifah Rahmawati, Asisten Manager Operation & Administration Biofuel & Additive Supply Chain Pertamina.

Dikutip dari Logistic Performance Index (LPI), terdapat beberapa indikator penilaian keandalan logistik, di antaranya adalah infrastructure (sarana prasarana), logistic competence (kompetensi), tracking and tracing (keterlacakan) serta timeliness (ketepatan waktu). Seluruhnya merupakan keping yang perlu diraih demi tercapainya keandalan logistik.

Potret jalan yang menjadi akses kendaraan di kawasan perkebunan sawit.

Sebagai negara kepulauan, terdapat beberapa tantangan pada pengiriman BBM di Indonesia, yakni jarak, volume muatan, serta bentang alam. Dengan waktu tempuh yang panjang dan titik antar yang tersebar, efisiensi pun semakin sulit untuk dicapai. Awalnya, perusahaan memfungsikan sebanyak 117 TBBM sebagai titik serah sekaligus stasiun pencampuran FAME. Namun, Pertamina kini memadatkan jumlah titik serah tersebut menjadi 29 TBBM demi meningkatkan keandalan dan ketahanan suplai biodiesel nasional.

Setelah dicampur, B30 kemudian siap diantar ke SPBU ataupun end-depo. Namun, terdapat ketimpangan jumlah antara TBBM sebagai pemasok B30 dan jumlah end-depo yang harus dilayani di Indonesia bagian timur. TBBM yang melayani Indonesia Timur hanya berjumlah tiga dengan end-depo yang terpencar merata di seluruh wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua. 

Berangkat dari hal tersebut, per 2019 Pertamina menambah satu lagi fasilitas floating storage di Balikpapan untuk meningkatkan pelayanan di Indonesia Timur. Fasilitas floating storage berkonsep ship-to-ship (STS) dipilih agar kapal tidak harus bersandar di pelabuhan untuk melakukan alih muatan. Hal ini menjadi pertimbangan tersendiri mengingat Balikpapan merupakan daerah yang padat akan aktivitas jetty dan pelabuhan. Floating storage yang digunakan berupa dua kapal medium range berkapasitas 32.000 KL. Kedua kapal ini ditambatkan pada lepas pantai dan difungsikan layaknya warehouse bagi FAME. 

Balikpapan sendiri dipilih sebagai lokasi floating storage karena dekat dengan Refinery Unit (RU) 5 Balikpapan sebagai penghasil solar. Oleh karena itu, pencampuran antara biodiesel dan solar dapat terfokus pada satu area. Balikpapan juga dinilai strategis sebagai hub bagi kawasan Indonesia Timur. Dengan menggunakan metode pencampuran dalam tangki (in-line blending), kapal dapat memuat solar dan biodiesel langsung dari warehouse-nya masing-masing, yakni RU 5 Balikpapan dan floating storage. Setelah itu, kapal dapat langsung menyalurkan B30 ke titik akhir.

Pelaksanaan Mandat

Seperti julukannya, biodiesel/biosolar hanya dapat digunakan untuk mesin diesel saja. Artinya, pencampuran antara solar dan biodiesel hanya dapat dilakukan pada merek dagang Solar dan Pertamina Dexlite. Kabar baiknya, B30 sudah tersalurkan ke seluruh Indonesia.

“Jadi memang by default semua SPBU yang tadinya menyuplai B0 (minyak solar, red) otomatis berubah menjadi biosolar semua. Nah, untuk jumlah SPBU-nya sendiri ini sekitar ada 5.700 yang sudah menyuplai biosolar, baik yang reguler maupun non-reguler,” tutur Afifah.

Di samping itu, terdapat pertimbangan dari asosiasi transportasi bahwa terdapat kendaraan yang sebaiknya menggunakan solar murni. Oleh karena itu, khusus merek dagang Pertamina Dex, Pertamina pun mengajukan relaksasi untuk menjual solar murni (B0), dan hal tersebut telah disetujui oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE). 

Terkait harga, berdasarkan data  Ditjen EBTKE, per April 2021 harga biodiesel ada pada kisaran 10.131 rupiah per liternya. Harga ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan solar non-subsidi dengan harga sebesar 9.400 rupiah. Secara ekonomi, solar murni memang lebih murah. Namun, pergeseran energi cepat atau lambat harus diberlakukan mengingat solar termasuk BBM  tak terbarukan.

