Perubahan iklim memaksa dunia berpikir kembali. Negara turun tangan, memajaki para entitas pencemar bumi. Mari simak pendapat Arcandra Tahar dan Widodo Santoso tentang implementasi pajak karbon di Indonesia dari dua perspektif berbeda.
Kehidupan manusia zaman modern tidak bisa lepas dari energi. Semua mesin, semua gadget, semua kendaraan, semuanya, bergerak karena energi. Energilah yang memutar peradaban manusia bagaikan genset yang menyala pagi–malam, 24/7. Tanpa energi, segala kemajuan yang telah dicapai kini tidak akan pernah terjadi. Tanpa energi, dunia akan mengalami krisis, jatuh pada kemunduran yang tidak terbayangkan.
Kebutuhan energi terus meningkat seiring makin majunya peradaban dan bertambahnya populasi. Meski begitu, hingga kini kemajuan tersebut masih disokong oleh sumber daya tak terbarukan. Energi listrik Indonesia pada tahun 2020; 67,88 % dipenuhi melalui pembangkit berbahan bakar fosil seperti PLTU batu bara dan minyak bumi. Baru sekitar 14,17 % energi yang dipenuhi melalui pembangkit ramah lingkungan. Berdasarkan pengolahan data, emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan fosil menyumbang sekitar 29 % dari total emisi karbon Indonesia.
Meski pelaku industri, bahkan Pemerintah, tahu bahwa penggunaan energi fosil menghasilkan emisi yang besar dan mempercepat pemanasan global, melepaskan diri dari energi fosil bukanlah hal yang sepele. Dengan teknologi masa kini, penggunaan energi fosil masih menghasilkan efisiensi biaya terbaik.
Dilema Energi
Indonesia sebagai negara besar yang masih berkembang tentu masih berusaha untuk mencapai target-target ekonomi, pendidikan, infrastruktur, dan banyak sektor lain sehingga bisa sampai pada fase negara maju yang sejahtera. Tingkat produksi dan konsumsi Indonesia perlu digenjot sehingga perekonomian dapat terus bertumbuh dan berkembang. Semuanya itu bukanlah hal yang sederhana dan murah. Untuk sampai di tahap kemajuan tertentu, dibutuhkan energi untuk menggerakkan mesin-mesin perekonomian.
Di lain sisi, negara berkembang tentu memiliki banyak keterbatasan. Pemanfaatan energi ramah lingkungan memerlukan biaya yang relatif besar. Indonesia sebagai negara dengan kekayaan batu bara yang melimpah, pemanfaatannya sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan kebutuhan industri tentu jauh lebih efisien. Keinginan untuk mengurangi emisi bertabrakan dengan kebutuhan untuk mencapai target-target kemajuan. Setiap strategi untuk mencapai energy security, tetapi ramah lingkungan pasti memiliki dilema.
Gerak Indonesia
Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional menyadari bahwa perubahan iklim merupakan permasalahan dunia yang harus diselesaikan bersama-sama pula. Komitmen Indonesia dalam rangka penanganan perubahan iklim global dituangkan dalam bentuk nationally determined contribution (NDC).
Indonesia juga menargetkan pada tahun 2060 (atau lebih cepat) mencapai net zero emission (NZE). Net zero berarti jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak lebih besar dari emisi karbon yang mampu diserap oleh bumi.
Sebagai langkah konkret, Indonesia telah merumuskan dan mengesahkan regulasi sebagai upaya menurunkan emisi karbon. Salah satunya adalah Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia. Perpres tersebut mengatur skema carbon pricing (carbon trading dan carbon offset), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP), serta pungutan seperti pajak karbon.
Polluters Pay Principle
Kebijakan karbon yang bakal diimplementasikan di Indonesia berupa pungutan karbon dengan skema cap and tax. Skema tersebut merupakan kombinasi antara skema perdagangan karbon (cap and trade) dan full pajak karbon. Secara sederhana, Pemerintah akan menetapkan batas atas emisi karbon yang boleh dilepaskan oleh suatu entitas. Entitas yang mengemisi melebihi batas diwajibkan untuk membeli sertifikat izin emisi (SIE)/sertifikat penurunan emisi (SPE) dari entitas lain yang mengemisi di bawah batas. Kegiatan jual-beli sertifikat emisi karbon antarentitas tersebut itulah yang dimaksud sebagai skema cap and trade.
Entitas yang mengemisi di atas batas dan tidak memiliki SIE akan dikenai pajak oleh Pemerintah. Salah satu tarif pajak karbon yang sudah ditetapkan adalah pada sektor PLTU batu bara. Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp30,00/kg emisi karbon dan berubah sesuai dengan harga di pasar karbon.
