17 SLP Mangrove sang Perisai Negeri Maritim

Sudah bukan merupakan rahasia lagi jika setiap tahunnya pantai di Indonesia mengalami abrasi—pengikisan di daerah pantai akibat gelombang dan arus laut yang bersifat destruktif. Padahal, pantai merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik.

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang resmi dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) pada tahun 2021, diketahui bahwa total hutan mangrove Indonesia seluas 3.364.076 hektare. Sayangnya, sekitar 19,62% atau 637 ribu hektare dari luas tersebut berada dalam kondisi rusak.

Dalam program Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), ditargetkan 600.000 hektare hutan mangrove dan 1,2 juta hektare lahan gambut akan direhabilitasi dan direstorasi. Pada tahun 2021, BRGM telah berhasil merehabilitasi hutan mangrove seluas 34.911 hektare—capaian ini melebihi dari target sebesar 33.000 hektare. Pada tahun yang sama, lahan gambut seluas 300.000 hektare juga berhasil direstorasi.

Di Yogyakarta, persebaran hutan mangrove dimulai dari Samas hingga Pendut, Kulon Progo. Hutan mangrove di Yogyakarta tidak terbentuk secara alami di pantai, tetapi merupakan buatan atau biasa disebut mangrove darat. Mayoritas jenis mangrove yang berada di Yogyakarta adalah jenis Sonneratia caseolaris. Mangrove ini merupakan mangrove endemik di kawasan Baros. Selain itu, ada Rhizopora yang banyak ditanam di kawasan Pantai Selatan.

Peran Masyarakat dalam Eksistensi Mangrove

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DI Yogyakarta (DLHK DIY) bekerja sama dengan berbagai pihak dalam merawat dan mengembangkan hutan mangrove. Beberapa komunitas tersebut adalah Forum Pemuda Baros dan Pemuda-Pemudi Rejosari di Pengklik.

Menurut Kepala DLHK DIY Dr. Ir. Kuncoro Cahyo Aji, M.Si., selain perlunya kerja sama antara DLHK DIY dan komunitas tersebut, keterlibatan desa, khususnya dari segi regulasi seperti Rencana Kegiatan Pembangunan Desa yang memuat ranah lingkungan dan kehutanan, harus ada. Oleh karena itu, partisipasi pengembangan mangrove di tingkat desa dalam bentuk anggaran bisa tersedia.

Untuk menciptakan hutan mangrove yang dapat berkembang menjadi kawasan ekosistem esensial, perlu dilakukan penanaman dan monitoring mangrove secara rutin. Penanaman rutin ini biasanya diselenggarakan oleh lembaga negara seperti DLHK DIY atau komunitas mangrove. Terkadang, ada pula kerja sama penanaman oleh pihak swasta dengan lembaga negara ataupun komunitas terkait.

Setelah dilakukan penanaman, langkah berikutnya adalah pemeliharaan dan monitoring. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup mangrove yang ditanam, terutama bibit mangrove yang masih rentan. Dalam pelaksanaannya, DLHK DIY melibatkan kelompok tani hutan (KTH) yang ada di sana. Di samping itu, juga dilakukan pendampingan oleh penyuluh dari DLHK DIY.

Ke depannya, masyarakat yang tergabung dalam KTH diharapkan dapat menjadi pengelola kawasan mangrove. KTH tersebut akan secara resmi terdaftar dan memiliki sertifikat atau izin. Sertifikat tersebut akan menjadi payung hukum bagi KTH untuk melakukan kegiatan secara sah dan terjamin sehingga mereka berhak mendapatkan pendampingan ataupun bantuan baik dari DLHK maupun dinas lainnya.

