Terlihat dalam beberapa tahun terakhir, media massa nasional hingga internasional kerap mengangkat beragam isu seputar Taman Nasional Komodo—dari pembangunan, kebakaran, hingga ancaman kepunahan komodo. Namun, fakta apa yang sebenarnya terbungkam di balik kabar yang beredar?
Selain dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan beragam kekayaan hayati dan wisata bahari, Indonesia juga dikenal sebagai surga dunia dengan segala bentuk keindahan dan kekayaan alamnya. Keagungan dan keelokan Indonesia juga tercermin melalui sejumlah tempat dengan keindahan yang bisa dibandingkan dengan daftar keajaiban dunia, salah satunya Taman Nasional Komodo (TNK)—sebuah surga dunia yang tersembunyi.
TNK yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi habitat dari hewan purba kebanggaan Indonesia, Varanus komodoensis atau yang dikenal dengan nama biawak komodo. Ditunjuk pada tanggal 6 Maret 1980, TNK menjadi taman nasional pertama dari total 54 taman nasional di Indonesia.
TNK memiliki area seluas 173.300 hektare dengan 66% wilayah perairan dan 34% wilayah daratan yang didominasi oleh ekosistem sabana. TNK juga dihuni oleh masyarakat lokal yang bermukim di Desa Pasir Panjang (Pulau Rinca), Desa Komodo (Pulau Komodo), dan Desa Papagarang (Pulau Papagarang).
Sebagai satwa kunci di TNK yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO, keberadaan komodo menjadi hal yang selalu diperhatikan oleh mata dunia. Hal itu terlihat dari sentimen publik yang mengawal proyek pembangunan dan penataan TNK.
Lebih Dalam Mengenal Komodo
Hidup di padang rumput terbuka, hutan belukar, dan pesisir pantai membuat komodo saat ini hanya terdapat di NTT, Indonesia. Menyusuri tapak tilas komodo, diketahui bahwa hewan ini bukan merupakan penduduk asli Indonesia, melainkan Australia. Hal ini terlihat dari temuan fosil komodo yang diperkirakan sudah berumur empat juta tahun.
Migrasi komodo menuju timur Indonesia telah berlangsung ratusan ribu tahun lalu saat muka air laut menyusut 85 meter lebih rendah bila dibandingkan dengan kondisi saat ini hingga akhirnya punah lokal di Australia. Proses migrasi inilah yang menyebabkan komodo sempat tersebar di beberapa daerah Indonesia, mulai dari Pulau Flores hingga Kepulauan Sunda Kecil.
Kendati demikian, keberadaan komodo yang terdistribusi di wilayah TNK dan Pulau Flores menunjukkan adanya perbedaan genetik seperti perbedaan alel. Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak sampai menyebabkan adanya perbedaan spesies. Apabila dibandingkan dengan komodo di Pulau Flores yang bertubuh ramping dan kecil serta berwarna lebih terang kekuningan, komodo di TNK berukuran lebih besar dan berwarna kulit lebih gelap.
Walaupun terdistribusi di beberapa wilayah timur Indonesia, komodo tidak dapat serta-merta dipindahkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian jenis komodo di masing-masing wilayah.
Dalam memonitor populasi komodo, Balai TNK bekerja sama dengan yayasan Komodo Survival Program menggunakan metode capture mark release recapture (CMRR) dan pemasangan chip passive integrated transponder (PIT tag). CMRR bekerja dengan menjebak komodo di suatu perangkat untuk ditimbang dan diukur, sementara PIT tag berfungsi sebagai penanda yang dipasang di tubuh komodo untuk mengidentifikasi pertumbuhannya.
Urgensi Penataan Sarana Prasarana
Peningkatan aktivitas wisata di TNK telah menarik wisatawan domestik dan mancanegara. Keaslian serta keunikan destinasi dan biodiversitas menjadi tiga daya yang berkontribusi pada peningkatan aktivitas wisata tersebut. Melalui sektor pariwisata pada tahun 2019, dana PNBP TNK senilai Rp38 miliar berhasil menggerakkan ekonomi Kabupaten Manggarai Barat hingga Rp533,3 miliar sampai dengan September 2019 melalui jasa hotel, resto, operator, dan retribusi.
