Hampir dua tahun terlewati, mata kerisauan manusia masih tertuju pada nyawa dan pundi akibat pandemi. Dunia kalut seakan lupa tentang ancaman pelahap peradaban lainnya, yakni perubahan iklim. Sabda alam buah kelakuan insan, siapkah kita menanggung derita perubahan iklim yang mengancam? Transisi energi digadang dapat menjadi solusi. Lantas, mampukah negeri ini turut memberi arti pada aksi peralihan energi?
Indonesia 2045: berdaulat, maju, adil, dan makmur. Ungkapan cita Indonesia tepat pada umur emas seratus tahunnya. Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020-2030. Sementara itu, PwC memprediksi Indonesia akan masuk menjadi empat besar negara dengan perekonomian terbaik di dunia.
Peningkatan perekonomian dan jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan energi. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memprediksi bahwa konsumsi energi (2018-2050) akan meningkat rata-rata 3,9% per tahun untuk skenario business as usual.
Peningkatan tersebut bukan tanpa akibat. Menurut Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), sampai tahun 2018, sektor energi menjadi penyumbang GRK
nasional terbesar kedua setelah kebakaran lahan gambut. Bahkan, sektor energi diprediksi menjadi penyumbang GRK terbesar pada tahun 2030.
Langkah mitigasi Indonesia untuk mereduksi kadar emisinya tertuang dalam Nationally Determined Contribution. Transisi energi digadang menjadi salah satu solusi pencapaian target tersebut. Lantas, bagaimana transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) dapat mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan?
Ironi Energi Milik Negeri
EBT terdiri atas energi baru (EB) dan energi terbarukan (ET). Serupa tetapi tak sama, EB dan ET memiliki pemaknaan masing-masing yang penting untuk diketahui.
EB atau alternative energy adalah energi yang dihasilkan dengan teknologi baru, baik yang berasal dari sumber terbarukan maupun tak terbarukan. Contohnya adalah nuklir, hidrogen, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan.
Sementara ET atau renewable energy adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Contohnya adalah panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per April 2021 sumber energi tidak terbarukan (ETT) masih mendominasi persentase bauran energi nasional sebesar 86,45%; menyisakan sumber EBT sebesar 13,55%. Padahal, Indonesia menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Lebih ironisnya lagi, mayoritas pemenuhan kebutuhan migas yang termasuk ETT masih dilakukan secara impor.
Alih-alih impor, Indonesia sebetulnya memiliki potensi EBT yang sangat besar dan beragam. Menurut data Dewan Energi Nasional tahun 2021, potensi ET yang dimiliki Indonesia untuk ketenagalistrikan mencapai 417,8 GW; mulai dari panas bumi hingga gelombang laut. Sayangnya, pemanfaatan ET masih sangat minim, yakni sebesar 10,4 GW atau 2,5% saja. Indonesia juga memiliki beragam potensi bahan bakar nabati yang belum dioptimalkan.
Dalam laporan Fostering Effective Energy Transition tahun 2021, Indonesia menempati peringkat 71 dari 115 negara di dunia dengan ekosistem pengembangan energi terbaik. Indonesia memiliki nilai Energy Transition Index sebesar 56,3 yang didasarkan pada dua indikator, yakni performa sistem dan kesiapan transisi. Fakta-fakta tersebut seakan menggambarkan bahwa potensi EBT belum dimanfaatkan secara optimal dan Indonesia masih harus mengejar ketertinggalannya.
Oleh karena itu, sesuai amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), memiliki tugas perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pengendalian, serta pengawasan di bidang terkait. Ditjen EBTKE juga memainkan peran sebagai penyusun strategi dan kolaborator antar-stakeholder EBT.
Dadan Kusdiana selaku Direktur Jenderal EBTKE 2021 menyampaikan beberapa strategi guna mengakselerasi transisi menuju penggunaan EBT. Secara garis besar, Ditjen EBTKE memberlakukan empat strategi utama, yakni penambahan kapasitas EBT, pemanfaatan EBT secara langsung, substitusi energi primer/final, dan konversi energi primer fosil.
Empat Strategi Utama Transisi
Strategi penambahan kapasitas dilakukan pada berbagai ET yang potensial. Saat ini, Ditjen EBTKE lebih memprioritaskan pemenuhan permintaan baru dan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
“Saat ini harga listrik dari PLTS lebih murah daripada batu bara, apalagi di luar negeri,” kata Dadan. Harga PLTS memang terus mengalami penurunan berkat perkembangan teknologi sehingga PLTS dinilai cocok sebagai program prioritas. Beberapa program pengembangan PLTS adalah Konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Menjadi PLTS, PLTS Atap, PLTS Skala Besar, dan PLTS Terapung.
