Terpaut dengan keterbatasan dana dan teknologi, adanya kajian terkait minimalisasi skala dan eskalasi fungsi PLTAL mendorong akses sumber energi terbarukan bagi masyarakat dengan biaya yang lebih terjangkau dan manfaat yang lebih luas. Hal ini mendukung pencapaian target pemerintah terkait bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada tahun 2030.
Keterbatasan sumber energi saat ini yang didominasi oleh energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara, telah memicu berbagai diskusi dan penelitian dalam pengembangan sumber energi baru dan terbarukan. Tenaga pasang surut arus laut memiliki kelebihannya tersendiri, yakni memiliki pola periodik yang dapat diprediksi dan memproduksi listrik secara stabil, bersih, terbarukan, dan melimpah.
Energi arus laut dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL). PLTAL pada dasarnya menggunakan turbin sebagai alat untuk mengubah energi kinetik menjadi energi listrik yang disalurkan menuju electrical generator. Energi arus laut mampu menyelesaikan permasalahan keterbatasan sumber energi yang sejalan dengan meningkatnya kebutuhan energi di kehidupan manusia.
Potensi Energi Arus Laut di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah perairan terbesar di dunia dengan luas perairan yang mencapai hampir 60% dari total luas wilayahnya. Menurut Perekayasa Ahli Utama Pusat Teknologi Rekayasa Industri Maritim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Ir. Erwandi, M.Eng., penerapan PLTAL di Indonesia memiliki potensi yang besar. Hal ini karena Indonesia memiliki sekitar 17.000 pulau sehingga terdapat banyak selat sempit yang berpotensi menghasilkan arus laut. Selat di antara dua pulau menjadi tempat terjadinya arus laut besar yang mampu menggerakkan turbin untuk membangkitkan tenaga listrik.
Selat menyimpan arus laut yang relatif tak pernah berhenti. Erwandi dan tim peneliti berhasil memanen arus listrik dari arus laut yang mengalir di Selat Flores, dekat Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Kecepatan arus pasang surut memberikan peluang yang lebih optimal dalam pemanfaatan konversi energi kinetik menjadi listrik. Wilayah perairan yang menyempit meningkatkan kecepatan arus sehingga jumlah energi listrik yang dihasilkan turut membesar.
Terdapat kajian pemetaan terkait potensi arus laut di Indonesia dengan metode acoustic doppler current profiler (ADCP), yakni dengan laut Indonesia yang luas, wilayah yang paling potensial dipetakan secara mendetail. Erwandi memaparkan salah satu contoh pemodelan dan pemetaan potensi arus laut, yakni di Selat Alas yang memisahkan Pulau Lombok dengan Pulau Sumbawa.
Pijakan pengembangan energi laut sebenarnya telah tersedia dalam UU No. 30/2007 tentang Energi dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Hingga tahun 2014, prototipe dalam skala besar (>80 kW) telah dikembangkan menjadi skala pilot dan skala komersial. Meskipun telah diatur dalam regulasi dan memiliki potensi yang tinggi, kegiatan pemanfaatan energi laut untuk pembangkitan listrik masih dalam tahap penelitian. Hal ini disebabkan oleh tingkat risiko yang besar dalam pengimplementasian teknologi dan keterbatasan finansial yang dianggarkan baik oleh pemerintah maupun investor dari pihak swasta.
Berbicara tentang tingkat risiko yang besar, Erwandi menjelaskan bahwa saat memasang turbin di sebuah selat pada tahun 2011—berlokasi sekitar 100 meter dari dermaga penyeberangan Dusun Tanah Merah, NTT—cukup fenomenal karena arus lautnya lebih kencang dibandingkan dengan lokasi di sekitarnya. Hanya sesaat setelah diceburkan, instalasi PLTAL terseret arus sepanjang lima meter. Padahal, bobot instalasi sudah cukup berat dengan dibebani empat buah jangkar.
Adanya tingkat risiko yang besar menyebabkan kebutuhan dana untuk mengimplementasikan teknologi tersebut meningkat. Sebagai negara berkembang, tentunya banyak hal lain yang menjadi fokus utama negara, misalnya kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Melirik pengembangan energi terbarukan ini, pemerintah tentunya akan mempertimbangkan banyak aspek untuk menginvestasikan dana negara. Selain itu, Erwandi mengisahkan bahwa tidaklah mudah untuk menarik investor dari perusahaan swasta ke wilayah Indonesia bagian Timur dengan alasan aksesibilitas wilayah yang masih harus dikembangkan secara menyeluruh.
