16 PL Prof. Emil Salim, M.A., PH.D., Putra Bangsa Tiga Zaman

Dalam ranah politik nasional sejak 1966, Emil Salim dikenal sebagai ekonom dan pemerhati lingkungan senior yang turut mengambil peran dalam The Berkeley Mafia. Kepemimpinan politiknya amat menonjol sehingga beliau terpilih sebagai menteri dalam 5 periode yang berbeda.

Lingkup Studi dan Karier

Emil Salim lahir di Lahat, Sumatera Selatan, pada tanggal 8 Juni 1930. Hingga saat ini, beliau telah melalui tiga zaman pemerintahan Indonesia.

Emil Salim cukup sering berpindah tempat ketika mengenyam pendidikan. Mulai dari pendidikan dasar pada Era Kolonial Belanda di Frobel School selama satu tahun, dilanjutkan ke sekolah Belanda Europeesche Lagere School (ELS) selama empat tahun di Banjarmasin dan dua tahun di ELS Kota Lahat, Sumatera Selatan.

Beralih ke era kolonialisme Jepang, Emil bersekolah di Dai Ichi Syo-Gakko, Palembang. Hingga masa kemerdekaan tahun 1945, beliau masih menempuh pendidikan Sekolah Menengah Umum Pertama di Palembang. Beranjak dari sana, kegiatan belajar dilakukan di SMAN 1 Bogor hingga berhasil menduduki bangku perkuliahan di Jurusan Ekonomi Universitas Indonesia.

Dalam menimba ilmu, beliau memegang teguh prinsipnya untuk melakukan sesuatu dengan maksimal dan tidak berhenti hanya pada apa yang ditargetkan—prinsip itulah yang mengantarkan Emil Salim untuk melanjutkan program S2 dan S3 bidang Ilmu Ekonomi di University of California, Berkeley, Amerika Serikat.

Beradaptasi di lingkungan yang memiliki perbedaan budaya tentunya tidak mudah untuk dilakukan. Emil menerapkan tiga aspek ketika mempelajari suatu hal. Aspek pertama adalah menganalisis data statistik (fakta kenyataan yang ada di lapangan). Aspek kedua adalah penerapan teori yang telah dipelajari terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Aspek ketiga adalah evaluasi policy making yang sebelumnya dibuat dan diberlakukan.

Kepiawaian Emil membuatnya tergabung dalam anggota Tim Penasihat Ekonomi Presiden pada tahun 1966. Tahun berikutnya, beliau bergabung menjadi anggota Tim Penasihat Menteri Tenaga Kerja serta anggota Tim Teknis Badan Stabilitas Ekonomi. Beliau dipercaya pula untuk menjabat sebagai Deputi Ketua Bappenas pada 1968.

Di samping itu, kecakapannya dalam ranah ekonomi menjadikan beliau dikenal sebagai salah satu tokoh The Berkeley Mafia yang pada kala itu berhasil menekan hiperinflasi yang semula setinggi 650% menjadi 36%.

Emil Salim menyampaikan bahwa pada saat itu, anggaran negara melebihi penerimaannya karena pengeluaran sama sekali tidak ditujukan ke arah pembangunan, melainkan untuk pertahanan dan perang. Dari sanalah teori yang sebelumnya ia pelajari diterapkan, kebijakan dikembangkan, dan masalah yang dihadapi dapat terselesaikan.

Saat itu, karier beliau dalam ranah politik cukup melejit. Beliau menjabat sebagai menteri selama lebih dari dua dekade, terhitung sejak tahun 1971 hingga 1993 pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto. Beliau memulai jabatannya sebagai Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, lalu memungkasi jabatan menterinya sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan. .dan Lingkungan Hidup.

Pada tahun 1999, beliau kembali berkarier di Istana Negara sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional pada era Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode berikutnya hingga tahun 2014, beliau menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Tidak berhenti di situ, beliau juga sempat dilantik jadi anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Pengembangan Lingkungan yang Selaras dengan Aspek Sosial

Ekonomi dan politik bukanlah satu-satunya bidang yang digeluti oleh Emil Salim. Beliau juga banyak berkiprah di bidang lingkungan hidup ketika ditugaskan oleh Presiden Soeharto. Dari sanalah Pemerintah sepakat untuk membangun Indonesia berwawasan lingkungan melalui Undang-Undang Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut disusun agar aspek lingkungan dapat lebih diperhatikan dalam pembangunan suatu proyek. Pembangunan bukan hanya suatu jurus untuk mencapai manfaat ekonomi saja, melainkan untuk bangsa, masyarakat, dan negara.