Walaupun pengembangan PLTS menjadi prioritas Ditjen EBTKE, bukan berarti sumber energi potensial lainnya terabaikan. Ditjen EBTKE tetap menjalankan program di beberapa daerah guna tercapainya peningkatan kapasitas ET, di antaranya seperti pemanfaatan panas bumi ataupun angin.
Pemanfaatan panas bumi sarat risiko dan modal eksplorasi awal yang besar. Melalui Program Eksplorasi Panas Bumi, Ditjen EBTKE berusaha mengatasi tantangan tersebut guna mengakselerasi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Sementara itu, pemerintah bersama investor mulai mengembangkan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan bangkitan yang besar di beberapa daerah potensial, contohnya PLTB Sidrap dan PLTB Tolo 1 Jeneponto.
Substitusi dan konversi digadang sebagai cara yang paling realistis dan nir-konflik guna mereduksi penggunaan ETT. Pasalnya, Dadan menyebutkan bahwa pemerintah tidak mungkin menghentikan kontrak ETT yang sudah berjalan lalu memaksa beralih ke EBT.
Ide dasar substitusi adalah penggantian sebagian/seluruh sumber ETT dengan EBT tanpa perlu mengubah teknologinya. Saat ini, pemerintah berada pada tahap substitusi sebagian (di bawah 50%) sumber dan sedang mengujicobakan terkait kemungkinan substitusi total. Sebagai contoh, Program Mandatori B30 yang menyubtitusi solar dengan biodiesel. Substitusi batu bara dilakukan menggunakan pelet kayu, biomassa, ataupun olahan sampah dengan teknologi cofiring dan refuse-derived fuel (RDF).
Adapun, konversi energi fosil berarti penggantian sumber energi migas bersamaan dengan penggantian teknologinya. Konversi atau Program Dedieselisasi oleh PLN dilakukan melalui pengurangan jumlah PLTD secara bertahap.
Program ini diutamakan untuk daerah terisolasi listrik dengan ketentuan tertentu. Konversi yang dilakukan berupa transformasi PLTD menjadi PLTS yang dikombinasikan dengan baterai ataupun pembangkit alternatif lain seperti biogas dan biomassa. Program ini akan dijalankan pada 5.200 generator diesel yang tersebar di 2.130 lokasi.
Selain ketiga strategi yang sudah disebutkan, Ditjen EBTKE juga melakukan strategi pemanfaatan energi secara langsung sebagai penyediaan energi sektoral. Beberapa contoh pemanfaatan langsung adalah penyediaan air panas dari sumber mata air panas alami, pengeringan produk pertanian/perkebunan dengan cangkang sawit, dan gas kompor dari biogas. Program pemanfaatan langsung ini sudah dikerjakan di beberapa desa di Indonesia.
Energi Baru, Apa Indonesia Mau?
Beberapa ET memiliki kelemahan utama, yakni bersifat intermiten (tidak selalu ada). Oleh karena itu, beberapa negara maju menggunakan EB sebagai pasokan energi tetap (base load). Strategi ini dilakukan sebagai jaring aman sembari bertransisi menuju ET. Lantas, bagaimana kabar EB di Indonesia?
Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan EB. Kebanyakan EB di Indonesia masih dalam tahap pengembangan atau menunggu kepastian keputusan pemanfaatan skala besar. Misalnya, Dadan menyebutkan bahwa nuklir yang dianggap baru di Indonesia sejatinya sudah banyak dipakai di negara maju.
Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) memiliki bangkitan energi yang lebih besar dan bersih daripada PLTU sehingga cocok untuk digunakan sebagai base load. Akan tetapi, penggunaannya masih menuai pertentangan. Padahal menurut Djarot Sulistio, Peneliti Senior Batan, Indonesia diperkirakan memiliki potensi 77.000 ton uranium (sumber tenaga PLTN) yang tersebar di Kalimantan Barat, Mamuju, dan Bangka Belitung.
Selain nuklir, hidrogen juga layak dipertimbangkan sebagai sumber energi masa depan. Pasalnya, bahan bakar hidrogen dapat dibuat dan didaur ulang dengan beberapa metode. Sebagai contoh, hidrogen kategori hijau (paling baik) dapat dihasilkan melalui elektrolisis air.
