Di antara sumber energi alternatif, sumber daya air memiliki peran yang prominen di dunia energi Indonesia. Sebagai upaya untuk memaksimalkan potensi yang ada, pemerintah tengah menyusun sejumlah strategi pembangunan di bidang keairan yang mengakomodasi pembangkitan listrik tenaga air dan meningkatkan sinergi dengan jenis pembangkit lainnya.
Dalam Visi Indonesia 2045, Indonesia diharapkan dapat menjadi negara pemimpin ekonomi dunia pada tahun 2045, bersamaan dengan perayaan seratus tahun kemerdekaannya. Salah satu upaya dalam pencapaian target tersebut adalah melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan yang mencakup bidang ketahanan energi dan air.
Kebutuhan terhadap sumber daya air turut meningkat seiring bertambahnya populasi Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan sejumlah strategi yang tepat untuk memanfaatkan dan mengelola daya guna air dengan optimal. Seperti yang telah diketahui, ketersediaan sumber daya air sangatlah penting dalam ketahanan pangan, sanitasi, industri, dan pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, sumber daya air juga memegang salah satu kunci menuju keberlangsungan green energy di Indonesia.
Kondisi Energi Terbarukan Tenaga Air di Indonesia
Pemerintah Indonesia kerap berusaha memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai sumber energi alternatif untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memotong tingkat emisi karbon. Dengan sumber daya air Indonesia yang melimpah, tentunya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memiliki peran yang signifikan dalam usaha tersebut.
“Capaian Kinerja Tahun 2020” yang dipublikasikan oleh Kementerian ESDM menempatkan kapasitas PLTA Indonesia pada posisi pertama—di antara penghasil energi terbarukan lainnya—dengan nilai sebesar 6.121 MW. Meskipun begitu, kapasitas eksisting tersebut masih di bawah target produksi sebesar 20 GW dan masih sangat jauh dari potensi yang diprediksikan mencapai 75 GW.
Jadi, apa penyebab di balik disparitas tersebut?
Menurut Abdul Malik Sadat, Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hambatan terbesar terletak pada fokus penggunaan sumber daya air dan integrasi dengan jaringan listrik yang ada. Sampai sekarang, Indonesia baru bisa memanfaatkan sekitar 21% potensi sumber daya airnya dengan 90% di antaranya hanya digunakan untuk irigasi.
“Water resource kita ini lebih banyak direncanakan masih sifatnya tradisional, untuk kebutuhan pertanian, food estate, dan irigasi. Jadi akhirnya, belum ada lagi perencanaan khusus yang betul-betul untuk water for energy,” kata Abdul Malik.
Di bidang energi, tidak semua sumber daya air bisa dimanfaatkan secara penuh karena dibutuhkan keseimbangan antara produksi listrik dan beban pemanfaatannya. Jika hanya bicara mengenai potensi, Papua tentu meraih peringkat pertama di antara pulau besar lainnya. Akan tetapi, potensi tersebut tidak dapat direalisasikan dengan optimal karena jumlah penggunanya yang relatif sedikit.
Penggabungan sistem PLTA dengan jaringan atau grid kelistrikan merupakan tahapan yang integral. Sebuah grid terdiri dari beberapa pembangkit yang saling terhubung dan bersinergi untuk memasok listrik suatu kawasan. Pemilihan lokasi PLTA perlu mempertimbangkan kemudahan proses penggabungan dan kinerja dengan pembangkit lainnya untuk mencegah produksi berlebih, mengingat kondisi grid antarpulau Indonesia yang masih terbatas.
Selain itu, juga terdapat permasalahan di bagian kelembagaan dan perizinan. Dalam pelaksanaan proyek infrastruktur keairan, terdapat banyak pihak yang ikut serta dalam segala tahap perencanaan, pembangunan, dan operasi. Hal tersebut memang dapat membantu pertanggungjawaban dan visibilitas proyek, tetapi dengan risiko memperlambat alur pelaksanaannya. Banyaknya instansi yang terlibat, baik dalam tahap perencanaan maupun perizinan, juga akan mempersulit penyelarasan visi dan penetapan prioritas pembangunan water for energy di Indonesia.
“Stakeholder-nya sendiri di bidang pengembangan air untuk energi ini masih terpisah-pisah,” jelas Abdul Malik, “jadi to sum up, emang ini ada masalah dari secara teknis sendiri, masalah kelembagaan, dan masalah lingkungan hidup, perizinannya, serta ujung-ujungnya permasalahan finansial.”
Strategi Pembangunan di Bidang Energi Keairan
“Di Indonesia itu, potensi sumber daya air setiap tahun tidak kurang dari 2,78 triliun meter kubik per tahun,” kata Airlangga Mardjono, Direktur Bendungan dan Danau, Ditjen SDA Kementerian PUPR.