“Permasalahan lingkungan berawal dari pembangunan yang selama ini hanya mengutamakan resource dan eksploitasi. Dampaknya adalah pencemaran dan mengakibatkan perubahan iklim. Dari situ cara membangun perlu kita perbaiki, bahwa tidak hanya mengelola SDA, tetapi juga ikut mengendalikan dampak dari pengelolaan itu kepada lingkungannya,” ujar Emil.

Indonesia masih memiliki kecenderungan untuk menggunakan fosil sebagai sumber energi utama. Penggunaan fosil yang berlebihan tentunya akan fatal terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup umat manusia.

“Ada tekniknya, menangkap karbon supaya tidak lepas di udara. Simpan karbon sehingga listrik terbangun, udara bersih, dan kedua hal dapat tercapai bersama. Mengapa tidak dikejar bersama-sama? Mengapa udara dibiarkan kotor?” Prof. Emil mengutarakan pendapatnya mengenai sektor energi yang cukup merusak lingkungan.

Prof. Emil menyampaikan bahwa pada umumnya, pengusaha memiliki kecenderungan untuk mencari laba maksimal dengan pengeluaran biaya minimal. Adanya biaya tambahan untuk mengendalikan pencemaran tentunya akan mengurangi keuntungan. Dengan demikian, kurang ada rangsangan untuk pengusaha mengimbangi dampak lingkungan, didukung dengan kurangnya desakan dari publik dan pemerintah. Pembangunan juga perlu mempertimbangkan aspek sosial masyarakat. Apabila hanya diutamakan pembangunan ekonomi tanpa mengindahkan pembangunan sosial, akan menjadi pembangunan yang serba materialis dan terjadi ketimpangan.

“Jadi, cara berpikir mementingkan diri itu yang saya kira perlu diperbaiki. Perlu dipahami bahwa pembangunan ini bukan untuk pribadi atau kelompok, tetapi juga untuk masyarakat. Ada semacam tanggung jawab sosial yang saya lihat tidak tumbuh dalam bangsa tanah air kita ini,” kata Prof. Emil.

Pengembangan Edukasi dan Humanisasi Ilmu

The totality of the human capacity, akal pikiran, dan ilmu sains dan teknologi dari manusia Indonesia yang tertinggal. Matematika, teknologi tertinggal, padahal itu basis dari keilmuan. Jika kita mau lepas landas 2045, kita harus dipimpin oleh generasi yang unggul dalam ilmu sains dan teknologi. 2045 adalah dunia persaingan yang tajam—bukan dengan jumlah penduduk yang banyak, tetapi dengan kemampuan bersaing otak,” ungkap Prof. Emil tentang kondisi pendidikan di Indonesia.

Beliau juga mengingatkan untuk tetap berpegang pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk menghindari dehumanisasi ilmu yang mengarah pada memudarnya religiusitas ilmu. Akhir kata, Emil Salim berpesan kepada generasi muda untuk mempersiapkan diri dalam memimpin Indonesia pada tahun 2045. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang kecil. Bangsa ini bisa maju apabila dipimpin dengan baik.

Beliau juga mengingatkan untuk tetap berpegang pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk menghindari dehumanisasi ilmu yang mengarah pada memudarnya religiusitas ilmu. Akhir kata, Emil Salim berpesan kepada generasi muda untuk mempersiapkan diri dalam memimpin Indonesia pada tahun 2045. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang kecil. Bangsa ini bisa maju apabila dipimpin dengan baik.

“Pertimbangkan, hai bangsaku. Kemajuan Indonesia tidak terletak pada investasi modal asing atau yang lainnya, tetapi terletak pada kemampuan tumbuhnya akal, “ otak, dan pikiran anak bangsa ini.”-Prof. Emil Salim, M.A., Ph.D.

AIZNA SYACHKALITA