Potensi Panas Bumi sebagai Energi Baru dan Terbarukan

Kehidupan manusia berkaitan erat dengan energi sehingga ketersediaan energi menjadi hal krusial yang memerlukan perhatian khusus. Untuk mendukung Paris Agreement, pemenuhan energi harus mulai berubah haluan menuju energi terbarukan dan ramah lingkungan. Panas bumi menjadi energi alternatif pilihan yang dinilai menjanjikan karena memiliki potensi besar mencapai 28 GW.

Hingga saat ini, pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia masih bertumpu pada energi fosil yang tidak terbarukan dan ramah lingkungan. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka Indonesia bisa mengalami kelangkaan energi dan masalah lingkungan di masa depan. 

Saat ini, pemerintah terus berupaya untuk menekan penggunaan energi berbasis fosil. Keseriusan pemerintah ditunjukkan dengan dikeluarkannya Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025. Akan tetapi, penggunaan EBT per April 2021 baru mencapai 13,55%, masih jauh dari target yang ingin dicapai. 

Dalam pemenuhan target tersebut, pemerintah terus berupaya melaksanakan percepatan pengembangan EBT, salah satunya dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan (PLT EBT). Salah satu EBT yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas PLT EBT adalah panas bumi.

Panas bumi merupakan sumber energi yang dinilai bersih dan ramah lingkungan karena hampir tidak menghasilkan limbah. Selain itu, menurut Departemen Energi Amerika Serikat, pemanfaatan panas bumi tidak memerlukan area yang luas. Jika dibandingkan sumber energi lainnya, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hanya memerlukan area seluas 404 m2 untuk menghasilkan energi sebesar 1 gigawatt (GW), jauh lebih kecil dari pembangkit listrik tenaga angin dan matahari yang secara berturut-turut memerlukan area seluas 1.335 m2 dan 3.237 m2.

Sebagai negara yang terletak pada kawasan ring of fire, Indonesia menjadi negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat, yaitu mencapai 28 GW. Akan  tetapi,  hingga  saat  ini energi yang dimanfaatkan baru mencapai 2.130 megawatt dengan total 14 wilayah kerja panas bumi (WKP) dan 16 PLTP. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan energi tersebut, pemerintah telah menyusun road map pengembangan panas bumi hingga tahun 2025. Dalam road map tersebut, total kapasitas terpasang ditargetkan sebesar 7.241 megawatt. Wilayah pengembangan panas bumi akan tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah WKP dan wilayah penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (WPSPE) direncanakan mencapai 65 WKP dan 10 WPSPE.

Pengembangan Panas Bumi di Patuha

Salah satu WKP yang ada di Indonesia terletak di Gunung Patuha, Provinsi Jawa Barat dengan potensi panas bumi mencapai 400 megawatt. PLTP Patuha ini dikelola oleh PT Geo Dipa Energi berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2192 K/30/MEM/2014 tentang Penegasan Pengusahaan Area Patuha kepada PT Geo Dipa Energi (Persero) di Wilayah Kuasa Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Pangalengan. Hingga saat ini, PT Geo Dipa Energi berhasil mengoperasikan 1 Unit PLTP dengan kapasitas 60 megawatt sejak 2014.

Berbeda dengan PLTP Dieng yang sumber energi panas buminya memiliki dua fase, yaitu berupa air dan uap, PLTP Patuha memiliki sumber energi panas bumi dengan satu fase berupa uap panas murni.  Oleh karena itu, pada PLTP Patuha Unit 1 tidak diperlukan separator sebagai pemisah air dan uap panas.

Trafo listrik pada rangkaian Pembangkit Listrik Panas Bumi Patuha I.

PLTP Patuha Unit 1 beroperasi dengan 10 sumur operasi dan 1 sumur injeksi.  Dalam   operasionalnya, PLTP Patuha Unit 1 menggunakan close loop system atau sistem tertutup sehingga tidak terdapat limbah langsung berupa brine dan sludge yang dihasilkan akibat proses eksplorasi panas bumi. Hal ini dinilai bagus karena proses eksplorasi panas bumi tidak mencemari lingkungan.

Kedepannya, untuk memaksimalkan potensi sumber energi panas bumi yang ada di Gunung Patuha, PT Geo Dipa Energi telah merencanakan pengembangan PLTP Patuha Unit 2 dan 3 dengan masing-masing kapasitas unit sebesar 55 megawatt. PLTP Patuha Unit 2 direncanakan akan dapat beroperasi pada 2023 sedangkan Unit 3 pada 2026. Hingga saat ini, PT Geo Dipa Energi telah mempersiapkan pengeboran 12 sumur untuk PLTP Patuha Unit 2. Pengeboran tersebut akan segera dimulai pada tahun ini.

