8 TP Solusi Dekarbonisasi Usai Pandemi

“Kenikmatan sesaat membuai manusia, menggerogoti perlahan resistensi bumi, memaksa adanya kolaborasi tanpa kecuali. Semua lini menghasilkan limbah dan emisi tak terkendali, tetapi tidak sepenuhnya diterima bumi. Perjalanan tanpa harmoni ini berusaha diberhentikan dengan segenap hati dan materi untuk masa depan yang lebih berkesinambungan dan inklusif”

Ulah Manusia Bencana bagi Dunia

Perubahan iklim akibat kerusakan lingkungan adalah salah satu ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Masalah ini dihadapi secara global oleh semua negara, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah mengalami penurunan kualitas lingkungan karena penggunaan sumber daya alam (SDA) yang berlebihan.

Meningkatnya produksi karbon dioksida dari aktivitas manusia mengakibatkan banyak bencana yang dapat mengancam kehidupan di muka bumi. Bencana alam tersebut sebagian besar diakibatkan oleh kenaikan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan atau pemanasan global. Berdasarkan data Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB), pada 2020 terdapat peningkatan bencana alam hidrometeorologi sebesar 2,4 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Tren bencana alam di Indonesia sangat memungkinkan mengalami kenaikan setiap tahunnya jika tidak ada tindakan nyata untuk menekan perubahan iklim. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam kajiannya menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami kerugian material sekitar Rp544 triliun dalam periode 2020–2024 jika Pemerintah tidak melakukan intervensi penanganan dan ketahanan akan perubahan iklim.

Strategi Jitu Perbaikan Kualitas Lingkungan

Adanya komitmen tinggi dari Pemerintah Indonesia pada lingkungan menyebabkan sektor-sektor yang berpengaruh mengalami perubahan tujuan dan tata kelola—salah satunya dengan melakukan pembangunan rendah karbon yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Upaya implementasi program tersebut di Indonesia sudah diagendakan dan termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Dalam rencana tersebut, juga terdapat dua kebijakan prioritas lainnya, yaitu meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.

Upaya pembangunan rendah karbon dilakukan dengan mengurangi emisi dan mengefisienkan penggunaan SDA untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Sektor-sektor yang menjadi prioritas dalam program adalah energi, industri, pertanian, kehutanan, dan limbah. Sektor-sektor tersebut merupakan sektor yang menghasilkan emisi GRK dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu 34,2%; 3,2%; 5,8%; 49,5%; dan 7,1%.

Pembangunan rendah karbon merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yang memiliki tujuan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan tetap menjaga kualitas lingkungan. Hal ini dianggap sangat perlu dilakukan mengingat kondisi lingkungan yang terus memburuk dengan aktivitas masyarakat yang makin tinggi.

Sebagai gambaran, hubungan antara aktivitas manusia dan produksi karbon dioksida dapat dilihat saat penerapan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat pada awal Pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut menyebabkan resesi ekonomi sebesar -5,32% pada kuartal II tahun 2020, berbanding terbalik dengan kondisi lingkungan yang mengalami perbaikan. dalam Info Singkat 2020 DPR, emisi yang dihasilkan Indonesia turun 18,2%.

Skenario Terbaik Menuju Indonesia Bebas Emisi Karbon

“Kita punya 3 skenario yang berbeda, skenario ini diperlukan untuk menunjukkan berbagai opsi yang bisa kita tempuh untuk mencapai nol emisi karbon karena berbagai skenario ini akan punya implikasi yang berbeda-beda kepada pola pembangunan yang akan dilakukan. Tentunya, pilihan tersebut perlu disesuaikan dengan kapasitas kita untuk mencapainya, terutama dari sisi ekonomi, kesiapan teknologi, dan sumber daya manusia yang ada,” ujar Arifin Rudiyanto, Perencana Ahli Utama Bappenas.

Skenario pertama ditetapkan untuk tahun 2045, tepat pada ulang tahun ke-100 bagi Bangsa Indonesia. Satu abad perjalanan negara ini diharapkan menjadi titik balik dari kemajuannya menjadi negara berpenghasilan tinggi. Selain itu, skenario kedua NZE ditargetkan pada tahun 2050 juga merupakan target dari sebagian besar negara di dunia. Selanjutnya, skenario terakhir yang dianggap paling ideal dan realistis untuk dicapai negara Indonesia pada tahun 2060.