Sebenarnya, pada tanggal 1 April 2022, kebijakan pajak karbon akan diterapkan untuk PLTU batu bara. Akan tetapi, kebijakan tersebut diundur hingga tanggal 1 Juli 2022 dan diundur lagi sampai waktu yang belum ditentukan untuk menjaga perekonomian nasional akibat peningkatan harga komoditas energi global sebagai imbas Perang Ukraina-Rusia. Meski begitu, Pemerintah tetap berupaya mematangkan dan menyempurnakan berbagai peraturan pendukung.
Meski pelaksanaannya sampai saat ini belum sepenuhnya dilakukan, aturan tersebut secara gamblang memberikan gambaran tentang bagaimana kebijakan karbon memberikan dampak pengurangan emisi. Pada dasarnya, kebijakan karbon merupakan instrumen pengendalian iklim untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai polluters pay principle. Kebijakan karbon seharusnya, cepat atau lambat, mampu mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih pada aktivitas yang rendah karbon.
Perspektif
Clapeyron mewawancarai Bapak Ir. Arcandra Tahar, M.Sc., PhD., Wakil Menteri ESDM periode 2016–2019, terkait pendapat beliau tentang implementasi pajak karbon di Indonesia. Menurut beliau, penerapan pajak karbon merupakan langkah awal yang baik bagi Indonesia dalam menekan jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Akan tetapi, diperlukan banyak pertimbangan untuk menetapkan tarif pajak karbon yang tepat, jangan sampai membebani perekonomian masyarakat. Pemerintah harus menjamin bahwa pemberlakuan pajak karbon, pada PLTU batubara misalnya, tidak menyebabkan kenaikan harga listrik yang signifikan sehingga menyulitkan masyarakat.
Penerapan pajak karbon pada sektor industri hulu, misalnya pembangkit listrik, juga akan memengaruhi berbagai industri hilir. Kenaikan biaya listrik PLN secara langsung pasti akan menaikkan harga-harga barang. Secara makro, penerapan pajak karbon juga memengaruhi daya saing ekspor komoditas Indonesia di pasar dunia.
Menurut Arcandra, kebijakan apa pun yang bakal diterapkan harus melindungi daya saing industri dalam negeri serta kehidupan masyarakat. Arcandra mencontohkan kebijakan carbon border adjustment mechanism yang diterapkan oleh Uni Eropa sebagai langkah untuk melindungi daya saing industri Eropa. Kebijakan itu menerapkan tarif bagi komoditas industri yang belum menerapkan skema carbon pricing sehingga harganya bisa secara fair bersaing dengan industri Eropa.
Penerapan pajak karbon sejatinya merupakan langkah permulaan, sebagai pecutan bagi industri untuk kembali berpikir tentang perubahan iklim. Pajak karbon tidak bisa dijadikan tumpuan kebijakan jangka panjang. Dibutuhkan kebijakan lain yang turut memacu industri untuk berinovasi menghasilkan teknologi rendah emisi.
Arcandra mengatakan bahwa besar tarif pajak karbon akan terus meningkat sampai mencapai titik keseimbangan. Titik keseimbangan adalah titik saat pelaku industri telah bersungguh-sungguh mencapai net zero sehingga tarif pajak karbon menjadi mahal dan merugikan pelaku.
Strategi Serius
Menurut Arcandra, ada lima strategi yang harus dilakukan tiap negara untuk mencapai target net zero dunia. Strategi yang pertama ialah melakukan phase down PLTU batu bara. Saat ini, ketergantu- ngan pembangkitan listrik dari batu bara masih sangat tinggi, melakukan penghentian tanpa transisi bertahap hampir tidak mungkin dilakukan. Pembangunan pembangkit tenaga listrik ramah lingkungan mesti dipercepat sekaligus secara bertahap memensiunkan PLTU batu bara.
Strategi kedua adalah mempercepat konversi kendaraan listrik. Ajakan untuk pindah ke mobil listrik harus dicermati secara kritis. Apabila sumber energi kendaraan listrik ternyata masih sepenuhnya berasal dari PLTU batu bara, hal itu sama saja memindahkan emisi karbon di jalanan menjadi terpusat di area sekitar pembangkit.
Strategi ketiga adalah menghentikan deforestasi. Arcandra turut memberikan penjelasan bahwa dengan aktivitas kegiatan dan laju emisi GRK yang dihasilkan saat ini, me- lakukan reforestasi seluruh lahan di bumi tidak akan cukup untuk mencapai net zero. Perlu adanya effort lebih, yaitu mengurangi emisi GRK secara langsung.