Kajian PLTAL di Indonesia
Di sisi lain, uji coba PLTAL di Larantuka menunjukkan bahwa penggunaan energi arus laut memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan sumber terbarukan lainnya. Beberapa keuntungannya adalah periode dan prediksi pasti dari pola pasang surut dalam jangka panjang. Namun, salah satu aspek oseanografi yang penting untuk mengetahui hidrodinamika dari suatu perairan adalah pola pergerakan arus. Ketika ditanyakan terkait pengaruh perubahan iklim terhadap arus laut, Erwandi menjawab bahwa dalam kurun waktu 20 tahun, perubahan iklim tidak berpengaruh terhadap pergerakan arus laut. Pola pergerakan arus ini sederhananya diilustrasikan dengan posisi bulan, bumi, dan matahari. Saat bulan berada paling dekat dengan bumi, terjadi pasang sehingga arus laut menjadi lebih kencang.
Secara umum, sistem kerja pembangkit listrik tenaga arus laut sangat sederhana. Turbin arus laut sumbu vertikal merupakan jenis turbin arus laut yang paling umum ditemukan. Turbin ini dipasang tegak lurus dari arah arus laut dan terdiri dari 2-3 baling-baling yang terpasang di sepanjang poros vertikal sehingga membentuk rotor. Gerakan kinetik arus air menyebabkan gerakan yang naik pada baling-baling sehingga menggerakkan generator pembangkit listrik. Erwandi menambahkan bahwa terdapat modifikasi turbin arus laut vertikal dengan bentuk yang menyempit ke arah bawah. Turbin yang dimodifikasi ini menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi karena bergerak secara vertikal dan horizontal sehingga mampu memanfaatkan arus laut dan gelombang.
Bercermin pada Keberhasilan Sihwa Tidal Power Plant, Korea Selatan
Pada awalnya, tepatnya pada tahun 1994, Sihwa merupakan sebuah waduk yang dibatasi oleh tembok laut untuk kebutuhan penyediaan air baku, irigasi, sekaligus infrastruktur mitigasi banjir di Kota Ansam, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan. Namun, dalam pengoperasiannya, kualitas air memburuk setelah tertutup oleh tembok laut dan arus pasang surut alami terputus. Dari permasalahan tersebut, K-water, perusahaan yang berfokus pada pengembangan sumber daya air yang komprehensif serta penyediaan air publik dan industri di Korea Selatan, melakukan studi kelayakan selama dua tahun terkait pengalihan fungsi tembok laut menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sihwa (Sihwa Tidal Power Plant).
Berdasarkan diskusi bersama pihak K-water, yakni Park Sewon selaku Direktur K-Water di Jakarta dan Soo Han Kim selaku Manajer Senior Departemen Global Business K-water, Korea Selatan, pembangkit listrik tersebut akan membuka sirkulasi air antara danau dan laut sekitar 200 persen dan memberi dampak baik bagi peningkatan kualitas air di Waduk Sihwa yang sebelumnya tercemar. Park Sewon juga menambahkan bahwa ketika dilakukan analisis kelayakan, proyek tersebut dianggap layak, baik secara ekonomi maupun lingkungan. Untuk memberikan gambaran terkait analisis kelayakan ekonomi, Park Sewon mencontohkan sebuah skenario. Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sihwa layak secara ekonomi karena pembangunannya tidak dimulai dari nol. Proyek ini diawali dengan mengubah sistem Tembok Laut Sihwa (proyek yang gagal) menjadi pembangkit listrik sehingga terdapat dana investasi awal yang dipangkas dan menguntungkan secara operasional.
Keberhasilan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Sihwa oleh K-water mendorong perencanaan pembangkit listrik serupa lainnya di Teluk Incheon dan Teluk Garolim. Namun, terdapat beberapa penundaan dalam persetujuan proyek-proyek ini karena kekhawatiran yang diajukan oleh beberapa perusahaan dan organisasi lingkungan tentang potensi dampak lingkungan. Ketika ditelisik lebih lanjut, hal yang lebih dipertimbangkan adalah biaya investasi yang besar karena pengerjaan proyek harus dimulai dari nol. Bagaimana dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan terhadap ekosistem alam laut dengan dibangunnya proyek pembangkit listrik ini?
