Pertambangan, limitasi ekspor, hilirisasi. Indonesia tengah menyuarakan pemberdayaan nikelnya kepada dunia. Namun, di balik langkah perdana tersebut, jejak bumi yang ditinggalkan tidak bisa diabaikan. Semoga dalam menerangkan masa depan, Kupfernickel ‘tembaga setan’ tidak menjadikan alam Ibu Pertiwi sebagai tumbalnya.
Potensi Komoditas Nikel Tanah Air
Sebagai “bahan” utama dalam manufaktur baterai mobil, nikel merupakan pivot dalam mewujudkan ekosistem transportasi listrik di Indonesia. Indonesia memang terkenal sebagai salah satu reserve nikel terbesar di dunia. Pada tahun 2020, Kementerian ESDM bahkan menyatakan bahwa Indonesia memiliki 52% dari cadangan nikel dunia.
Terdata pada Buku Neraca Sumber Daya dan Cadangan Minerba, pada tahun 2020 Indonesia memiliki total cadangan bijih nikel sebesar 4,5 miliar WMT dengan total cadangan logam nikel sebesar 49,3 juta ton. Indonesia juga memiliki total sumber daya bijih nikel sebesar 13,9 miliar WMT dan sumber daya logam nikel sebesar 145,3 juta ton.
Hampir 90% dari seluruh cadangan tersebut tersebar secara eksklusif di Pulau Sulawesi, khususnya di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara—Tak heran apabila daerah tersebut sering disebut saat membahas isu seputar tambang dan nikel. Saat ini, Pemerintah bersama lembaga keilmuan lainnya juga terus melakukan upaya eksplorasi di berbagai daerah Indonesia.
Memang, tidak pasti semua negara manufaktur baterai mobil memiliki cadangan nikel yang banyak. Tiongkok, sebagai contohnya, hanya memiliki kurang dari 3% cadangan nikel dunia, jauh dari klaim cadangan nikel di Indonesia. Meskipun begitu, Tiongkok bisa memonopoli hampir 80% dari kapasitas manufaktur baterai Li-ion (lithium ion battery, tipe baterai umum untuk mobil listrik) dengan nilai sebesar 558 GWh.
Hal serupa juga terlihat dari negara penghasil baterai mobil lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea. Namun, banyaknya ketersediaan nikel tentu akan mempermudah pembentukan ekosistem di Indonesia. Modal nikel dalam negeri dapat mengurangi biaya impor dan memotong ketergantungan kepada negara luar (seperti Tiongkok pada ekspor nikel Indonesia). Segi birokrasi, pembentukan kebijakan, regulasi, dan operasi akan menjadi lebih streamlined karena dalam ranah kuasa negara—asalkan tidak tercipta dominansi Pemerintah dengan turut melibatkan pihak swasta.
Namun yang terpenting, Pemerintah dapat menumbuhkan secara maksimal, tidak hanya upaya penambangan, pemurnian, dan pengolahan nikel itu sendiri, tetapi juga industri baterai mobil listrik dan seluruh industri yang terletak di tengah alur keduanya. Upaya inilah yang sering dikenal dengan hilirisasi.
Hilirisasi
Seperti namanya, hilir-isasi adalah upaya Pemerintah untuk mengembangkan seluruh komoditas tambang mentah (dalam kasus ini nikel) menjadi produk di hilir dengan nilai jual yang lebih tinggi. Selain meningkatkan nilai jual, hilirisasi juga bisa mendorong multiplier effect, membuka lapangan kerja, menarik banyak investasi, dan membuka potensi-potensi rantai industri baru ke depannya.
Berbicara mengenai nikel, Asisten Deputi Bidang Pertambangan Kemenko Marves Tubagus Nugraha menjelaskan bahwa dua produk akhir yang diprioritaskan di Indonesia saat ini adalah baterai mobil listrik dan stainless steel. Sebenarnya, masih banyak value chain yang bisa dieksplorasi untuk kemudian diekspor atau dikembangkan kembali dalam negeri untuk menumbuhkan ekosistem baru lainnya. Namun, upaya tersebut harus dilatarbelakangi 4 pertimbangan.
“Yang pertama, apakah infrastrukturnya ada? Setiap ini (proses pengolahan) kan butuh
bahan baku, kan butuh processing facility, kan butuh teknologi. Yang kedua, pasti butuh duit, investasi, apakah investasinya ada? Relatively ini investasinya besar. Yang ketiga, expertise—keahlian tenaga kerja, engineer. Yang terakhir itu pasar (…) Itulah syarat kondisi sebuah pohon industri bisa berkembang,” jelas Tubagus.
Sebagai langkah perdana hilirisasi dalam negeri, Pemerintah mengeluarkan UU Minerba No.3 Tahun 2020 yang melarang penuh ekspor bahan tambang mentah (belum diproses atau dimurnikan) pada tanggal 1 Juni 2023—nikel tak terkecuali. Bahkan, PerMen ESDM No.11 Tahun 2019 telah menghentikan ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7% dan beberapa bentuk pajak progresif juga mulai ditetapkan pada produk olahan nikel seperti ferronickel dan pig iron nickle. Selain nikel, tembaga, bauksit, dan timah juga menjadi sasaran unggulan berikutnya.
