“Harapannya, kita punya pengelolaan sendiri di Yogya, paling tidak satu tempat, sama agar kita membenahi milik sendiri. Untuk pihak fasyankes lebih nyaman, lebih mudah untuk mengakses tempat pengolahan limbah medis yang lebih dekat. Kalau terjadi kondisi-kondisi darurat, lebih cepat penanganannya.” – Dr. Ir. Sarto, M.Sc., salah satu inisiator komunitas limbah medis dan B3 di DIY.
Sudah lebih dari dua tahun semenjak wabah Covid-19 pertama kali muncul di Indonesia. Bagaikan butterfly effect, virus yang berasal dari negara bambu ini memberikan pengaruh yang signifikan pada banyak aspek kehidupan. Namun, aspek yang perlu kita garis bawahi dalam kasus ini adalah aspek kesehatan.
Melonjaknya kasus Covid-19 membuat masyarakat mau tidak mau harus selalu menggunakan masker. Wabah tersebut juga membuat melonjaknya jumlah pasien sekaligus maraknya pembangunan rumah sakit darurat. Hal ini mengakibatkan produksi limbah medis meningkat, bahkan melampaui kapasitas tampung.
Limbah sebagai Awal Masalah
Berdasarkan senyawanya, limbah dibagi menjadi tiga, yaitu limbah organik, anorganik, dan bahan beracun dan berbahaya (B3). Dalam kasus ini, permasalahan terletak pada limbah medis yang tergolong dalam kategori limbah B3. Kepmenkes RI No. 1204 Tahun 2004 menyebutkan bahwa terdapat berbagai jenis limbah medis, antara lain limbah infeksius, benda tajam, patologi, kimiawi, farmasi, dan radioaktif.
Pada dasarnya, limbah medis memang tidak diperkenankan dibuang secara langsung—jika dibuang layaknya limbah domestik, dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini karena limbah medis mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia sehingga harus diolah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lonjakan kasus Covid-19 menyebabkan adanya penumpukan limbah medis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan hingga akhir Juli 2021 saat puncak varian delta, limbah medis B3 menembus angka 18.460 ton. Bahkan, proyeksi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) memperkirakan jumlah limbah medis mencapai 493 ton per harinya. Nah, yang menjadi pertanyaan—bagaimana cara mengolah limbah medis yang menumpuk ini?
Tentang Pengolahan Limbah Medis
Pengolahan limbah medis dapat menggunakan berbagai macam alat yang penggunaannya berbeda-beda. Alat yang dapat digunakan untuk mengolah limbah medis antara lain adalah torrefaction, hydrothermal carbonization, gasification, plasma gasification, dan incinerator. Di Indonesia sendiri, alat yang kerap kali digunakan adalah insinerator.
Hal ini karena jika dibandingkan dengan alat yang lain, insinerator memiliki proses yang lebih sederhana dan terstandar, serta dapat mengolah jenis limbah medis yang beragam. Namun mirisnya, hanya 120 dari 2.880 rumah sakit yang memiliki fasilitas pengolah limbah berizin atau insinerator sehingga dinilai kurang mumpuni untuk mengatasi penumpukan limbah medis.
Pengadaan insinerator di rumah sakit harus memenuhi syarat dan standar yang telah ditetapkan. Standar ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Dr. Ir. Sarto, M.Sc., salah satu inisiator komunitas limbah medis dan B3 sekaligus dosen di Departemen Teknik Kimia UGM, menyatakan dari peraturan tersebut, terdapat persyaratan seperti jumlah ruang bakar, suhu, dan urutan ruang pembakaran. Suhu pembakaran pada ruang pertama mencapai 800–900 oC, sedangkan pembakaran pada ruang kedua mencapai 1.000–1.200 oC. Menurut Sarto, suhu inilah yang sering membuat rumah sakit tidak memenuhi syarat.
Bagaimana Alur Pengolahan Limbah Medis
Sebelum Covid-19 hadir, limbah medis hanya berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), seperti rumah sakit dan puskesmas. Akan tetapi, hadirnya Covid-19 membuat limbah medis juga bersumber dari shelter, rumah isoman, dan berbagai tempat untuk melakukan isolasi, baik secara mandiri maupun komunal. Walaupun limbah medis berasal dari sumber yang berbeda-beda, tata pengolahannya dapat dikatakan sama. Pengolahan limbah medis dilakukan dalam beberapa tahap.
Pertama, limbah medis dikumpulkan sambil dipilah berdasarkan jenis limbah—antara berbahaya atau tidak membahayakan. Sementara itu, terdapat juga limbah tajam atau mudah pecah yang dimasukkan ke box pengaman. Limbah yang telah dikumpulkan akan disimpan di tempat penyimpanan limbah sementara. Penyimpanan limbah medis yang diizinkan adalah maksimal dua hari dalam suhu ruang.