“Dari jumlah itu, yang bisa dimanfaatkan sebesar 691 miliar, dan dari jumlah itu, yang sudah ada infrastruktur yang menampungnya, berupa bendungan, itu baru 13,57 miliar,” lanjutnya.
Airlangga memaparkan bahwa penyusunan strategi pembangunan dan pengelolaan sumber daya air harus dilihat dari aspek waktu, ruang, jumlah, dan mutu. Pertimbangan-pertimbangan itu digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan potensi pemanfaatan sumber daya air di Indonesia.
Saat ini, sudah terdapat beberapa rencana pembangunan infrastruktur keairan yang bergerak di bidang energi, seperti pembangunan waduk multiguna, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), pumped storage, dan perpaduan dengan jenis pembangkit lainnya.
Proyek Prioritas Strategis 18 Waduk Multiguna
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya daya guna air adalah pengelolaan dan pembangunan infrastruktur yang tidak efisien. Bendungan merupakan salah satu infrastruktur keairan yang dapat mengakomodasi bermacam-macam kegunaan sekaligus. Namun, sekitar 59% dari semua bendungan di Indonesia masih memiliki fungsi tunggal.
Untuk menangani permasalahan tersebut, pemerintah sudah mulai merencanakan pembangunan 18 waduk multiguna sebagai salah satu Proyek Prioritas Strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sebagai bangunan multiguna, 18 waduk tersebut memiliki fungsi yang beragam, khususnya dalam pengendalian banjir serta penyediaan air baku, irigasi, dan listrik. Beberapa waduk multiguna juga memiliki fungsi nonteknis yang bisa meningkatkan aktivitas ekonomi setempat, seperti sebagai tempat rekreasi, olahraga air, dan tujuan pariwisata.
Proyek 18 Waduk Multiguna tidak hanya difokuskan di Pulau Jawa. Pembangunan 18 waduk tersebut akan dilaksanakan di setiap pulau besar Indonesia, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Riau. Semua bendungan dalam Proyek Prioritas Strategis ini direncanakan sudah memasuki masa pembangunan pada tahun 2024. Bahkan, sudah terdapat beberapa bendungan yang akan mulai dibangun pada tahun ini (2021), seperti Waduk Riam Kiwa di Kalimantan Selatan.
Bersama-sama, 18 waduk multiguna ini diproyeksikan dapat menyediakan listrik sebesar 2.438 MW. Di antara 18 bendungan tersebut, Bendungan Kayan dan Mentarang Induk yang terletak di Kalimantan Utara merupakan waduk multiguna yang memiliki peran terbesar di bidang energi. Keduanya direncanakan dapat menghasilkan listrik sebesar 900 MW dan 1375 MW berturut-turut.
Secara keseluruhan, Kalimantan Utara diprediksikan memiliki potensi PLTA sebesar 11.624 MW, terdiri dari beberapa PLTA yang terletak di sekitar DAS Kayan, Bahau, Mentarang, dan Sembakung. Pembangunan tersebut ditujukan untuk menopang kebutuhan listrik pada grid Kalimantan dan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning, terutama saat proyek pembangunan IKN Baru telah rampung.
Selain pembangunan, juga terdapat alternatif tambahan dalam bentuk pengembangan waduk berfungsi tunggal atau ekaguna menjadi waduk multiguna. Namun, Airlangga menanggapi bahwa proses ini tidaklah mudah. Fungsi dan kegunaan sebuah waduk harus sudah dipertimbangkan dari tahap perencanaan dan perancangan. Dari segi demand, tidak semua daerah membutuhkan fungsi tambahan. Dari segi teknis, penambahan fungsi memerlukan infrastruktur pelengkap dan pembagian daya guna air yang berisiko mengganggu fungsi utama waduk.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung
Penggabungan teknologi PLTS dengan struktur bendungan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Wilayah sekitar bendungan yang kaya akan sinar matahari sudah umum dipasangi PLTS sebagai pemasok energi tambahan. Bendungan Jatibarang yang terletak di Kota Semarang merupakan salah satu contohnya di Indonesia. Pada tahun 2018, badan Bendungan Jatibarang dipasangi 936 panel surya yang dapat menghasilkan 300 kW listrik untuk kegiatan operasi sehari-hari.
Melihat performa tersebut, pemerintah berupaya untuk mengimplementasikan teknologi PLTS dalam skala yang jauh lebih besar. Karena tingkat produksi PLTS berhubungan erat dengan jumlah unit dan luas permukaan, prospek wilayah genangan sebagai lokasi pembangunan sudah mulai menarik banyak perhatian.