“Artinya, kita mencoba mentransformasi bahwa Indonesia tidak menjual Tanah Air, tidak menjual bahan mentah, tetapi kita meningkatkan nilai tambah. Secara industri ada, menambah lapangan pekerjaan, menambah pengembangan wilayah, terutama untuk peningkatan pemerataan antara Jawa dan Luar Jawa, kemudian ada transformasi ekonomi,” simpul Tubagus.
Dengan realisasi ekspor bijih nikel pada tahun 2019 (sebelum penghentian ekspor nikel mentah berlaku) yang mencapai 1,1 miliar dolar, tak heran apabila larangan ekspor nikel mentah mendapatkan respons negatif dari berbagai pihak. Uni Eropa melewati World Trade Organization (WTO), bahkan sempat menggugat Indonesia karena kebijakan tersebut dapat membahayakan kondisi industri stainless steel di Eropa.
Melalui banyaknya persediaan, larangan ekspor, dan program yang mendorong pemberdayaan nikel dalam negeri, Indonesia sudah menunjukkan sikapnya ke seluruh dunia dan siap menjejakkan langkah perdananya. Dengan kondisi yang bisa dibilang ideal tersebut, sukses atau tidaknya cita-cita Indonesia sebagai pemain utama kendaraan listrik global akan ditentukan dari pengintegrasian seluruh rantai industri nikel dan penggeseran gigi menuju dunia baterai mobil.
Rantai Penghubung Kawasan industri
Langkah pertama. Dalam membentuk suatu rantai industri, masing-masing mata rantai atau simpul kegiatan utama—pertambangan, pengolahan, pemurnian, dan pengangkutan nikel hingga manufaktur, pengembangan, dan penjualan baterai mobil—perlu disambungkan oleh infrastruktur yang memadai.
Sulitnya, rantai industri nikel ini merentang ke seluruh Indonesia. Bagaimana tidak? Hampir seluruh pertambangan nikel terletak di Sulawesi, Maluku, serta Papua dan hampir semua industri pendukung baterai mobil akan difokuskan di Pulau Jawa. Pertambangan dan pemurnian smelter tentunya harus mengikuti letak asal komoditas—yang pada kasus ini eksklusif terletak di Sulawesi. Hal tersebut memang tidak bisa diubah.
Bagaimana dengan industri baterai mobilnya sendiri? Pulau Jawa merupakan prioritas utama karena infrastruktur perhubungannya yang mumpuni. Hal tersebut mempermudah dan mempermurah alur angkut material untuk manufaktur baterai mobil dan alur ekspor ketika barang sudah jadi.
Jaringan infrastruktur dasar penunjang kawasan industri di Pulau Jawa juga sudah ada dan terstandar. Para pelaku usaha tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan energi, gas, air, jaringan koneksi, hingga pengolahan sampah dan limbah. Semua pertimbangan tersebut terakumulasi menjadi dua penggerak esensial, dukungan dana dan kebijakan—dua hal yang sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Kawasan industri (KI) yang terletak di luar Jawa pada umumnya hanya mengolah, memurnikan, atau memproduksi turunan nikel, biasanya sampai tahap pembuatan prekursor baterai. Beberapa kawasan industri ternama mencakup antara lain KI Morowali Utara, Indonesia Morowali Industrial Park, KI Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park, dan KI Pulau Obi. Secara keseluruhan, terdapat 123 fasilitas olah-murni di Indonesia dengan 101 di antaranya difokuskan untuk komoditas nikel.
Tersebarnya pusat kegiatan antarpulau tersebut menjadikan jaringan logistik sebagai prioritas Pemerintah. Saat ini, sebuah fokus pembangunan bisa dilihat di kawasan Indonesia Timur, dengan pembangunan beberapa pelabuhan utama yang menjadi jalur backbone seperti Makassar New Port dan Pelabuhan Bitung. Pelabuhan New Ambon atau Ambon Baru juga saat ini tengah direncanakan untuk mempermudah alur pelayaran feeder di sekitar kawasan Maluku dan Papua.
Kawasan Indonesia Timur yang terintegrasi dengan para pelabuhan utama Jawa akan mempercepat rantai logistik dan mempermudah usaha pengembangan industri baterai mobil secara menyeluruh. Harapannya, dengan pergeseran paradigma ini, bahkan kondisi industri hilir yang Jawasentris bisa dipindah mendekati sumbernya.
Dari Nikel Menjadi Baterai
Perlu diingat bahwa industri baterai mobil listrik sendiri tidak hanya bertopang pada nikel, tetapi juga hasil bumi lainnya. Secara umum, ada tiga tahapan utama dalam pembentukan baterai mobil Li-Ion, yaitu pembentukan prekursor baterai, katoda baterai, dan akhirnya battery pack. Kobalt, nikel, dan mangan dapat diolah menjadi suatu bahan aktif yang kerap disebut prekursor baterai (NMC precursor).
