Transportasi publik untuk siapa saja dan bersifat equal dari penghasilan yang kecil atau kurang mampu sampai yang mampu. Pembangunan harus dinikmati sebesar-besarnya oleh semua orang. Semua harus terakomodasi, laki perempuan, semua kalangan usia. Itu sebenarnya belum ada di tatanan kota di Indonesia,” – Faela Sufa, Southeast Asia Director of ITDP
Setiap kota memerlukan transportasi untuk meningkatkan pelayanan mobilitas penduduknya sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi ataupun pembangunan daerah. Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat bahwa dalam satu hari terjadi 88 juta pergerakan masyarakat di wilayah Jabodetabek dalam satu hari.
Besarnya kebutuhan sektor transportasi berbanding lurus dengan energi yang dibutuhkan dan emisi yang dihasilkan. Di Indonesia, lebih dari 94% penggunaan energi pada sektor transportasi bersumber dari Bahan Bakar Minyak (BBM). Emisi karbon dari pembuatan BBM maupun polusi dari kendaraan pribadi nantinya akan memberikan dampak buruk pada kesehatan dan kenyamanan masyarakat.
Antara Transportasi Pribadi dan Transportasi Publik
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah kendaraan di Indonesia mencapai lebih dari 133 juta unit per 2019. Sepeda motor menduduki peringkat pertama kendaraan dengan jumlah terbanyak yaitu sekitar 112 juta unit atau 84% dari jumlah seluruh kendaraan. Peringkat kedua diduduki oleh mobil penumpang dengan jumlah unit sekitar 15 juta unit atau sebesar 11,6%. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 4,4% diisi oleh mobil barang dan bus.
Dari data di atas, diketahui bahwa penggunaan transportasi pribadi oleh masyarakat masih cenderung tinggi. Menurut Faela Sufa, Southeast Asia Director of Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), hal ini terjadi karena kendaraan pribadi dinilai lebih efisien. Selain itu, masih adanya subsidi BBM oleh pemerintah turut menjadi salah satu faktor pendukung. Faela menilai bahwa pemberian subsidi BBM menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam menghimbau masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kendaraan pribadi menghabiskan 93% alokasi BBM bersubsidi untuk transportasi darat.
Berbanding terbalik dengan transportasi pribadi, penggunaan transportasi publik malah terbilang rendah. Hasil penelitian Jabodetabek Urban Transportation Policy Indonesia (JUTPI) II menunjukkan penggunaan transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya baru menembus angka 8,8%. Faela mengatakan, untuk mengajak masyarakat berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi publik haruslah disediakan fasilitas yang memadai, sehingga transportasi publik dinilai dapat diandalkan. Satu di antara upaya yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan lajur khusus untuk angkutan umum supaya headway angkutan menjadi lebih cepat.
Di Jabodetabek sendiri, transportasi publik yang biasa digunakan masyarakat antara lain TransJakarta (BRT), Metro MRT, LRT dan KRL. Dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), BPTJ menargetkan sebesar 60% masyarakat Jabodetabek akan menggunakan transportasi publik pada tahun 2029. Tentu target ini diharapkan berjalan seiring dengan pembangunan fasilitas dan pengurangan energi sehingga transportasi publik kelak tidak kalah efisien dibandingkan transportasi pribadi.
Rencana Transportasi Berkelanjutan
Faela menyatakan bahwa sudah ada rencana menuju transportasi berkelanjutan, tetapi belum dilakukan secara komprehensif. Selain itu, komitmen pendanaan fasilitas pendukung transportasi publik maupun kawasan berorientasi transit juga belum terlihat. Sebagai contoh, pembangunan trotoar bagi pejalan kaki. Apabila dibandingkan dengan alokasi pembangunan jalan dan tol, proporsi dana pembangunan trotoar jauh lebih kecil.
Jika perencanaan sudah baik tetapi tidak ada dukungan dari pemerintah, maka transportasi berkelanjutan tidak akan terlaksana. Pemerintah diharapkan dapat mendorong masyarakat dengan menyediakan fasilitas transportasi publik yang memadai seperti armada yang lebih mumpuni dari transportasi pribadi. Hal ini diharapkan dapat menarik masyarakat agar menggunakan transportasi publik sebagai sarana sehari-hari.
Menurut Centre of Sustainable Transportation Canada, salah satu definisi dari transportasi berkelanjutan adalah meminimalkan penggunaan sumber daya alam, termasuk energi. Reduksi energi dapat dilakukan dengan elektrifikasi. Energi listrik dinilai efektif karena tidak menghasilkan emisi karbon jika dibandingkan dengan diesel. “Isu elektrifikasi ini bisa mengurangi subsidi untuk BBM dan diberikan insentif untuk yang lainnya,” pungkas Faela.
Bus Listrik sebagai Langkah Awal Reduksi Energi
Kementerian ESDM menyatakan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia akan tersedia hingga 9,5 tahun mendatang. Penggunaan energi tak terbarukan yang sangat tinggi membuat ketersediaan sumber daya alam Indonesia patut menjadi perhatian. Reduksi energi dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi. Pada sektor transportasi di wilayah Jabodetabek, telah hadir kendaraan bus listrik.
Bus listrik dipilih karena dinilai berkelanjutan dan dapat mereduksi penggunaan energi serta emisi. Menurut Achmad Izzul Waro, Direktur Pelayanan dan Pengembangan Transjakarta, jika dibandingkan dengan bus konvensional serta bus lainnya, bus listrik ini jauh lebih bersahabat bahkan hampir tidak menghasilkan emisi.
Bus listrik memang lebih mahal beberapa kali lipat daripada bus konvensional apabila dilihat dari harga bus per unitnya. Akan tetapi, mengingat biaya operasional bus (termasuk bahan bakar) dihitung per kilometer, biaya operasional jangka panjangnya akan menjadi lebih murah. Maka dari itu, untuk operasional jangka panjang bus listrik dinilai lebih menjanjikan, terlebih dengan fakta bahwa bus listrik tidak menghasilkan emisi akibat pembakaran.
Saat ini, TransJakarta telah mengoperasikan dua unit bus listrik. Achmad mengatakan pengoperasian ini sebagai uji coba untuk memastikan bus listrik lulus uji dan layak digunakan secara masif. Pengujian ini berlangsung lebih dari enam bulan. Selain itu, ia mengatakan diharapkan tahun ini seratus bus listrik sudah beroperasi. Barangkali nantinya, 10 tahun kedepan atau tahun 2030 seluruh armada berubah menjadi bus listrik.
Di balik proses pengoperasian bus listrik terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi pihak operator maupun pemerintah. Pasalnya, dibutuhkan infrastruktur dalam pengoperasian bus listrik agar bus berjalan lancar. Satu diantara fasilitas yang wajib dipenuhi adalah charging station. Achmad mengatakan TransJakarta kelak akan mengadakan peremajaan halte dengan menambahkan panel surya sehingga kedepannya akan tersedia suplai listrik di setiap halte.
Dengan besarnya potensi dan berkembangnya infrastruktur ketenagalistrikan di banyak daerah, listrik menjadi bahan bakar transportasi yang paling realistis. Apabila nantinya listrik sudah dihasilkan dari sumber daya terbarukan, implementasi kebijakan transportasi publik akan menimbulkan multiplier effect. Hal tersebut memicu peningkatan kualitas pada sistem transportasi publik sekaligus reduksi emisi total. Hingga kelak, transportasi listrik dapat mendorong Indonesia menjadi negara dengan transportasi berkelanjutan sepenuhnya.
LIVETA NISSI RAMADHANTI