Sistem PLTS yang digunakan pada wilayah genangan berupa PLTS terapung atau floating photovoltaic system. PLTS ini tidak menggunakan fondasi yang tetap ataupun kaku, berbeda dengan PLTS biasa. Oleh karena itu, pemasangannya relatif mudah dan bersifat reversibel. Penggunaan PLTS terapung juga membantu mengurangi laju evaporasi air genangan, mengontrol aktivitas alga, dan pada umumnya, dapat menghasilkan kinerja 5-10% lebih tinggi dari PLTS land-based biasa.
Penentuan wilayah genangan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 6 Tahun 2020 menetapkan luas maksimal yang boleh dimanfaatkan untuk PLTS terapung hanya 5% dari luas permukaan pada muka air normal. Letak serta desain PLTS juga tidak boleh mengganggu fungsi utama struktur bangunan dan harus mendukung pengelolaan kualitas air.
Program ini masih dalam tahapan awal. Waduk Cirata yang terletak di Jawa Barat merupakan waduk pertama yang akan mengaplikasikan PLTS pada wilayah genangannya. PLTS tersebut merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dengan luas sebesar 240 hektare dan kapasitas sebesar 145 MW.
Tidak hanya wilayah genangan buatan, permukaan genangan alami seperti Danau Toba dan danau prioritas lainnya juga sedang direncanakan untuk dipasangi PLTS terapung. Dengan potensi yang mencapai 28 GW, pembangunan PLTS terapung akan terus didorong di seluruh penjuru Indonesia. Akan tetapi, pembangunan tersebut akan didahulukan di Pulau Jawa karena infrastruktur pendukungnya yang sudah siap dan kebutuhan listriknya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pulau besar lainnya.
Gudang Energi, Pumped Storage
Istilah pumped storage memang masih jarang terdengar di Indonesia. Fasilitas ini terdiri dari sebuah pembangkit dan dua waduk dengan elevasi yang berbeda. Saat beban listrik tinggi, air yang berada di reservoir atas akan diterjunkan ke reservoir bawah untuk menghasilkan listrik yang dibutuhkan. Sebaliknya, air akan dipompa kembali ke reservoir atas saat beban listrik sudah rendah.
Meskipun sama-sama menghasilkan listrik, pumped storage sangat berbeda dengan PLTA pada umumnya. Sistem ini sebenarnya mengonsumsi energi secara neto karena pemompaan air ke reservoir atas jelas membutuhkan lebih banyak energi daripada yang dihasilkan saat air diterjunkan. Demi mendukung hal tersebut, pumped storage menggunakan surplus energi dari pembangkit base load ataupun intermiten yang biasanya tidak sempat dimanfaatkan.
Singkatnya, pumped storage digunakan sebagai “gudang” untuk menyimpan energi dari pembangkit sekitar untuk dipakai di lain waktu. Sistem ini ditujukan untuk membantu penyeimbangan produksi listrik dengan beban penggunaannya yang fluktuatif seiring bergantinya siang malam.
“Pumped storage itu sistem semacam baterai energi potensial, dia harus dianalisa dan dianggap satu sistem yang kompleks dengan pembangkit-pembangkit lain yang beroperasi,” jelas Abdul Malik, “wilayah yang paling ekonomis saat ini baru di Jawa.”
Pumped Storage Upper Cisokan yang terletak di Jawa Barat merupakan pumped storage pertama di Indonesia yang akan dibangun dalam waktu dekat. Fasilitas tersebut dilengkapi oleh empat turbin dengan kapasitas masing-masing sebesar 260 MW (260×4) untuk meningkatkan keandalan jaringan kelistrikan Jawa-Bali.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), tiga pumped storage lainnya sedang direncanakan untuk dibangun di Pulau Jawa, tepatnya di Upper Cisokan, Matenggeng, dan Grindulu yang mampu menghasilkan listrik gabungan sampai 2940 MW.
Melangkah ke Depan
Untuk beberapa tahun yang akan datang, pembangunan di bidang energi terbarukan akan diutamakan untuk PLTA dan pembangkit lainnya yang dianggap sudah siap dan memiliki standar dari segi ilmu, infrastruktur, dan keuangan.
Indonesia memang masih memiliki berbagai macam sumber energi yang kemampuannya belum digali secara penuh. Di bidang keairan pun, pemanfaatan sumber daya kelautan dan perpaduan pembangkit tepi pantai masih sangat minim karena dianggap kurang mampu berkompetisi dengan pembangkit lainnya dari sisi efisiensi dan biaya.
Perkembangan di bidang energi keairan tidak dapat diperoleh dengan kemajuan di bagian teknis belaka. Dukungan sosial, dana, dan kualitas sumber daya manusia juga diperlukan untuk merealisasikan banyaknya rencana pembangunan yang sedang didorong di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi dan inovasi di dunia teknik diharapkan dapat membuka pintu menuju sumber daya laut dan potensi tersembunyi lainnya yang saat ini belum bisa diaplikasikan secara praktis.
M. HAEKAL AZARIANSYAH