“Skenario net zero emission ini disusun sebagai strategi jangka panjang sekaligus mendukung transformasi ekonomi hijau dan juga visi Indonesia 2045. Fokus yang kita lakukan adalah mendorong pencapaian net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat,” lanjut Arifin.

Untuk mencapai target NZE pada tahun 2060, Negara Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp77 ribu triliun atau setara dengan lima kali lipat PDB yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2020. Dengan nilai investasi yang tidak sedikit dan harapan keberhasilan yang tinggi, proses perencanaan dan pelaksanaan skenario tersebut harus dikaji dengan sangat matang serta melibatkan semua sektor yang ada.

Lini Energi Menghasilkan Emisi

Sektor yang sangat familiar dibahas oleh masyarakat jika dikaitkan dengan emisi GRK dan polusi adalah sektor energi. Sektor energi sering dianggap sebagai penghasil emisi terbesar, padahal kenyataanya sektor ini berada pada posisi kedua. Sektor energi menghasilkan sekitar 30%–40% dari total emisi yang dihasilkan Indonesia. Dalam sektor tersebut, subsektor yang memiliki kontribusi besar antara lain pembangkit listrik, transportasi berbahan bakar fosil, dan penggunaan energi untuk industri.

Berdasarkan data historis emisi GRK, sektor energi memiliki tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Laporan Inventarisasi GRK dan MPV, emisi GRK yang dihasilkan sektor energi Indonesia sebesar 638.808 Gg CO2e pada tahun 2019. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan sekitar 100% lebih dari emisi yang dihasilkan pada tahun 2000.

Hal ini menyebabkan sektor energi menjadi salah satu sektor prioritas yang harus difokuskan strategi penurunan emisinya. Terdapat tiga kebijakan yang diambil Pemerintah untuk mencapai NZE pada sektor energi. Kebijakan pertama adalah melakukan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Pada tahun 2021, bauran EBT Indonesia mencapai 11,5% dengan target bauran sebesar 23% pada tahun 2025 dan 30% pada tahun 2045.

PLN berencana akan menghentikan operasi semua PLTU batu bara pada tahun 2056 dengan menurunkan jumlahnya dan meningkatkan bauran energi secara bertahap karena kontrak bersama perusahaan energi selesai tahun 2040. Selain itu, penerapan pajak karbon juga merupakan upaya untuk mengeskalasi penggunaan EBT.

Kebijakan utama lainnya adalah transisi kendaraan listrik yang akan terus dilakukan hingga mencapai lebih dari 95% total kendaraan. Kendaraan listrik sudah mulai dipromosikan di Indonesia, salah satunya melalui ajang balap mobil listrik internasional Formula E, pengembangan ekosistem produksi kendaraan listrik, penyediaan transportasi umum berbasis listrik, dan pengadaan fasilitas seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) sebanyak 96 unit di 74 lokasi seluruh Indonesia.

Lahan, Hutan, dan Pembangunan Berkelanjutan

Bukan sektor energi, melainkan sektor lahanlah yang menjadi dalang utama dari tingginya emisi karbon di Indonesia. Faktor terbesar yang menjadi sumber emisi sektor ini adalah kegiatan alih fungsi lahan, kebakaran gambut, dan deforestasi hutan secara masif. Berdasarkan Laporan Inventarisasi GRK dan MPV dari KLHK, pada tahun 2019 emisi terbesar dihasilkan oleh sektor lahan dan hutan, sebesar 924.853 Gg CO2e—naik sekitar 40% jika dibandingkan dengan 19 tahun sebelumnya.

Tren emisi yang terus meningkat pada sektor ini didasarkan atas jumlah penduduk yang makin banyak sehingga kebutuhan manusia akan lahan untuk permukiman dan kegiatan lain juga meningkat. Namun, alasan tersebut tidak bisa terus-menerus dibiarkan merusak lingkungan, seakan-akan mengorbankan alam demi kesejahteraan manusia yang hanya sesaat.

Pemerintah Indonesia menyusun kebijakan-kebijakan utama yang harus diterapkan di sektor lahan dan hutan. Untuk kawasan hutan, Pemerintah menargetkan 250 ribu hektare hutan direforestasi per tahun (atau mencapai 1 juta hektare pada tahun 2024). Angka tersebut masih sangat jauh jika dibandingkan dengan laju deforestasi yang terjadi pada tahun 2018–2019, yaitu sekitar 462,46 ribu hektare. Proses reforestasi tersebut akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kebijakan lain, seperti pengawasan ketat terhadap pembalakan liar yang dilakukan oleh oknum masyarakat.