Menyikapi kunjungan yang signifikan selama 10 tahun terakhir sebagai imbas dari peningkatan aktivitas wisata, TNK berkomitmen dalam menerapkan konsep daya dukung daya tampung wisata (DDDT) untuk membatasi kunjungan wisatawan. Melalui penerapan konsep DDDT, diharapkan keselamatan satwa dapat tercapai dan potensi kerusakan alam dapat diminimalkan. Namun, untuk dapat menerapkan konsep pariwisata nonmassal ini, kualitas infrastruktur di TNK perlu dibenahi.
Sama halnya seperti taman nasional di Indonesia pada umumnya, TNK juga beroperasi dengan sistem zonasi yang tersegmentasi ke dalam tujuh zona dengan aktivitas tertentu dan terbatas. Dari ketujuh zona itu, pengembangan wisata alam di TNK sangat dibatasi dan terbatas hanya pada Zona Pemanfaatan Wisata Daratan dan Bahari yang apabila diakumulasikan, hanya memiliki andil 0,95% dari total luasan zona.
Sejak mendapatkan izin dari Kementerian LHK pada bulan September 2020, proses penataan sarana dan prasarana komodo hampir mencapai tahap akhir. Pembangunan sarana dan prasarana ini terletak di Lembah Loh Buaya, salah satu dari puluhan lembah di Pulau Rinca yang luasnya hanya 1,3 hektare dari total 20.822 hektare luas Pulau Rinca. Kalkulasi angka ini bernilai 0,000065% dari total luas Pulau Rinca atau 0,0000075% dari total luas TNK.
Sebagian besar bangunan sarana prasarana dirancang melayang (elevated track) beberapa meter di atas tanah dengan ketinggian 2–3 meter dan lebar 4 meter. Elevated track ini didesain layaknya rumah panggung untuk menghindari persimpangan langsung antara komodo dan manusia. Selain itu, dengan desain melayang ini, pengunjung dapat melihat komodo dengan jarak pandang lebih luas, bahkan dapat melihat komodo melintas di bawah kaki.
Hanya akan ada satu kawasan bangunan yang menjejak tanah sebagai tempat untuk museum, toilet, dan pengamatan langsung komodo dari jarak lebih dekat. Selain itu, di lokasi tersebut nantinya akan dibangun fasilitas umum—mulai dari information center, kawasan sentra suvenir, tempat makan, klinik, area swafoto, penataan kawasan dermaga, dan pengamanan pantai Loh Buaya. Tidak hanya itu, terdapat bangunan operasi yang terdiri atas kantor dan pondok untuk peneliti sekaligus pemandu wisata yang berada pada lokasi sarana dan prasarana yang lama.
Penataan ini diharapkan dapat menjadi pemersatu sarana dan prasarana yang terpisah sehingga dapat membentuk suatu sistem terpadu yang berorientasi pada prinsip bahwa komodo tidak boleh berinteraksi secara langsung dengan manusia.
Tantangan Penataan Sarana Prasarana dan Isu Kepunahan Komodo
Penataan sarana dan prasarana tentunya tidak terlepas dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah tantangan penggunaan alat berat yang dikhawatirkan dapat merusak ekosistem yang ada. Oleh karena itu, Pemerintah menerapkan protokol keselamatan bagi komodo dan manusia selama pembangunan sarana dan prasarana.
Kepastian itu terlihat melalui pengamanan jalur-jalur perlintasan komodo, pembangunan pagar-pagar, dan penempatan 5–10 ranger untuk mengawasi seluruh aktivitas penataan sarana dan prasarana setiap harinya. Penutupan sementara Resort Loh Buaya TNK pun dilakukan dengan pengontrolan setiap dua minggu sekali.
Tidak hanya tantangan secara teknis, disinformasi juga masih menjadi tantangan yang ditemui selama penataan berlangsung. Proyek ini bahkan dicurigai sebagai penyebab peningkatan status konservasi komodo dari vulnerable menjadi endangered.
Nyatanya, tak banyak disadari, status endangered seharusnya telah disandang komodo sejak lama, yakni sejak pertama kali ditemukannya komodo pada tahun 1910. Populasi komodo serta sebarannya memang sedikit sehingga satwa ini menjadi rentang terhadap kepunahan. Selain itu, ketidakakuratan metode pencatatan jumlah populasi akibat keterbatasan teknologi membuat pemberian status vulnerable pada komodo kurang akurat kala itu.