Dengan tambahan litium, prekursor tersebut dapat dijadikan katoda baterai, komponen yang paling memengaruhi kesuksesan ekosistem baterai mobil di Indonesia. Mengapa? Karena dari pembentukan suatu sel baterai—yang terdiri dari katoda, anoda, separator, dan elektrolit—katoda bisa menghabiskan biaya terbanyak, hampir 35% dari biaya keseluruhan. Kembali ke salah satu prinsip dasar value engineering, besarnya biaya dan kompleksitas dalam pembentukan katoda melahirkan kesempatan untuk memangkas biaya akhir.
Saat ini, pembentukan pabrik katoda, sel baterai, dan battery pack sebagai produk hilirisasi nikel masih dalam tahap awal. Agenda utama Pemerintah adalah menggaet para investor, baik negara asing maupun perusahaan. Pabrik baterai mobil listrik pertama di Indonesia baru di-groundbreaking pada tahun 2021 di Karawang New Industrial City oleh PT HKML. Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang—yang merupakan salah satu kawasan industri highlight dari mata para investor karena skema penyediaan lahan dan fasilitas oleh Pemerintah—juga merupakan target groundbreaking berikutnya oleh konsorsium LG Energy Solution.
Nikel sampai baterai. Investasi sampai operasi. Pemerintah sampai swasta. Dengan banyaknya order of business, diperlukan suatu entitas yang terstruktur dan mampu menangani urusan multisektoral. Oleh karena itu, pada tahun 2021 Pemerintah membentuk Indonesia Battery Corporation (IBC) yang memiliki kuasa dalam tahapan pembuatan prekursor hingga sel baterai. Meskipun begitu, karena holding ini terdiri dari Mining Industry Indonesia (MIND ID), Aneka Tambang (Antam), Pertamina, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), kebijakan seputar tahapan tambang dan pengembangan transportasi listrik Indonesia juga tidak sepenuhnya terlepaskan.
Jejak Lingkungan yang Ditinggalkan
Pertambangan dan industri merupakan dua sektor yang tak terlepas dari aspek lingkungan. Kedua sektor ini merupakan kontributor utama emisi karbon, yaitu lahan dan industrial processes and product uses (IPPU). Selain emisi, degradasi lahan, polusi air, dan kerusakan ekosistem juga mengkhawatiran.
Fokus Pemerintah dalam menarik investasi ujungnya akan meningkatkan insentif pertambangan dan smelter di Indonesia untuk menyaingi kondisi industri di hilir. Pada tahun 2020 saja, sudah terdapat 296 perusahaan tambang nikel pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau kontrak karya (KK). Hal tersebut belum mempertimbangkan perusahaan-perusahaan yang tidak terdaftar—suatu malpraktik yang umum ditemukan di Luar Jawa.
Namun, kurangnya data menyebabkan poin ini sering disanggah. Toh, Apabila pertambangan memenuhi kajian dan persyaratan terkait serta dilakukan dalam moderasi dan teregulasi, kerusakan lingkungan yang dihasilkan bisa dibilang “sepadan”.
Pencemaran lingkungan yang konkret bisa ditemukan tidak dari kegiatannya sendiri, tetapi dari apa yang ditinggalkan. Limbah tailing nikel sampai saat ini merupakan persoalan tanpa jawaban yang memuaskan. Biasanya, ada tiga pendekatan dalam mengolah limbah tersebut, yaitu dengan membuangnya ke laut dalam (deep sea tailing placement), mengumpulkannya menjadi bendungan (tailing dam), dan memadatkannya lalu ditimbun (dry stacking).
Deep sea tailing placement sudah dicoret dari rekomendasi Pemerintah akibat dampaknya terhadap biota laut. Namun, tailing dam dan dry stacking juga memiliki pertimbangan dan risikonya masing-masing. Tailing dam yang bisa mencapai luas danau memerlukan infrastruktur dan tenaga ahli untuk mendaur ulang limbah cairan. Risiko rembesan dan satwa yang tetap terdampak dari genangan tersebut juga tidak membantu prospeknya di Indonesia.
Di sisi hilir, selain limbah yang dihasilkan dari proses manufakturnya sendiri, produk baterai mobil listrik juga bisa berubah menjadi limbah apabila rusak atau melewati batas pemakaian. Hal tersebut mendorong Pemerintah untuk menciptakan tahapan recycling dari roadmap rantai industri baterai di Indonesia.
Bagi mereka yang hanya peduli akan keuntungan, perlu diketahui bahwa aspek lingkungan sering dianalogikan sebagai salah satu dari tiga pilar utama keberlanjutan, bersama sosial dan ekonomi. Ketiga pilar tersebut tidak terlepaskan, saling memengaruhi satu sama lain dalam mencapai kehidupan yang berkesinambungan.
Dari mana pun sudut pandang, tujuan, dan insentif kita, semuanya kembali lagi ke akar kehidupan. Upaya peningkatan ekonomi harus berjalan beriringan dengan pelestarian alam Ibu Pertiwi. Bagaimanapun, inilah tanah air kita—tak sepantasnya tanah ini kita eksploitasikan.
MUHAMMAD HAEKAL AZARIANSYAH