Selain hutan, restorasi juga dilakukan pada lahan gambut dengan target 390 ribu hektare dan 90 ribu hektare per tahun pada 2030. Lahan gambut merupakan lahan yang dapat menyimpan emisi karbon dengan jumlah yang sangat besar. Hal ini sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut terbesar di Asia Tenggara.

Pemerintah juga melakukan upaya restorasi mangrove dengan target sekitar 120 ribu hektare per tahun pada tahun 2021–2024. Mangrove memiliki peran penting sebagai habitat flora fauna, penangkap emisi karbon, dan pencegah abrasi pantai terbaik karena kemampuannya dalam menetralisasi gelombang laut.

Untuk melengkapi upaya-upaya tersebut, Pemerintah juga menerbitkan moratorium atau pemberhentian izin alih fungsi hutan primer dan lahan gambut yang harapannya dapat menyelamatkan 66 juta hektare lahan. Masalah yang terjadi secara nyata memang ada di hulu, tetapi salah satu sebabnya sebagian besar berada di hilir, yaitu kebutuhan pasar yang meningkat akan SDA dari hutan.

Industri dan Limbah dalam Sinergi Ekonomi Hijau

Pembangunan rendah karbon yang digencarkan ini merupakan bagian penting dari ekosistem ekonomi hijau yang tidak dapat terlepas dari sektor industri dan limbah. Ekonomi hijau dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengesampingkan kualitas lingkungan, berbeda dengan model ekonomi konvensional. hijau adalah mengurangi polusi, membangun infrastruktur bersih dan tangguh, serta penggunaan sumber daya efisien dalam pola sektor industri.

Sektor industrial processes and product use (IPPU) dan limbah merupakan salah satu sektor yang terus mengalami peningkatan produksi emisi. Kenaikan emisi yang cukup signifikan juga terlihat dari sektor IPPU dan limbah pada tahun 2019, yaitu 194.294 Gg CO2e atau sekitar 125% dari emisi pada tahun 2000. Emisi tersebut sebagian besar berasal dari industri semen, baja, kertas, pupuk, petrokimia, dan makanan.

Jika dibandingkan dengan sektor lain, sektor industri dan limbah memang menyumbang emisi yang tidak terlalu signifikan, sekitar 10% dari total emisi tahun 2019. Walaupun begitu, secara kumulatif dengan jangka waktu yang panjang, sektor ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas udara dan air.

Pemerintah mengupayakan penurunan produksi limbah hingga 70% per kapita pada tahun 2020. Selain itu, Pemerintah juga mengharapkan setiap industri memiliki kemampuan untuk mendaur ulang air limbah yang dihasilkan pada tahun 2024 dengan target 0% produksi limbah cair pada tahun 2060. Target tersebut diupayakan melalui pengembangan industri hijau dengan konservasi dan audit energi pada industri, penerapan modifikasi proses dan teknologi, serta manajemen limbah industri.

Kebijakan pembangunan rendah karbon yang ditetapkan Pemerintah pada sektor-sektor krusial tersebut diproyeksikan akan menghasilkan banyak dampak positif kepada lingkungan dan manusia. Berdasarkan analisis Bappenas, pada tahun 2030 Indonesia akan mengalami penurunan emisi GRK sebesar 43%, peningkatan kualitas udara, dan peningkatan kondisi lingkungan sehingga dapat mencegah sekitar 40 ribu kematian setiap tahunnya. Selain itu, Bappenas juga memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia rata-rata 6% per tahun hingga tahun 2045 dan peningkatan lapangan pekerjaan sekitar 15,3 juta.

Kondisi Indonesia, bahkan dunia, yang sedang mengalami krisis lingkungan menjadi alasan utama untuk memperjuangkan pembangunan hijau dan rendah karbon. Selain menyelamatkan lingkungan, kerja sama yang baik juga dapat menyelamatkan masa depan generasi selanjutnya dari segi kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya keselarasan antara aktivitas manusia dan alam harus dimiliki semua masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana alam dan non-alam yang tidak bisa ditanggulangi manusia karena kompleksitasnya di masa depan.

NADA GITALIA