Saat ini, beberapa negara maju sudah mulai menggunakan hidrogen untuk transportasi darat, terutama di Jepang. Selain itu, pesawat berbasis hidrogen juga sedang dalam tahap ujicoba. Sementara di Indonesia, BPPT sudah berhasil membuat motor berbasis hidrogen. Untuk mewujudkan penggunaan hidrogen secara massal, Indonesia masih harus mengejar pengembangannya karena memerlukan inovasi dan biaya yang tidak sedikit.
Teknologi masa kini juga memungkinkan adanya produk batu bara yang lebih bersih (clean coal) dan beragam. Salah satunya adalah gasifikasi batu bara untuk menggantikan sumber gas LPG yang kebanyakan masih impor. Dengan potensinya yang besar, bukan tidak mungkin Indonesia menyulap batu bara menjadi penghasil energi dengan risiko yang lebih kecil.
Regulasi EBT, Sudahkah Mendukung Percepatan?
Sejauh ini, regulasi aneka EBT yang sudah ada masih bersifat terpencar tanpa naungan regulasi yang utuh. Selama ini, penerapan EBT hanya didasarkan pada UU No. 30/2007 tentang Energi yang masih bersifat umum.
Sementara itu, pemerintah bersama Dewan Energi Nasional serta DPR berusaha memperjelas rencana pembangunan energi nasional melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam Perpres No 22/2017. Untuk merealisasikannya di lingkup daerah, RUEN kemudian dijabarkan menjadi RUED sesuai kemampuan dan potensi masing-masing daerah.
Selain kedua peraturan tersebut, saat ini pemerintah sedang menyiapkan dua aturan baru yang nantinya sangat memengaruhi performa transisi EBT. Kedua aturan tersebut adalah RUU EBT dan Rancangan Perpres (RPerpres) EBT. DPR menilai salah satu urgensi RUU EBT adalah kebutuhan payung hukum yang kuat untuk mengakselerasi pengembangan EBT. Sementara itu, RPerpres akan mengatur harga EBT secara lebih spesifik.
RPerpres tersebut diusulkan oleh Kementerian ESDM. “Kalau aturannya dari Menteri ESDM ingin begini, tapi kan ada menteri yang lain yang mungkin tidak setuju. Nah, ini kan jadi susah ya, kan sama sama dia setara, kalau setara kan nggak bisa diperintah. Akhirnya kita buat Permen ESDM jadi Perpres. Jadi semuanya akan mengikuti dari aturan tersebut sehingga akan berjalan dengan baik di lapangan,” kata Dadan.
Kendati demikian, pembuatan regulasi tidak lepas dari potensi masalah. Pasalnya, di Indonesia, itikad baik pembuatan regulasi tak selalu sebaik realisasinya. Sebagai contoh, penggabungan EB dan ET dalam satu regulasi RUU EBT dikhawatirkan dapat menimbulkan penyelewengan dan ketidakadilan.
Selain itu apabila ditinjau dalam Draf RUU EBT (5 Januari 2021), pengembangan EBT mengandung risiko kerugian finansial akibat adanya kebutuhan modal awal yang besar dan kewajiban membeli listrik EBT. Bagi PLN, kewajiban membeli listrik bersamaan dengan kontrak PLTU eksisting akan menimbulkan oversupply. Semua kerugian tersebut berpotensi dibebankan kepada pemerintah (subsidi) ataupun konsumen (kenaikan harga listrik/pajak).
Oleh karena itu, masyarakat wajib turut andil dalam pengawalan regulasi EBT. Selain itu, pemerintah dan DPR memiliki peranan penting untuk menangkap kekhawatiran dan keinginan masyarakat lalu menuangkannya dalam kebijakan berkeadilan. Pada akhirnya, kepastian politik dan regulasi; stabilitas nasional; serta persaingan sehat menjadi kunci keberhasilan transisi EBT.
Inovasi dan Kolaborasi Adalah Kunci
Menurut Deendarlianto, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, pemerintah harus menghilangkan sekat-sekat pembatas ruang gerak pengembangan EBT dan juga ego sektoral. Kesiapan sektor penunjang pun turut menjadi kunci utama keberhasilan transisi. Beberapa sektor tersebut di antaranya adalah perguruan tinggi (peneliti), manufaktur, dan infrastruktur.
