15 SP Harmonisasi Alam dan Manusia Daerah Kapuas

Banjir yang melanda Kalimantan Barat pada akhir tahun 2021 menjadi buah bibir di media sosial. Banyak spekulasi yang kemudian muncul dari masyarakat terkait penyebab banjir dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Penanganan pun terus dilakukan oleh Pemerintah demi mencegah dan mengurangi dampak banjir. Namun begitu, apakah pemahaman DAS Kapuas beserta penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah sudah efektif?

Pada 2021 silam, Kalimantan Barat dilanda banjir akibat luapan Sungai Kapuas. Banjir yang cukup besar dan lama ini melanda beberapa daerah seperti Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu, Melawi, Sekadau, Sanggau, dan Mempawah. Daerah-daerah yang berada di sekitar aliran Sungai Kapuas tersebut memang setiap tahunnya terjadi banjir, tetapi aspek yang menjadi persoalan kali ini adalah seberapa sering terjadinya banjir, seberapa lama banjir tersebut, dan tingkat kedalaman banjir yang terjadi.

Beberapa pihak mengklaim bahwa bencana banjir di DAS Kapuas diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan DAS, pengaruh intensitas hujan yang tinggi, ataupun latar belakang morfologi dari Sungai Kapuas sendiri.

Kondisi DAS Kapuas saat ini memang terdapat banyak perubahan alih fungsi lahan. Sebelumnya, DAS ini mayoritas tertutup oleh hutan primer, tetapi saat ini sebanyak 80%–90% bagiannya telah menjadi lahan terbuka. Hal ini disebabkan oleh adanya penebangan hasil kayu hutan dan pengalihan fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur sawit.

Adanya alih fungsi lahan menjadi lahan terbuka bukanlah sebuah maksud yang tidak bertujuan. Roda penggerak ekonomi di Kalimantan Barat salah satunya juga ditunjang dengan adanya aktivitas eksploitasi sumber daya alam (SDA), seperti perkebunan dan pertambangan. Dengan adanya aktivitas tersebut, apakah kegiatan penunjang ekonomi dapat berjalan selaras dengan revitalisasi lingkungannya?

Kekhasan DAS Kapuas

Menurut Kiki Prio Utomo, seorang dosen ahli hidrologi lingkungan dari Universitas Tanjungpura, terdapat kekhasan Sungai Kapuas yang membedakannya dari sungai lain. Sungai Kapuas memiliki panjang hulu yang sangat pendek jika dibandingkan dengan panjang hilirnya. Bahkan, perbedaan elevasi yang ada pada daerah hulu di Sintang dengan daerah hilir di Pontianak tidak lebih dari 40 meter. Kelandaian ini yang mengakibatkan aliran sungai menjadi relatif lambat dan sangat berpotensi besar untuk terjadinya banjir.

Namun, potensi tersebut dapat secara alamiah tereduksi. Hal ini ditunjukkan dengan terhubungnya DAS Kapuas melalui sebuah sistem danau bernama Danau Sentarum. Danau ini terletak di Kabupaten Putussibau dan Sintang, Kalimantan Barat.

Danau Sentarum sering disebut sebagai danau musiman. Pada musim penghujan, air yang berada di Sungai Kapuas akan sebagian masuk ke danau yang dapat berperan menjadi tampungan alam. Adanya limpasan yang masuk ke danau justru menjadi penyelamat banjir pada bagian hilir Sungai Kapuas. Sementara pada musim kemarau, air dari Danau Sentarum akan melimpas kembali ke Sungai Kapuas dan membuat aliran sungai tetap normal sehingga bagian hilir tidak akan terjadi kekeringan.

“Danau Sentarum ini seperti spons yang menyerap air ketika air berlebih dan melepaskan kembali ketika air di sungai berkurang. Kita tidak bisa memisahkan sistem Sungai Kapuas dengan sistem Danau Sentarum, keduanya saling berkaitan,” ungkap Kiki.

Potensi banjir lain di DAS Kapuas juga diakibatkan oleh adanya formasi gambut. Tanah gambut ini memiliki kemampuan menyerap air dengan volume yang besar. Air yang diserap tersebut dapat dilepaskan kembali, tetapi tidak akan berbalik kembali ke dalam tanah gambut tersebut (memampat).

