Menempati urutan kedua sebagai penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, tak membuat Indonesia menutup mata dan berdiam diri. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkomitmen untuk memaksimalkan segala daya dan upaya untuk membangun dan mengembangkan sistem pengolahan sampah melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantargebang menjadi satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. TPA yang memulai operasinya pada tahun 1989 ini berlokasi di tiga kelurahan yakni, Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. TPA ini memiliki luas total 104,7 hektare yang terbagi menjadi enam zona landfill dengan total area sebesar 81,4 hektare serta sarana dan prasarana dengan luas 23,3 hektare.
Dari enam zona yang dimiliki, hanya terdapat empat zona yang aktif menampung sampah warga DKI Jakarta. Setiap zona aktif memiliki luas lahan yang cukup besar tetapi tumpukan sampahnya sudah hampir mencapai tinggi maksimum yang direncanakan. Hal itu menyebabkan volume tampungan sampah hanya tersisa sedikit.
Mengenal Profil PLTSa Bantargebang
Berdasarkan kajian di tahun 2019, tersisa 10 juta ton dari 49 juta ton kapasitas tampungan TPST Bantargebang. Tentunya akan menjadi masalah serius apabila volume sampah yang ditampung TPST Bantargebang melebihi kapasitas tampungannya. Apabila kondisi demikian terjadi, maka TPST Bantargebang dipastikan tidak dapat menerima sampah DKI Jakarta lagi. Lantas, ke manakah DKI Jakarta harus membuang sampahnya?
Pembangunan sistem pengolahan sampah melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) telah dicanangkan sejak lama. Proyek ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menekan tingginya produksi sampah plastik di Indonesia. Dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, dijelaskan bahwa PLTSa ini dibangun dalam rangka mengubah sampah menjadi sumber energi, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama mitra Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah membangun pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang dinamakan PLTSa Merah Putih. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilaksanakan oleh unit pengelola sampah terpadu (UPST) yang disupervisi oleh pusat pelayanan teknologi (Pusyantek) BPPT sehingga alokasi anggaran terdapat di UPST.
Penanganan Sampah pada Masa Pandemi Covid-19
Pasokan sampah yang masuk ke TPST Bantargebang terus meningkat tiap tahunnya. Akan tetapi, akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pasokan sampah di TPST Bantargebang menurun menjadi 7.424 ton/hari. Padahal apabila TPST ini beroperasi dengan kondisi normal, volume sampah yang masuk dapat mencapai 7.800 hingga 8.000 ton sampah dan menerima lebih dari 1.200 hingga 1.300 truk pengangkut sampah setiap harinya.
Selama masa pandemi, peningkatan produksi limbah medis menjadi hal yang tidak terelakkan. Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan pengolahan limbah infeksius. Kendati demikian, PLTSa Bantargebang tetap menerima limbah medis karena keterbatasan kapasitas penampungan pihak ketiga dan adanya pasokan limbah dari lokasi karantina mandiri milik Pemprov DKI Jakarta.
Sejak 2020, PLTSa ini telah menangani sekitar 250 kilogram limbah medis yang dikirimkan dari dua lokasi karantina mandiri, yakni Ragunan dan Taman Mini Indonesia Indah. PLTSa ini juga sedang dalam proses mengajukan sertifikasi sebagai lokasi pemusnahan. Hal itu dilakukan mengingat kegiatan pembakaran dengan suhu 850 derajat di PLTSa ini dinyatakan aman untuk pemusnahan limbah medis.
Selain penerapan protokol kesehatan yang ketat, Pemerintah DKI Jakarta juga menerapkan sistem penjemputan sampah oleh petugas pengangkut sampah. Masyarakat yang telah memilah sampah dapat menghubungi petugas sehingga sampah dapat diangkut secara terpisah.
Mengubah Sampah Menjadi Energi Listrik
PLTSa Bantargebang menggunakan proses pembakaran pada tungku api (insinerator). Dalam proses mengubah sampah menjadi energi listrik, sampah terlebih dahulu harus melalui proses pemilahan. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tidak dapat masuk ke dalam bunker mengingat titik lelehnya jauh lebih tinggi dari suhu pembakaran yang berkisar antara 700 hingga 900 derajat celsius. Hal itu menyebabkan limbah tersebut tidak habis terbakar, tetapi tetap terikut ke bottom ash.