Penetapan status komodo yang terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga masih disalah artikan oleh masyarakat. Alih-alih memahami bahwa status itu muncul sebagai imbas dari rendahnya populasi di kawasan Pulau Flores dan kondisi sebaran komodo yang memang secara alami sangat terbatas, masyarakat malah memojokkan proyek penataan sarana dan prasarana sebagai dalangnya. Diterpa isu terancam punah, keberadaan komodo di Taman Nasional justru cenderung stabil dan terjaga.
Belajar Kembali mengenai Konsep TNK
Kepala Balai TNK Lukita Awang Nistyantara, M.Si. menyayangkan miskonsepsi perihal taman nasional yang terjadi di kalangan masyarakat kala diwawancarai langsung Clapeyron.
Alih-alih menyadari bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian yang berorientasi pada keaslian ekosistem, masyarakat malah menganalogikannya sebagai peternakan, di mana populasi hewan di dalamnya harus terus meningkat. Padahal, jumlah populasi hewan yang ada bersifat fluktuatif dan mengikuti demografi rantai makanan.
Di TNK, jumlah populasi komodo bergantung pada carrying capacity dari habitatnya—seperti luasan pulau dan juga populasi rantai makanannya. Hal itu membuat dinamika populasi komodo yang tidak signifikan menjadi hal yang biasa terjadi. Lukita mengingatkan bahwa peningkatan populasi belum tentu berarti bagus dan penurunan populasi juga belum tentu berarti jelek. Selama penurunan dan peningkatan populasi masih dalam ambang batas tertentu, hal itu tergolong aman.
Lukita juga menegaskan kembali tugas taman nasional dalam memprioritaskan keaslian dan keorganikan ekosistem di dalamnya. Ekosistem di dalam taman nasional harus dilindungi dan tidak dapat diubah begitu saja. Bahkan, penanaman pohon di dalamnya saja terbatas dan mengikuti aturan yang ada.
Hal tersebut juga berlaku bagi satwa. Satwa dari luar tidak dapat begitu saja memasuki kawasan taman nasional tanpa adanya izin dan pertimbangan yang komprehensif. Komodo di wilayah timur Indonesia lainnya pun tidak dapat serta-merta dipindahkan ke dalam TNK.
Hingga tahun 2021, TNK didiami oleh 8.000–11.000 ekor kalong, 10.000-an ekor rusa, dan 200-an ekor kerbau. Pelarangan dan penghentian perburuan satwa pun menjadi perhatian khusus Pemerintah melalui Balai TNK. Hal ini dilakukan demi menjaga dan memastikan kestabilan rantai makanan di TNK.
Hingga kini, terdapat 110 ranger yang siap memberikan perlindungan dan pengawasan melalui berbagai operasi. Selain bertugas untuk melakukan pendataan komodo dan satwa liar lainnya, para ranger juga berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat melalui sosialisasi-sosialisasi dan melakukan kegiatan pemantauan manajemen perairan.
Konservasi Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Terlepas dari hiruk-pikuk permasalahan penataan sarana dan prasarana TNK, baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama memiliki peran dalam saling mendukung dan menjaga aset kekayaan Indonesia.
Dalam sesi wawancara, Lukita menegaskan bahwa TNK lebih dari sekadar destinasi untuk berswafoto, yaitu sebagai sarana edukasi mengenai satwa endemik Indonesia. Pengenalan tersebut juga sebagai bentuk kebanggaan dan penghargaan terhadap karakteristik satwa. Oleh karena itu, wisatawan diimbau untuk memastikan keamanan dan kenyamanan baik mental maupun fisik dari satwa yang ada saat berkunjung.
Pemerintah selaku stakeholder juga diharapkan dapat memberi keterangan dan informasi resmi yang komprehensif dan transparan kepada masyarakat sehingga kekhawatiran dapat diminimalkan dan kemungkinan terjadinya disinformasi dapat direduksi.
Sinergi dan kepedulian antara masyarakat dan pemerintah tentunya akan mendorong suksesnya penataan sarana dan prasarana TNK yang sejatinya memang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup satwa biawak komodo dengan kaidah-kaidah konservasi.
GIOVANNI SERENA SIAHAAN</