Sifat tanah gambut membuat daerah di sekitar Sungai Kapuas umumnya berbentuk rawa-rawa yang mengandung banyak air. Selain berpotensi menyebabkan banjir, formasi gambut ini juga menyulitkan pekerjaan konstruksi karena gambut tidak memiliki daya dukung yang lebih baik daripada tanah pada umumnya.

Tantangan Ekonomi dan Lingkungan

DAS Kapuas memiliki luas yang begitu besar. DAS yang membentang dari Kabupaten Kapuas Hulu sampai Kubu Raya ini memiliki luas kurang lebih 14.000.400.000 hektare. Dengan luas sebesar itu, sebanyak 70% dari DAS Kapuas telah mengalami kerusakan yang berpotensi menyebabkan banjir di DAS tersebut. Kerusakan DAS paling umum disebabkan oleh adanya kegiatan pertambangan dan pembukaan lahan untuk perkebunan.

Namun, ketika berbicara terkait sektor ekonomi, kebutuhan ekonomi di Kalimantan Barat saat ini juga ditunjang melalui aktivitas pertambangan dan perkebunan. Dilansir dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sektor tambang menyumbangkan pendapatan pajak terbesar, yaitu 15,89% atau sebesar Rp1.024,58 miliar pada tahun 2021. Sementara itu, Kalimantan Barat juga memiliki komoditas unggulan berupa karet dan kelapa sawit. Pada periode 2016–2018, kedua komoditas tersebut telah menyumbangkan sekitar 95% dari total produksi perkebunan di Kalimantan Barat.

Kegiatan pertambangan dan perkebunan diklaim masyarakat menjadi salah satu kandidat DAS Kapuas mengalami kebanjiran. Menurut Kiki, pertambangan dan perkebunan di Kalimantan Barat ini memang bisa menjadi sebuah potensi yang menyebabkan banjir. Akan tetapi, sebenarnya pengaruhnya tidaklah besar. Jika dilihat terkait kondisi terkini, pertambangan dan perkebunan di Kalimantan Barat memiliki luas yang tidak begitu signifikan. Lokasi pertambangan juga dinilai tidak terlalu destruktif karena berada di hilir.

Selain faktor luas dan lokasi, kegiatan tambang tentu berupaya untuk melakukan perencanaan terlebih dahulu. Upaya dalam mengurangi risiko lingkungan juga tetap dipersiapkan agar tidak menyebabkan dampak yang signifikan—asalkan adanya ketegasan hukum supaya usaha tambang bisa bergerak sesuai regulasi.

Melihat keunggulan sektor ekonomi dengan keadaan DAS Kapuas, perlu banyak pertimbangan agar kedua sektor dapat berjalan beriringan demi kesejahteraan masyarakat Kalimantan Barat. Menurut Kiki, persoalan terpenting yang sering dihindari orang adalah mencari keseimbangan terkait seberapa jauh eksploitasi potensi wilayah untuk pengambilan SDA tanpa merusak lingkungan yang lebih signifikan.

Kiki mengatakan bahwa keseimbangan tersebut mudah untuk diucapkan, tetapi sangat sulit untuk diimplementasikan. Dampak yang dihasilkan terkait eksploitasi untuk SDA adalah kebutuhan ekonomi riil yang dapat dirasakan langsung. Sementara itu, dampak yang terjadi akibat adanya eksploitasi alam merupakan dampak yang dirasakan pada masa mendatang. Maka dari itu, persoalan kedua ini yang menyebabkan ketidakharmonisannya neraca ekonomi dan lingkungan.

“Kerusakan lingkungan mungkin masih baru akan dirasakan lima sampai sepuluh tahun yang akan datang, tetapi saya harus makan hari ini. Nah, ini yang kemudian menyebabkan dua hal ini seringkali tidak bisa selalu harmonis,” tutur Kiki.

Kiki juga turut menyuarakan pendapatnya bahwa keseimbangan ini merupakan sebuah kesepakatan beberapa pihak, seperti pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Keseimbangan akan diraih apabila terdapat perangkat regulasi yang membatasi.