Lika-Liku Mempertahankan Mangrove

Sayangnya, terdapat berbagai kendala dalam menjalankan rencana rehabilitasi tersebut. Pertama, dari segi teknis, kondisi tanah di pantai Yogyakarta mayoritas berupa pasir lepas dengan air laut yang cukup tinggi. Hal ini mengganggu substrat pada solum atau kedalaman efektif tanah yang masih dapat dijangkau oleh akar tanaman. Selain itu, arus pasang surut laut seringkali menghantam mangrove yang sudah ditanam.

Kedua, dari segi regulasi, terutama regulasi terkait pemanfaatan lahan. Tidak adanya batas yang jelas antara lahan perkebunan, pertanian, dan sejenisnya. Padahal, mangrove dapat terganggu dengan keberadaan dan perubahan lahan sekitar.

Oleh karena itu, DLHK DIY mengharapkan adanya sinergi antar-regulasi dengan menerapkan konsep triple helix, atau bahkan penta-helix. Konsep ini merupakan bentuk koordinasi dan kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak, yaitu pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media.

Sementara untuk kendala sampah yang turut menghambat pertumbuhan mangrove, DLHK DIY menargetkan kerja sama dengan tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle (TPS3R) serta bank sampah terdekat. Nantinya, sampah tersebut akan dipilih sehingga memudahkan proses pemanfaatan ulang. Saat ini, DLHK DIY telah bekerja sama dengan beberapa mahasiswa teknik mesin UGM dalam pengolahan sampah plastik dan tutup botol.

Harapan untuk Perisai Pantai

Secara umum, hutan mangrove mampu menyerap karbon 4–5 kali lipat lebih banyak jika dibandingkan dengan hutan daratan. Oleh karena itu, ekosistem mangrove berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Selain itu, hutan mangrove mampu menjaga daratan dari gelombang air laut yang dapat menyebabkan pengikisan di garis pantai.

Ketika kawasan mangrove di Yogyakarta telah menjadi kawasan ekosistem esensial, kawasan tersebut perlu dijaga. Secara otomatis pula, kawasan tersebut akan berkembang ke sektor lainnya, seperti wisata dan ekonomi. Rencananya, DLHK DIY akan mengembangkan kawasan mangrove berbasis edu-ekowisata. Secara garis besar, konsep ini mengajak pengunjung untuk berwisata, sekaligus mempelajari mangrove. Harapannya, pengunjung dapat turut berpartisipasi dan peduli terhadap keberlangsungan vegetasi ini.

Untuk menambah daya tarik wisata, DLHK DIY juga berencana untuk menebar kepiting mangrove yang dimulai dari Bantul hingga ke Pasir Mendit di Kulon Progo. Harapannya, kepiting tersebut dapat dibudidayakan oleh masyarakat sekitar. Nantinya, DLHK DIY akan bekerja sama dengan sektor pariwisata terkait pengadaan restoran di kawasan wisata tersebut sehingga kepiting yang dibudidayakan dapat dimanfaatkan oleh restoran setempat.

Rencana ini diharapkan dapat memberi nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Jika masyarakat sudah merasakannya, secara otomatis tingkat kesadaran dan kepedulian mereka terhadap mangrove akan meningkat.

Namun, perlu diingat bahwa penataan kawasan mangrove tidak bisa digeneralisasikan. Hal ini karena terdapat pemanfaatan lahan lainnya, seperti lahan pertanian atau situs bersejarah. Oleh karena itu, pemanfaatan ekosistem ini tidak hanya dikembangkan dari segi ekosistem saja, tetapi juga diserasikan dengan tata ruang yang ada dan harus bermanfaat bagi masyarakat.

Menjaga dan merawat mangrove memang memiliki tantangan tersendiri; berbagai faktor turut memengaruhi eksistensi dan keberlanjutan hutan mangrove. Oleh sebab itu, dibutuhkan partisipasi dan kerja sama dari berbagai pihak. Semoga, dengan tekad yang diiringi aksi nyata, hutan mangrove dapat berkembang dan memberikan lebih banyak manfaat yang dapat dirasakan masyarakat luas.

DWITHA NURFARIDA