Tantangan dan Hambatan Pengembangan

Pengembangan PLTP tidak dapat dilaksanakan secara cepat dan paralel tetapi harus secara bertahap. Hal tersebut dikarenakan pembuktian adanya resource atau sumber energi panas bumi harus dilakukan secara bertahap pula karena risiko pengembangan panas bumi tergolong tinggi. 

Lokasi perkembangan yang berada di kawasan hutan juga menjadi kendala utama, terlebih lagi jika terdapat WKP yang bersinggungan dengan area hutan lindung, konservasi, atau cagar alam. Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya proses utilisasi di kawasan tersebut. Selain itu, terdapat juga tantangan lain berupa perizinan yang cukup rumit serta isu sosial yang disebabkan oleh tingginya penolakan masyarakat. Hal lain yang turut menghambat adalah besarnya biaya investasi.

Menurut Idham Purnama, Eks-General Manager PLTP Patuha Unit 1, masalah finansial merupakan salah satu kendala utama pengembangan PLTP. Dana yang dibutuhkan untuk membangun satu unit PLTP baik di sisi hulu (lapangan uap) maupun sisi hilir (pembangkit listrik) tidaklah sedikit. Berdasarkan rule of thumb pengembangan PLTP atau patokan di lapangan, 1 megawatt PLTP membutuhkan dana sebesar 2,5 – 3 juta dolar amerika. Oleh karena itu, dalam satu proyek PLTP dengan kapasitas listrik 55 megawatt memerlukan dana mencapai 165 juta dolar amerika atau 2,3 triliun rupiah. Skema pendanaan yang digunakan terdiri dari pinjaman bank dan pembiayaan mandiri. Pinjaman bank memiliki porsi yang lebih besar, yaitu mencapai 64 persen dari total seluruh biaya dan sisanya dipenuhi dengan pembiayaan mandiri.

Sumur produksi merupakan sumur yang dibor dengan tujuan sebagai reservoir panas bumi.

Government Drilling sebagai Upaya Terobosan

Untuk mengatasi berbagai tantangan dan hambatan yang ada, diperlukan berbagai upaya terobosan, khususnya dari pemerintah yang berperan sebagai regulator, agar percepatan pengembangan PLTP dapat berjalan sesuai dengan road map yang telah disusun. Hingga saat ini, pemerintah telah melakukan terobosan, di antaranya seperti penyusunan ulang regulasi (deregulasi), penyederhanaan perizinan, serta koordinasi dan sosialisasi. 

Selain itu, pemerintah juga menyusun skema baru berupa Government Drilling dengan Pendanaan The Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP). GEUDP bertujuan untuk mendukung tahap eksplorasi yang memiliki risiko paling tinggi di antara tahap lainnya, seperti survei pendahuluan, eksploitasi, dan utilisasi.

Pendanaan dalam GEUDP terdiri dari Clean Technology Fund (CTF) untuk pemboran eksplorasi dengan nominal sebesar 49 juta dolar amerika, Global Environmental Facility (GEF) untuk bantuan teknikal senilai 6,25 juta dolar amerika, serta Dana Pendampingan Pemerintah dari Pendanaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PISP). Pendanaan yang diberikan pemerintah bersifat hibah bersyarat dengan masa efektif hibah selama lima belas tahun.

Nantinya, masa efektif hibah akan dibagi menjadi dua tahap. Pada lima tahun tahap pertama, dana yang bergulir merupakan dana yang terpakai sedangkan dana yang tidak digunakan tidak akan ditarik oleh CTF. Kemudian, tahap kedua adalah sepuluh tahun selanjutnya di mana dana yang tidak digunakan pada akhir tahun kelima belas akan ditarik oleh CTF. Dengan adanya GEUDP, risiko pengusahaan panas bumi diharapkan dapat berkurang sehingga dapat mendorong pengembangan panas bumi oleh pihak swasta maupun Badan U- saha Milik Negara (BUMN).

Saat ini, PLTP menjadi tumpuan terbesar kedua untuk memenuhi target penggunaan EBT setelah pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Akan tetapi, pengembangan PLTA dinilai kurang efektif karena memerlukan area tangkapan atau catchment area yang relatif besar. Selain itu, pembangunan PLTA disinyalir dapat mengubah atau bahkan merusak ekosistem asli dari sungai. Hal tersebut dapat menyebabkan permasalahan   lingkungan serta isu sosial di masyarakat.

Sebaliknya, PLTP dinilai memiliki berbagai keunggulan, antara lain seperti potensi pemanfaatan yang tersisa  masih  besar  serta  sifatnya yang sangat ramah lingkungan dan tidak memerlukan area yang luas. Hal tersebut menjadi alasan bahwa panas bumi merupakan sumber energi yang dapat dijadikan tumpuan pemerintah untuk menekan penggunaan energi fosil sehingga target penggunaan EBT pada 2025 dan 2050 dapat tercapai.

CANDRA KUSUMASARI W