Banjir Alami, Adaptasi Menjadi Solusi

Banjir merupakan sebuah bencana antroposentrik. Artinya banjir yang terjadi di suatu wilayah akan disebut sebagai bencana apabila manusia yang menyebutnya sebagai bencana. Apabila tidak ada manusia yang memiliki kepentingan pada wilayah tersebut, tidak akan ada yang peduli dan menyebutnya sebagai sebuah bencana.

Banjir yang terjadi di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sintang merupakan salah satu banjir terbesar dan terlama sejak tahun 1963. Namun pada dasarnya, banjir di daerah ini terjadi setiap tahun dan merupakan suatu kejadian yang alami.

Adanya banjir tahunan tersebut, Pemerintah kemudian mengupayakan pencegahan dan antisipasi banjir—mulai dari pemasangan geobag di Kota Sintang, hingga pembuatan danau dan perkuatan tebing telah diwacanakan. Yang menjadi pertanyaan, apakah solusi tersebut sudah sesuai dan tepat guna?

Menurut Kiki, upaya yang dilakukan Pemerintah jelas membantu, tetapi hanya dapat berlaku pada jangka pendek dan keadaan darurat. Dampak banjir juga dapat direduksi dengan adanya upaya tersebut karena volume air yang masuk ke dataran akan mengurang, khususnya di titik-titik prioritas. Namun, kegiatan tersebut tidaklah relevan untuk diterapkan di daerah Kalimantan Barat yang memiliki keunikan tanah berupa gambut. Selain itu, tidak memungkinkan sebuah pembangunan terlaksana karena skala pekerjaan yang terlalu besar.

Perlu diingat, berbicara terkait dampak, tidak serta-merta hanya dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu bencana. Kembali lagi, banjir yang terjadi di DAS Kapuas ini merupakan sebuah hal alamiah. Menurut Kiki, apabila DAS Kapuas tidak terjadi banjir, justru itu akan menjadi sebuah permasalahan baru karena tidak akan ada pengayaan ulang pada unsur hara tanah ataupun migrasi ikan.

Apabila ditinjau dari morfologi dan geografi Sungai Kapuas, meniadakan banjir di DAS Kapuas adalah hal yang sulit dan berisiko. Dalam kondisi darurat seperti banjir, hal yang paling utama diselamatkan umumnya adalah masyarakat dan infrastruktur. Maka dari itu, upaya yang cocok dilakukan dalam menanggulangi banjir jangka panjang adalah dengan adaptasi. Menurut Kiki, adaptasi merupakan solusi yang dapat menyelesaikan banyak persoalan.

Adaptasi menurut Kiki dapat dilakukan baik dari aktivitas manusia maupun dari segi infrastruktur. Kiki menyatakan, apabila dilihat dari kacamata teknik sipil, tujuan menanggulangi banjir adalah untuk mengeringkan banjir secepat mungkin. Sementara itu, kita dapat beradaptasi dan membiarkan banjir tetap terjadi. Infrastruktur yang terkena banjir juga dapat diadaptasi sehingga tidak mengalami kerusakan fatal.

Dengan demikian, adaptasi akan membantu sektor lainnya agar dapat berjalan, seperti aktivitas ekonomi yang tidak terhambat, bahan pangan tetap tersedia, dan penyakit yang tidak berkembang. “Mau banjir lama, cepat, asal tidak terganggu, maka tidak ada yang dirugikan,” tambah Kiki.

Kiki berharap agar masyarakat lebih paham tentang DAS Kapuas serta mendorong banyak penelitian dan pendataan tentang DAS Kapuas. Beliau juga mencita-citakan bahwa keunikan dari DAS Kapuas agar tetap dilestarikan dan tidak berubah. “Saya tidak mengatakan agar tidak rusak—karena tendensinya negatif—tetapi tidak berubah terlalu jauh atau besar sehingga hal-hal unik tadi tidak bisa kita banggakan,” tutur Kiki.

Hal utama yang beliau harapkan adalah Sungai Kapuas dapat menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Kalimantan Barat lebih lama dan kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh banyak orang.

ALSYAFIQ AKBAR SURYAJATI