Kedua, tahap pengangkutan. Seperti yang kita ketahui, banyak rumah sakit di Indonesia yang tidak memiliki insinerator. Keadaan ini membuat pihak rumah sakit memilih bekerja sama dengan pihak ketiga. Jadi, limbah medis yang telah dikumpulkan akan diangkut oleh pihak ketiga dan selanjutnya akan diolah menggunakan insinerator mereka.
Alur yang berbeda diterapkan pada rumah sakit yang memiliki insinerator berlisensi. Tanpa melewati tahap pengangkutan, pihak rumah sakit dapat langsung membakar limbah medis. Pengolahan limbah medis dengan menggunakan insinerator akan menghasilkan abu yang tetap dikategorikan sebagai limbah B3. Abu ini setidaknya bisa disimpan lebih lama atau lebih baik dimasukkan ke tempat penimbunan dengan persyaratan khusus.
Wabah dan Limbah di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM
Satu di antara rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yaitu RSA UGM, juga mengalami penumpukan limbah medis. Berdasarkan data akumulasi, jumlah limbah medis yang dihasilkan RSA UGM pada tahun 2020 mencapai 72 ton, sedangkan pada tahun 2021 mencapai 112 ton. Akan tetapi, angka tersebut belum termasuk pasokan limbah dari Rumah Sakit Khusus Covid (RSKC) Gadjah Mada dan Wisma Kagama, berhubung limbah dari kedua tempat tersebut juga dibawa ke RSA.
Alur pengolahan limbah medis yang diterapkan oleh RSA UGM juga sama dengan alur biasanya. Salah satu staf RSA UGM menyebutkan bahwa limbah medis yang telah mereka kumpulkan akan diangkut oleh pihak ketiga setiap dua hari sekali.
Hal yang berbeda terjadi saat adanya lonjakan kasus Covid-19 jenis baru, yaitu Omicron, sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah. Keadaan tersebut membuat pihak ketiga harus mengangkut limbah setiap hari, bahkan dua kali dalam sehari. Terkait biaya pengolahannya, pihak RSA UGM harus mengeluarkan sekitar Rp4.000,00 untuk 1 kg limbah medis.
Fakta Menarik
Limbah non-medis, seperti bekas infus, diolah sendiri oleh pihak RSA UGM. Pengolahan ini dilakukan dengan memotong kecil-kecil limbah non-medis atau dicacah. Limbah non-medis yang dihasilkan RSA dalam sehari biasanya sebanyak satu karung. Dalam seminggu, pengolahan dapat dilakukan sebanyak dua kali. Nantinya, hasil pengolahan ini akan dijual ke pabrik seharga Rp8.000,00/ kg untuk didaur ulang menjadi perabotan plastik.
Problematika Tempat Pengolahan Limbah Medis
Sampai saat ini, tidak diketahui penyebab pasti banyak daerah di Indonesia, khususnya DIY, tidak memiliki tempat pengolahan limbah. Padahal, pengadaan tempat pengolahan limbah medis ini sangat penting untuk keberlangsungan kegiatan medis.
Pertimbangannya antara lain adalah pengolahan limbah medis yang menggunakan pihak ketiga dengan letak jauh dari sumber limbah medis berpotensi berbahaya selama pengangkutan.
Di samping itu, jika DIY memiliki tempat pengolahan limbah medis, kemungkinan besar biaya pengolahan yang dikeluarkan menjadi lebih ekonomis daripada menggunakan pihak ketiga.
Terkait permasalahan ini, kontribusi oleh pihak akademisi adalah membentuk sebuah komunitas limbah medis dan B3 untuk setiap fasilitas pelayanan kesehatan di DIY. Komunitas ini terbentuk pada akhir waktu kerja kontrak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dari komunitas ini, Sarto menyatakan sudah ada rencana pengadaan tempat pengolahan limbah medis. Bahkan, ide pengelolaan limbah medis regional di DIY sudah muncul sejak tahun 2019. Ini merupakan hasil kerja sama antara FKKMK dan Kemenkes yang sudah mendapat persetujuan dari Kemenkes, KLHK, serta Kementerian Dalam Negeri. Sarto juga menyebutkan bahwa merasionalkan ide tersebut memang terbilang tidak sederhana.
Penumpukan limbah yang terjadi memberikan teladan baik untuk Pemerintah maupun pihak-pihak dalam bidang kesehatan, bahwa tempat pengolahan limbah medis memanglah seharusnya dibangun sejak dahulu. Tujuan utamanya adalah agar limbah medis dapat dikelola berbasis wilayah sehingga lebih ekonomis. Selain itu, adanya tempat pembuangan limbah medis ini juga menjadikan wilayah DIY lebih siap jika nantinya muncul wabah baru.
LIVETA NISSI RAMADHANTI