Selain itu, penggunaan sampah organik harus diusahakan seminimal mungkin mengingat kadar air sampah harus berada di bawah 70 persen. Bahan organik sendiri bersifat basah sehingga nilai kalor yang dihasilkan tidak cukup besar. Konsep tersebut menjadi landasan pembenaran bahwa sampah plastik paling memungkinkan untuk dibakar lantaran memiliki nilai kalor yang tinggi.
Kebutuhan akan sampah plastik dalam proses pembakaran menjadi kontra dengan imbauan pemerintah dalam penggunaan plastik. Oleh sebab itu, penggunaan plastik tidak seharusnya dilarang selama dapat dipergunakan secara bijaksana. Jika diperhatikan, yang menjadi persoalan ialah minimnya partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah organik dan non-organik. Hal itu menyebabkan sampah plastik tercampur dengan sampah organik dan menimbulkan aroma tak sedap yang berimbas pada rendahnya nilai jual plastik.
Di PLTSa Bantargebang, proses pemilahan sampah ini dilakukan dengan bantuan trommel screen untuk memisahkan sampah-sampah yang berukuran besar. Kemudian produk dari trommel screen akan dipilah secara manual pada konveyor untuk memisahkan material yang masih memiliki nilai ekonomi ataupun dapat didaur ulang serta logam ataupun kaca.
Nilai kalor yang terkandung pada sampah kemudian dimanfaatkan melalui proses pembakaran. Proses pembakaran tersebut menghasilkan flue gas bertemperatur tinggi, yakni hingga 800 derajat celsius. Panas dari flue gas tersebut dimanfaatkan untuk memanaskan air dan menghasilkan steam bertekanan tinggi. Steam tersebut kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik dari generator pada steam turbin generator.
Lika-liku Pengoperasian PLTSa Bantargebang
Kekhawatiran mengenai masalah gas buang tidak ramah lingkungan pada PLTSa datang dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti-insinerator. Akan tetapi, dengan adanya flue gas treatment, hasil dari gas buang masih berada jauh di bawah ambang batas aman. Hal itu menandakan bahwa gas buang yang dihasilkan relatif aman untuk lingkungan.
Melihat secara prinsip, emisi karbon memang tidak dapat dihindari pada pemrosesan sampah, baik secara termal maupun non-termal. Jika membandingkan insinerator dengan proses landfill, emisi tetap akan dihasilkan melalui proses landfill. Hal ini dikarenakan sampah DKI Jakarta yang lebih dari setengahnya adalah organik atau food waste, saat dibiarkan akan mengalami proses komposting dan menghasilkan emisi. Hal yang sama juga terjadi pada insinerator. Akan tetapi, emisi yang dihasilkan insinerator masih dapat diminimalkan.
Sejumlah upaya yang dapat dilakukan adalah pengontrolan proses pembakaran dan suplai udara untuk memastikan pembakaran dilakukan secara sempurna. Flue gas treatment menjadi kunci dalam upaya pengurangan emisi dari insinerator. Dengan adanya treatment ini, proses pendinginan gas buang serta penyerapan gas asap dan logam berat seperti merkuri dapat terjadi.
Tercatat pada tahun 2020, kinerja PLTSa Bantargebang dalam pembakaran sampah mencapai 9.881 ton dengan fly ash dan bottom ash (FABA) yang dihasilkan berjumlah 1.918 ton. FABA yang dihasilkan pada pembakaran ini tidak tergolong ke dalam jenis limbah B3 sehingga dapat dimanfaatkan. Seluruh konblok yang ada di sekitar wilayah TPST Bantargebang merupakan aplikasi dari pemanfaatan fly ash, sementara bottom ash dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan paving dan bahan baku pembuatan batako.
Pembangunan PLTSa Bantargebang juga telah memberikan sumbangsih dalam penyediaan alternatif pengolahan sampah yang mampu mereduksi sampah secara signifikan. Berdasarkan data operasional PLTSa Bantargebang tahun 2020, terbukti bahwa PLTSa ini mampu mereduksi sampah hingga 80 persen dan sisanya menjadi FABA. Selain itu, dengan kapasitas 100 ton/hari, PLTSa Bantargebang ini da-pat menghasilkan energi maksimum dari energi listrik sebesar 700 kWh.