Pembangkit Listrik Sihwa membawa dampak baik bagi pengurangan emisi karbon. Energi listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Sihwa tidak menambah emisi karbon di udara, tetapi mengurangi produksi jumlah emisi karbon baru. Lebih jelasnya, 552,7 GWh listrik yang dihasilkan oleh Sihwa Tidal Power Plant setara dengan pengurangan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh manufaktur 100.000 mobil setiap tahun. Pembangunan pembangkit listrik di Sihwa juga sangat memperhatikan ekosistem laut. Park Sewon menyebutkan bahwa teknologi turbin yang digunakan bersifat ramah terhadap ekosistem ikan karena kecepatan maksimal kipas turbin diatur sedemikian rupa agar dapat dilewati ikan. Selain itu, proyek tersebut melewati analisis dampak terhadap lingkungan, cara mitigasi, serta pemantauan proyek secara bertahap dan berkelanjutan.
Dampak yang paling luar biasa dari dibangunnya Sihwa Tidal Power Plant adalah pemulihan kualitas air dan ekosistem. Berdasarkan International Hydropower Association (2016), sekitar 160 juta ton air yang mengalir masuk dan keluar dari pintu air dan turbin merupakan sekitar setengah dari total kuantitas air di Waduk Sihwa. Dapat dikatakan, sirkulasi air yang terus-menerus antara danau dan laut luar selama proses pembangkit listrik telah meningkatkan kualitas air. Sistem sirkulasi yang kontinu ini terbukti dapat meningkatan kualitas air laut dengan penurunan carbon oxygen demand (COD) dari 17,4 ppm menjadi 2,0 ppm karena lima puluh persen air laut dapat bersirkulasi per hari.
Berdasarkan kajian dari beberapa studi literatur, tahapan pembangunan proyek Sihwa Tidal Power Plant berlangsung cukup lama, yakni sejak dimulainya tahap konstruksi pada tahun 2004 hingga secara resmi beroperasi pada tahun 2011. Lebih detailnya, tahapan konstruksi terdiri dari pembangunan bypass road dan cofferdam (2005), pelaksanaan galian dan timbunan (2006), struktur utama (2007-2010), pemasangan alat-alat pembangkit listrik (2010), pembongkaran cofferdam dan penggalian tanggul (2011), dan mulai beroperasi (2011). Berdasarkan pemaparan Park Sewon, selama proses konstruksi, proses yang memiliki tingkat kompleksitas pekerjaan yang paling tinggi adalah cofferdam—bangunan penghalang atau pagar sementara seperti dinding yang kedap air—karena dibutuhkan luasan cofferdam yang besar.
Minimalisasi Skala dan Ekspansi Fungsi PLTAL
Dengan mempertimbangkan Indonesia sebagai negara kepulauan dan pemerataan pembangunan pasokan energi di seluruh wilayah, Soo Han Kim merekomendasikan penerapan pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL). Selain itu, menimbang keterbatasan dana dalam membangun proyek PLTAL, terdapat potensi pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga arus laut dengan skala yang lebih kecil.
Soo Han Kim menyinggung adanya energy saving system (ESS) di Ulleungdo, Korea Selatan. Namun, di Ulleungdo masih perlu dikonfirmasi dan dikaji karena arus lautnya terlalu kencang dan teknologi masih sederhana sehingga untuk instalasi alat sangat sulit, misalnya menyambung kabel listrik untuk memasok listrik ke pulau. Di sisi lain, Soo Han Kim meyakini bahwa pengimplementasian PLTAL mini ini mampu menjadikan wilayah-wilayah terluar yang jauh dari jaringan listrik utama lebih berdikari.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah inkorporasi fungsi pembangkit listrik tenaga gelombang dan/atau arus laut. Park Sewon menyatakan bahwa Pembangkit Listrik Sihwa memiliki fungsi sebagai tempat wisata selain sebagai pembangkit listrik. Di Indonesia, terdapat kajian mengenai PLTAL serbaguna melalui pemenuhan dari sifat serbaguna atau beberapa tujuan PLTAL. Ditambah lagi, Erwandi mengatakan bahwa pernah terdapat kajian mengenai penggabungan fungsi jembatan sebagai tempat instalasi PLTAL, tepatnya di Jembatan Suramadu—penghubung Surabaya dan Madura. Namun, karena kendala birokrasi dan dana, penelitian tersebut berakhir pada sebuah pustaka.
Terpaut dengan keterbatasan tersebut, dengan adanya kajian terkait minimalisasi skala dan eskalasi fungsi PLTAL, harapannya semakin banyak pihak yang dapat mengakses sumber energi terbarukan dengan biaya yang lebih terjangkau dan manfaat yang lebih luas. Hal ini mendukung pencapaian target pemerintah terkait bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada tahun 2030.
RIA VERENSIA