Kualitas infrastruktur utama atau penunjang yang mumpuni turut menjamin keandalan produksi dan distribusi energi. Sementara itu, pengembangan sektor energi memerlukan material untuk menciptakan generator energi. Oleh karena itu, kesiapan sektor manufaktur merupakan hal yang diperlukan apabila Indonesia ingin membangun sektor EBT secara masif. Selain itu, bahan baku dan SDM lokal juga perlu diberdayakan. Kombinasi tersebut dapat memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.
Perkembangan zaman akan membuka inovasi sumber energi yang makin bonafide. Ironinya saat ini masih banyak potensi EBT di Indonesia yang belum optimal. Oleh karena itu, perguruan tinggi dan badan penelitian memiliki peranan penting sebagai katalisator inovasi lintas disiplin ilmu. Sebagai contoh pemanfaatan biofuel dari mikroalga (rumput laut) sebagai alternatif B30 yang saat ini sudah berhasil dikembangkan dalam skala penelitian oleh UGM. Pasalnya, mikroalga dapat menghasilkan bahan bakar yang lebih sederhana, banyak, dan bersih.
Infrastruktur EBT di Indonesia sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Sayangnya, tidak semuanya produktif dan terawat. Sebagai contoh, PLTB di Puncak Mundi yang hanya berumur 2 tahun akibat tidak adanya perawatan.
Dadan tidak mencari pembenaran ketika ditanya terkait adanya miskalkulasi dan terbengkalainya infrastruktur EBT. Kenyataan tersebut merupakan pil pahit yang harus menjadi pelajaran bersama. Kendati demikian, Dadan menyebut kegagalan tersebut tidaklah sia-sia, mengingat adanya pembaharuan yang dapat tercipta setelahnya.
Terkait permasalahan kurangnya suku cadang ataupun tidak terkelolanya pembangkit EBT, Dadan menyebutkan bahwa saat ini kesalahan tersebut bisa tidak terulang. Pasalnya, pengoperasian infrastruktur EBT saat ini dikontrakkan kepada perusahaan komersial, bukan hanya pemerintah seperti saat itu.
Deendarlianto juga menyebutkan hal yang sama. Kegagalan infrastruktur pada masa lampau disebabkan oleh adanya paradigma pembangunan yang hanya membangun fisik tanpa pelibatan masyarakat lokal. Untuk saat ini, UGM turut serta mengembangkan komunitas di sekitar infrastruktur (terutama 3T) agar memiliki kapabilitas daya kepemilikan atas infrastruktur tersebut untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat.
EBT: Solusi Ketahanan Energi
Pasokan migas Indonesia kian menipis. Kementerian ESDM memprediksi bahwa Indonesia hanya memiliki ketersediaan cadangan minyak hingga 2030 dan gas bumi hingga 2040. Padahal, sebagian kebutuhan energi Indonesia saat ini masih bertumpu pada migas yang notabene diimpor.
Terkait hal tersebut, Dadan menyebutkan bahwa transisi EBT merupakan langkah perwujudan ketahanan energi. Pasalnya, penggunaan EBT dengan sumber daya lokal dapat menghilangkan ketergantungan impor. Walaupun impor murah, hal ini tidak baik untuk jangka panjang. Jika terjadi gangguan rantai pasok global, Indonesia akan mengalami krisis energi.
Coba kalau elpiji nggak ada, maka susah. Nah, itu bagian dari ketahanan energi dan kemandirian energi. Kita ganti yang impor itu supaya bisa diproduksi dalam negeri. Kebetulan kita ini punya semuanya, punya bahan bakunya,” ungkap Dadan. “Kalau kita yang punya, ya kita yang atur,” pungkasnya.
Transisi EBT jelas dapat menggerakkan roda ekonomi nasional dengan membuka lapangan pekerjaan baru, baik untuk masa kini maupun mendatang. Selain itu, tren pasar global akan mengarah pada penggunaan EBT sebagai standar produksi industri. Produk Indonesia akan kedaluwarsa di pasar global apabila Indonesia terlambat melakukan transisi EBT. Hal ini penting diperhatikan jika Indonesia ingin menjadi negara maju di masa depan.
Penyematan titel negara maju kepada Indonesia bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Namun, ada baiknya titel tersebut benar-benar tercermin pada setiap tindakan dan kebijakan Indonesia. Apa Indonesia tidak malu disebut negara maju tetapi menjadi penghasil polutan nomor satu? Detik bergulir, krisis iklim belum bisa dianulir. Masihkah alam memberi waktu atau akan jadi kelu sesal masa lalu?
TAUFAN ROSYADI YUSUF