PLTSa ini memang masih diliputi kendala mengingat keberadaannya yang masih berupa pilot project. Kapasitas sampah yang dapat ditampung pun sangat kecil dibanding volume sampah yang masuk ke dalam TPST Bantargebang. Selain itu, listrik yang dihasilkan pun hanya digunakan untuk area internal PLTSa, yakni sebesar 350 kWh. Sisa dari listrik yang dihasilkan akan dialihfungsikan menjadi bahan bakar pada proses pre-treatment yang dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Hal tersebut membuat listrik yang dihasilkan oleh PLTSa Bantargebang tidak bersifat komersial, baik pada masa sekarang maupun kedepannya. Berbeda dengan listrik yang dihasilkan oleh Intermediate Treatment Facility (ITF) yang seluruhnya akan dikomersialkan.
Sebenarnya kendala yang dihadapi dalam fase pembangunan PLTSa ini tidak banyak. Akan tetapi, karena PLTSa ini adalah yang pertama di Indonesia, maka dibutuhkan banyak uji coba untuk desain dan pengaturan peralatan.
ITF: Proyeksi Pengelolaan TPST Bantargebang di Masa Mendatang
Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun empat ITF yang dikenal juga sebagai fasilitas pengolahan sampah antara (FPSA) dalam kota. FPSA atau ITF ini adalah fasilitas pengolahan sampah yang dibangun sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam mengurangi sampah melalui perubahan bentuk, komposisi karakteristik, volume, dan berat sampah menggunakan teknologi pengolahan sampah yang tepat, teruji, dan ramah lingkungan.
ITF yang berkapasitas antara 1.500 hingga 2.200 ton/hari ini nantinya akan tersebar di beberapa wilayah, yakni ITF Sunter sebagai pusatnya, ITF wilayah layanan barat, timur dan selatan. Proyek ini sebenarnya telah melalui proses ground breaking di tahun 2018. Akan tetapi, masih terhambat akibat permasalahan pendanaan yang menyebabkan konstruksinya belum juga dimulai.
Di tahun 2019, ITF Sunter telah mengolah sebanyak 2.200 ton sampah dan menghasilkan listrik sebesar 35 MWh. Sementara itu, penyelenggaraan FPSA wilayah layanan barat, timur, dan selatan sedang dalam tahap pemilihan konsultan untuk segera melakukan proses penyusunan dokumen kelayakan dan penyelesaian administrasi untuk proses perolehan sertifikat.
Berdasarkan sumber data pra-studi kelayakan dalam kota (2020), diasumsikan bahwa ITF mulai beroperasi di akhir tahun 2025 atau awal tahun 2026 dengan proyeksi sampah yang masuk ke PLTSa Bantargebang sebesar 8.269 ton/hari. Dengan demikian apabila ITF Sunter serta FPSA wilayah layanan barat, timur, dan selatan beroperasi, maka jumlah sampah yang tersisa di tahun 2025 menjadi 869 ton. Hal ini menandakan bahwa proyek ITF ini dapat mereduksi sampah hingga 89,5 persen.
Alih-alih hanya berbicara tentang rencana pengelolaan sampah, Pemprov DKI Jakarta juga melakukan peningkatan kegiatan pengurangan sampah di sumber. Beberapa diantaranya melalui pengelolaan sampah lingkup RW (Pergub 77/2020), bank sampah, biokonversi sampah organik dengan bantuan larva maggot, sampah tanggung jawab bersama (SAMTAMA), dan Jakarta Recycle Centre.
Akan tetapi, dibalik itu semua, peranan masyarakat menjadi hal yang penting. Kegiatan 3R yang terdiri dari reuse, reduce, dan recycle maupun circular economy akan menjadi konsep semu apabila warganya tidak peduli terhadap permasalahan sampah. Masyarakat harus sadar bahwa penggunaan teknologi seperti PLTSa tidaklah murah. Contohnya saja, pembangunan PLTSa di Sunter berhasil menggelontorkan dana sebesar 5,2 triliun rupiah.
Penggelontoran dana fantastis itu tentunya akan menjadi tidak optimal apabila salah satu pihak bersifat tidak kooperatif. Oleh karena itu, sinergi dan kepedulian antara masyarakat dan pemerintah menjadi kunci utama dalam keberhasilan penyelesaian persoalan sampah di DKI Jakarta.
GIOVANI SERENA SIAHAAN