Pelaksanaan Program Mandatori B30 pada awal 2020 sendiri berimbas pada naiknya penyerapan biodiesel. Tercatat, pada tahun 2020, FAME terserap hingga 7,14 juta kiloliter. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan daya beli masyarakat. Pada tahun yang sama, volume realisasi penjualan Pertamina Dexlite turun sebesar 11,2% akibat pandemi.  “Karena ada pandemi, konsumsi dan daya beli masyarakat agak turun, kemudian aktivitas masyarakat juga agak terbatas. Pasti berpengaruh ke konsumsi BBM-nya, termasuk gasoil (solar),” pungkas Afifah.

Seorang pekerja sedang memutar keran pipa dalam pengolahan FAME.

Sawit, Anugerah atau Petaka?

Biodiesel tergolong dalam energi terbarukan karena penyediaannya berasal dari bahan baku organik. Namun, pada kenyataannya, praktik sawit Indonesia menggunakan area perkebunan yang luar biasa luas. Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833 Tahun 2019, terdapat 16,381 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia. Apabila dibandingkan, luasan lahan sawit dengan hutan di Indonesia kini sekitar 1:4. Selain itu, maraknya aktivitas pembukaan lahan sawit yang tidak bertanggung jawab turut berpotensi menyebabkan pemberlakuan program ini justru menyimpang dari tujuan awalnya—bumi bebas emisi.

Selain digunakan sebagai bahan bakar, minyak nabati juga banyak dimanfaatkan untuk produk industri, seperti sabun hingga makanan ringan. Oleh karena itu, permintaan dunia atas minyak nabati akan selalu ada. Mengalihkan produksi minyak nabati sawit menjadi komoditas lain boleh jadi merupakan solusi. Namun, apakah itu keputusan yang tepat?

Berdasarkan analisis International Union for Conservation of Nature, di antara tanaman lain, sawit merupakan penghasil minyak nabati paling efisien dengan hasil rata-rata sebesar 3,5-4,0 ton minyak per hektare. Sebagai perbandingan, rapeseed hanya menghasilkan 0,7 ton minyak per hektare. Dengan produktivitasnya yang besar, sawit berpotensi menjadi jawaban atas permintaan minyak nabati dunia. Untuk itu, praktik sawit berkelanjutan harus dioptimalkan sehingga tidak ada lahan yang perlu dipertaruhkan kembali. 

Terdapat tiga aspek utama yang perlu dipenuhi untuk mewujudkan praktik sawit berkelanjutan, yakni profit, people, dan planet (3P). Hal ini dapat dilakukan melalui adanya penguatan regulasi yang ketat pada seluruh pemangku kepentingan. Selain itu, pemerintah juga perlu meratifikasi ulang Kebijakan Satu Peta demi peningkatan kualitas data dan transparansi izin agraria nasional. Melalui hal tersebut, deforestasi dengan dalih pemanfaatan lahan dapat dimitigasi demi biodiversitas yang terjaga asri.

Pekerja sedang melakukan pengawasan sortir kelapa sawit yang akan dibuat menjadi FAME.

Pada praktiknya, pemenuhan biodiesel juga dapat terwujud melalui biodiversifikasi. Pusat Studi Energi (PSE) UGM sudah mulai mengembangkan mikroalga (sejenis rumput laut) untuk diolah menjadi biodiesel. Menurut Agus Eko Suyono selaku Manajer Kultivasi Microalgae Biorefinery PSE UGM, mikroalga mampu menyerap karbon dioksida 10-50 kali lebih efisien jika dibandingkan dengan tumbuhan lain. Potensi ini patut dipertimbangkan mengingat panjang garis pantai Indonesia yang mencapai 108.000 kilometer. Selain tidak perlu mengorbankan lahan, cara ini dapat turut mengakomodasi konsep blue economy bagi Indonesia.

Pada akhirnya, sawit merupakan tapak awal dari langkah panjang transisi biodiesel. Lewat kacamata tertentu, sawit boleh jadi dianggap petaka. Namun, ia tetaplah anugerah bagi wilayah khatulistiwa. Oleh sebab itu, jangan sampai anugerah tersebut malah menjadi ciri khas nan destruktif akibat polah pihak yang tidak konsekuen. Dengan fakta bahwa kebutuhan bahan bakar adalah suatu keniscayaan, produksi dan pemenuhan biodiesel yang seutuhnya lestari sudah sepatutnya dibela sebagai wujud komitmen implementasi energi bersih nasional.

HAYFA AMIRAH MARANTIKA