Strategi keempat berhubungan dengan strategi pertama, yakni mempercepat penggunaan energi terbarukan. Implementasi energi terbarukan membutuhkan adaptasi dan biaya investasi yang tidak sedikit. Setiap negara hendaknya melakukan observasi, kearifan lokal dan sumber daya apa di sekitarnya yang bisa dimanfaatkan sebagai energi terbarukan.
Strategi kelima adalah pemanfaatan gas alam sebagai substitusi batu bara atau minyak bumi. Meski gas alam merupakan sumber daya fosil yang tidak terbarukan, tetapi relatif menghasilkan emisi yang lebih rendah. Pemanfaatan gas alam menjadi relevan sebagai sumber energi transisi menuju energi yang sepenuhnya ramah lingkungan dan terbarukan.
Arcandra menegaskan bahwa strategi menghadapi perubahan iklim tiap negara tidak bisa disamakan. Strategi negara maju tentu akan sangat berbeda dengan negara berkembang. Strategi negara yang kaya sumber daya air akan berbeda dengan negara yang kaya sumber daya panas bumi. Kemampuan perekonomian dan daya beli masyarakat suatu negara juga menjadi poin penting perbedaan strategi.
Pada akhir wawancara, Arcandra berpesan kepada generasi muda. “Dengan kemajuan teknologi dan tantangannya, banyak opportunity ke depan yang belum terpikirkan oleh generasi saya. Dengan mempertimbangkan bahwa umur bumi makin tua, diperlukan berbagai usaha untuk melestarikan agar generasi masa depan dapat hidup lebih baik dan dapat mensyukuri apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Jagalah bumi ini supaya menjadi lebih bersih.”
Implementasi pajak karbon menyasar industri dengan tingkat emisi karbon yang besar. Tentu, hal ini menjadi tantangan serius bagi industri semen yang sangat bergantung pada proses kimiawi penghasil emisi karbon. Seolah tak terelakkan, industri ini akan menderita kerugian yang besar bila kebijakan pajak karbon diterapkan.
Melihat Indonesia yang sedang masif melakukan pembangunan infrastruktur, semen menjadi komoditas strategis yang dijamin ketersediaannya oleh negara. Menurut Asosiasi Semen Indonesia (ASI), permintaan akan semen meningkat dari 40,8 juta ton/tahun pada tahun 2010 menjadi 72 juta ton/tahun pada tahun 2020.
Akan tetapi, dalam perspektif lingkungan, industri semen merupakan salah satu penghasil emisi karbon terbesar. Menurut Global Alliance for Building and Construction, pada tahun 2019, bersama dengan industri baja, industri semen berkontribusi terhadap 34% emisi karbon dunia. Besarnya emisi yang dihasilkan oleh industri semen tidak terlepas dari proses pembuatan semen itu sendiri.
“Kami, pabrik semen, pada prinsipnya mendukung penurunan emisi karbon dunia. Meski demikian, implementasi pajak karbon untuk setiap emisi karbon yang dihasilkan, kami menolak dengan keras.”
Industri Semen—Kompleks
Clapeyron mewawancarai Bapak Ir. Widodo Santoso, M.B.A., Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Beliau menyatakan persetujuannya dalam menurunkan emisi karbon Indonesia, khususnya terkait industri semen, tetapi bukan dengan cara pajak karbon.
Pengenaan pajak pada setiap emisi karbon yang dihasilkan oleh industri semen secara langsung berdampak pada membengkaknya biaya produksi semen. “Penerapan pajak karbon seperti ini akan mematikan industri semen, apalagi dalam kondisi oversupply dan harga batu bara yang meningkat seperti sekarang,” kata Widodo.
Perlu dipahami bahwa produksi semen di Indonesia mengalami oversupply sebesar 47%. Kondisi oversupply yang diprediksi hingga tahun 2030 ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti perkiraan pertumbuhan industri konstruksi dan permintaan semen yang meleset serta pembukaan pabrik-pabrik semen baru. “Kelebihan semen kita adalah 40 juta ton semen, itu sudah dilakukan ekspor. Kalau tidak ekspor, bisa ada oversupply 60 juta ton,” tambah Widodo.
Persoalan industri semen juga merambah pada utilisasi pabrik yang masih rendah, sekitar 60%. Utilisasi yang rendah berarti kapasitas pabrik belum sepenuhnya termanfaatkan dan berdampak pada tingkat pengembalian investasi yang rendah.
