Forum Kita
Indonesia adalah negara pemimpi. Terbentang luas dari Sabang hingga Merauke, Indonesia percaya bahwa seluruh kekayaan alam yang ada bukanlah ornamen semata, namun dimaknai sebagai pendongkrak progresif mencapai cita. Sri Mulyani, Menteri Keuangan Periode 2020-2024, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan produksi energi yang besar untuk menjadi negara maju. Hingga Juni 2020, kapasitas pembangkit di Indonesia mencapai 71 gigawatt (GW), dengan wilayah teraliri listrik sebesar 99,15% dan akan bertambah 13.585 megawatt (MW) PLTU yang akan beroperasi berdasar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Menilik dari jumlah penduduk Indonesia yang selalu naik secara signifikan, peningkatan kapasitas daya listrik dan pengembangan dari sektor energi yang lain memang diperlukan. Namun, apakah kebijakan yang diambil dalam sektor energi sudah memberikan dampak yang lebih baik?
Pada tahun 2021, perubahan iklim bukan lagi sekedar mite. Ilmuwan menilai bahwa salah satu penyebab utama perubahan iklim kian memburuk ialah peningkatan total emisi karbon setiap tahunnya. Berdasarkan Our World in Data, disebutkan bahwa sektor energi mendominasi 73,2 persen dari total emisi karbon global tersebut. Hal ini merupakan implikasi dari pembakaran fosil untuk batu bara, gas alam, dan minyak bumi yang selanjutnya digunakan sebagai nadi dalam pergerakan transportasi dan manufaktur. Cukup ironis melihat kebutuhan konsumsi energi global yang selalu naik dan masih didominasi oleh sumber energi fosil utama. Dua negara pemimpin dunia, Cina dan Amerika Serikat justru menjadi pelopor nomor satu dalam pengembangan “energi kotor”. Kasus yang sama terjadi di negara-negara di Asia Tenggara yang masih menjadikan “energi kotor” sebagai dongkrak laju perekonomian negara. Lalu bagaimana strategi yang tepat untuk tetap mempertahankan ketersediaan energi tanpa kemudian memperkeruh pertiwi?
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) selanjutnya datang dan menjadi jalan keluar akan persoalan tersebut. EBT dipercaya menjadi solusi utama dalam pengurangan emisi karbon dan perlambatan laju perubahan iklim. EBT dipercaya tidak hanya akan bermanfaat untuk lingkungan, namun juga untuk ekonomi yang berkelanjutan. Negara-negara maju pun turut berkomitmen dalam pengembangan EBT sebagai langkah penting untuk mencapai Paris Agreement yang disahkan pada tahun 2015 dalam pembatasan perubahan temperatur hingga 2 derajat celsius.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik dalam High-level Panel Discussion: The Vision and Experiences of Energy Transition Towards Low Carbon Energy, pada acara Indonesia Energy Transition Dialogue Forum 2018 mengatakan bahwa Indonesia berperan penting untuk mencapai Paris Agreement, terutama dalam sektor energi. Bagaimana tidak, Indonesia digadang-gadang memiliki potensi EBT hingga 417 GW, meliputi sumber energi surya, air dan mikrohidro, panas bumi, gelombang laut, biomassa, angin dan juga nuklir. Maka dari itu, target bauran EBT 23 persen pada tahun 2025 seharusnya bukan lagi suatu angan dan rencana. Pemerintah harus serius mewujudkan target tersebut sebagai langkah dalam penyelamatan tanah air.
Ada beberapa strategi yang sudah dicanangkan pemerintah dalam pencapaian tersebut, salah satunya adalah dengan mendongkrak pembangunan infrastruktur energi. Pengembangan energi perlu diseimbangkan dengan tumbuhnya infrastuktur penunjang baik dari produksi, transportasi, hingga penyimpanan energi. Seluruh konstruksi tersebut perlu dibangun dalam skala besar menilik pemanfaatan EBT yang progresif setiap tahunnya. Pemerintah memang memiliki ambisi dalam transisi tersebut menilik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang banyak difokuskan dalam pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Namun, apakah langkah tersebut cukup melihat hingga saat ini, dilansir dari Tempo, produksi EBT baru mencapai 13,55 persen per April 2021 silam?
Kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkan serta langkah aksi yang telah dilakukan oleh pemerintah justru mengundang tanda tanya bagi publik, seperti perwujudan target 35.000 MW pembangkit listrik yang masih didominasi oleh PLTU, berbagai potensi EBT yang hingga saat ini belum dikembangkan, serta kenaikan produksi batubara secara masif setiap tahunnya. Apakah ini yang dimaksud sebagai langkah progresif menuju transisi EBT? Di mana letak keseriusan pemerintah dalam menuju target bauran EBT esok hari? Pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengambil langkah besar dalam mencapai target bauran di tahun 2025. Jika pemerintah tetap melakukan skema business as usual, bukan hal yang salah jika Indonesia dapat menjadi alasan gagalnya Paris Agreement seperti yang dilansir pada laporan Do Not Revive Coal oleh Think Tank Carbon Tracker beberapa waktu silam.
Maka dari itu, kami Pers Mahasiswa Teknik Sipil Clapeyron akan terus aktif bersua dan bersuara dalam mendukung dan menekan pemerintah demi mewujudkan Transisi Energi Nasional melalui EBT yang berkelanjutan. Melalui Majalah Teknik Sipil dan Ilmiah Clapeyron Volume 65: Secercah Mimpi Pembangunan Energi Terbarukan, kami secara rinci mengurai perkembangan transisi energi bersih di Indonesia dalam kacamata ketekniksipilan. Majalah ini juga akan kami luncurkan dengan dukungan dan pelibatan khalayak publik melalui sayembara serta talkshow bertajuk Clapeyron Proyek dan Expo (Claproyex) 5: Kebangkitan Energi Baru Terbarukan guna Terwujudnya Kedaulatan Energi Nasional. Seluruh kegiatan kami didasari akan angan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju dan berkelanjutan. Kami harap majalah dan kegiatan kami dapat menjadi katalis informasi yang mendidik masyarakat sekitar akan pentingnya pencapaian energi bersih yang sulit tercapai tanpa adanya pengembangan infrastruktur dalam menyokong target bauran energi tersebut.
PEMIMPIN UMUM