Emisi terbesar industri semen bersumber dari proses produksi (industrial processes and product use/IPPU), yaitu dari kalsinasi batu kapur sebesar 55%, diikuti oleh emisi berkat penggunaan energi dari pemakaian batu bara sebagai bahan bakar di kiln (35%), sedangkan sisanya berasal dari penggunaan listrik dan pemakaian bahan bakar untuk transportasi dalam pabrik (10%).
“Selama belum ditemukan pengganti batu kapur sebagai bahan utama semen, proses produksi semen pasti menghasilkan emisi karbon yang besar karena reaksi kimia yang terjadi,” ucap Widodo.
Batu kapur, lempung, silika, dan pasir menjadi bahan utama pembuatan semen. Bahan-bahan tersebut ditambang, dihaluskan, dan kemudian dicampur. Setelah pencampuran, dilakukan beberapa tahapan pemanasan dan pembakaran—hingga ribuan derajat celcius—menghasilkan produk setengah jadi berupa klinker. Dalam proses kalsinasi, dibutuhkan 1,3–4 ton batu kapur dan 0,25 ton batu bara untuk menghasilkan 1 ton klinker. Setidaknya dihasilkan 800–900 kilogram emisi karbon per ton klinker dan jumlah sebesar itu tak dapat dihindari.
Dari angka-angka tersebut, sebenarnya penerapan pajak karbon bisa jadi bumerang bagi Indonesia. Kenaikan biaya produksi berakibat pada kenaikan harga semen secara langsung. Kenaikan harga semen akan menghambat pembangunan infrastruktur yang sedang dan akan dilaksanakan.
Berusaha Menjadi Hijau
Sebenarnya, sejak beberapa tahun yang lalu, industri semen di Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi green industry.
Pada tahun 2021, industri semen di Indonesia telah menurunkan emisi karbon sebesar 11% atau setara dengan 6,3 juta ton emisi karbon bila dibandingkan dengan baseline tahun 2010. Dari proses IPPU saja telah diturunkan sebesar 2,81 juta ton emisi karbon, atau lebih besar dari target CM1 penurunan emisi IPPU untuk seluruh industri pada tahun 2030 sebesar 2,75 ton.
Betul, memang emisi karbon yang dihasilkan dari proses kalsinasi sangat besar dan tidak bisa dihindari. Akan tetapi, satu terobosan yang dilakukan ialah mengurangi komposisi klinker dalam semen yang diproduksi. Pengurangan komposisi klinker serta penambahan bahan aditif yang emisi karbonnya rendah akan menghasilkan semen ramah lingkungan.
Widodo menyebutkan bahwa semen ramah lingkungan sendiri telah dikembangkan oleh industri semen di Indonesia. Beberapa jenis semen ramah lingkungan yang sudah jamak digunakan antara lain adalah portland pozzolan cement (PPC) dan portland composite cement (PCC).
Sekilas tentang semen ramah lingkungan, semen ini menggunakan klinker dengan proporsi maksimal 65% sesuai persyaratan SNI. Angka tersebut tentu cukup kecil bila dibandingkan dengan semen portland tipe 1 yang memiliki klinker dengan proporsi di atas 80%. Selain itu, semen ramah lingkungan juga menggunakan material limbah industri lain seperti fly ash pada proses pembakaran batu bara dan slag (terak) pada proses pengolahan bijih besi.
Upaya mengurangi emisi karbon tidak berhenti pada produk semen ramah lingkungan. Proses pembuatan semen juga mengalami inovasi-inovasi penting seperti penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, seperti sekam padi, limbah B3, hingga sampah domestik yang diolah menjadi RDF.
Langkah yang barangkali jauh lebih penting adalah melakukan pendataan emisi karbon yang dihasilkan. Bentuk data tersebut dituangkan dalam pelaporan inventarisasi emisi GRK dan aksi mitigasi melalui SIINAS kepada Pemerintah.
Semen dan Kebijakan Karbon bagai Api dan Air?
Lalu, apakah berarti kebijakan karbon di industri semen tidak relevan? “Saya rasa, perdagangan karbon akan lebih meringankan industri sembari tetap berusaha menurunkan emisi karbon,” kata Widodo.
Skema yang dimaksud oleh Widodo adalah cap and trade dengan penentuan harga SIE berdasarkan mekanisme pasar melalui bursa karbon. Penentuan batas emisi karbon yang boleh dikeluarkan juga perlu disesuaikan berdasarkan jenis industrinya. “Tidak bisa menyamakan batas emisi karbon yang boleh dikeluarkan antara industri semen dengan industri lain, harus disesuaikan,” tutup Widodo.
FILIPUS ALFIANDIKA NUGRAHADI