Teriknya surya dan derasnya air sungai bukan selalu hal yang buruk. Hal-hal yang biasanya dikeluhkan serta dikhawatirkan, diubah menjadi keuntungan. Bak Green School Bali, sekolah dengan program-program berkelanjutan. Berdiri dengan air dan matahari, sebagai sumber energi.
Green School Bali merupakan sekolah berwawasan berkelanjutan yang didirikan oleh John Hardy beserta istrinya, Chyntia, sejak tahun 2008. Green School Bali berlokasi di Kampung Sibang Kaja, Abiansemal, Badung, Bali.
Sesuai dengan namanya, Green School menggalakkan program-program yang berbasis alam dan lingkungan hijau. Kurikulum pengajaran yang memadukan kurikulum standar dengan kurikulum Green Studies dan Creative Arts, material bangunan yang ramah lingkungan, hingga penyediaan pembangkit listrik sebagai sumber energi bersih adalah bentuk komitmen Green School untuk keberlanjutan.
Perbedaan dengan Pendidikan Konvensional
Pendidikan konvensional cenderung menuntut muridnya untuk menghafal dan kebanyakan sekolah hanya fokus pada kecerdasan intelektual. Green School mengusung kurikulum dengan memperhatikan ketiga aspek kecerdasan lainnya, yaitu kecerdasan emosional, spiritual, dan kinestetis.
Salah satu faktor pendorong didirikannya Green School adalah disleksia yang dialami John Hardy. Pada saat itu, ilmu yang berkaitan dengan disleksia terbilang minim. John yang tidak mampu membaca huruf secara runtut dianggap bodoh oleh gurunya. “Tidak seharusnya kita membuat standar yang sama untuk kemampuan orang yang berbeda-beda. Jadi, kami disini tidak hanya fokus pada mata pelajarannya saja, tapi juga fokus pada tematik dan experience learning,” ungkap Gede Adi selaku Public Relation Green School Bali.
Matematika tidak melulu diajarkan dengan menghafal rumus dan mengerjakan soal. Green School punya cara yang unik, misalnya dengan kegiatan memasak piza. Di akhir sesi, siswa diminta untuk mengaplikasikan rumus matematika saat membagi piza dan memastikan semua anak mendapatkan bagian yang sama besar.
Selain itu, kegiatan memasak piza dapat mengajarkan unconscious wellbeing. Gede berpendapat bahwa saat zaman sekolah dasar, pembelajaran kewarganegaraan atau budi pekerti sifatnya berupa indoktrinasi atau teoretis, tetapi implementasinya tidak ada. “Yang dimaksud unconscious wellbeing adalah ketika anak-anak tahu bahwa apa yang mereka pelajari itu bisa digunakan untuk hal-hal baik. Contohnya saat mereka pelajari matematika dengan bikin piza. Saat bagi-bagi piza, mereka sadar bahwa semua orang di sini sama pentingnya, semua harus dapat bagian yang sama. Di sini mereka belajar berbagi,” terang Gede.
Berbeda dengan sekolah pada umumnya, Green School tidak menyusun bangku secara berbaris dan menghadap ke depan. Green School membatasi 20 siswa untuk setiap kelas serta letak kursi yang dapat dipindahkan sesuai keinginan. Terlebih lagi, Green School menggunakan konsep ruang terbuka. Hal tersebut membuat setiap sudut kelas dapat menjadi “depan kelas” dan setiap siswa mendapatkan perhatian guru.
Blended Learning di Kala Pandemi
Green School memiliki kebijakan untuk tidak menggunakan gadget selama jam sekolah. Namun, kebijakan tersebut bertolak belakang dengan kondisi pandemi Covid-19. Sebagai jalan keluar, Green School memilih sistem blended learning.
Konsep kelas dengan ruangan terbuka dan kapasitas 15-20 murid untuk setiap kelas memungkinkan Green School untuk menerapkan protokol social distancing. Para siswa bisa datang ke sekolah sebanyak dua atau tiga kali dalam seminggu tergantung dengan proyek dan kepentingan masing-masing siswa. Sisanya, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara daring.
Program blended learning juga sekaligus menjadi tantangan bagi pihak Green School. “Bikin piza nggak mungkin, dong, dilakukan online. Kondisi kayak gini juga jadi tantangan untuk orang tua,” ungkap Gede. Pada kondisi normal, Green School beroperasi fullday dari Senin hingga Jumat pukul 08.00 – 15.00 WITA.
Sistem Penerimaan Murid Baru
Green School menerapkan sistem wawancara untuk siswa baru SMP dan SMA. Sementara itu, siswa TK dan SD diberikan psychology test. Sistem tersebut dilaksanakan bukan tanpa alasan karena tidak semua murid dapat beradaptasi dengan lingkungan Green School.
Gede menuturkan, “Kalau dalam lingkungan sekolah nggak ada benar atau salah, tapi menemukan lingkungan mana yang cocok. Kalau ada yang tipenya kuat memorizing, sifatnya textbook banget, sekolah biasa pun bisa. Tapi, kalau dia cari yang kreatif, Green School bisa jadi tempat yang cocok.”
Program Energi Terbarukan
Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Green School memiliki panel surya dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang disebut vortex. Pada kondisi normal, 80-90% kebutuhan energi berasal dari panel surya dan vortex. Setidaknya 40,04 kilowatt-peak (kWp) dihasilkan dari solar system dan 15 kW dari vortex.
Green School menggunakan sistem net metering. Net metering merupakan skema untuk mengirim jumlah produksi listrik yang berlebih ke jaringan listrik PLN untuk dapat digunakan di kemudian hari. “Kalau produksi kurang, bisa langsung otomatis ambil dari PLN, tapi pas produksinya berlebih, bisa di-store ke PLN,” tutur Dita Anggraini, Innovation Center Manager Green School Bali. Pada dasarnya, Green School termasuk dalam low energy building. Hal itu disebabkan oleh konsep ruang terbuka yang tidak memerlukan AC dan banyak pencahayaan.
Selain pembangkit listrik, Green School juga memiliki Bio Bus, yaitu kendaraan bus dengan bahan bakar minyak jelantah. Bio Bus dioperasikan untuk menunjang kegiatan murid-murid dan komunitas. Jika masyarakat umum ingin menggunakan Bio Bus, mereka dapat mencarter. Akan tetapi, pihak luar cenderung membayar lebih mahal jika dibandingkan dengan internal Green School karena tidak mendapat diskon.
Bangunan Ramah Lingkungan
Unsur lain yang tak kalah menarik dari Green School adalah material bangunan yang digunakan. Seluruh bangunan sekolah terbuat dari bambu, bahkan perabot sekolah, seperti kursi, meja, dan papan tulis. Jenis bambu yang digunakan di antaranya adalah Dendrocalamus asper (bambu petung), Gigantochloa apus (bambu tali), dan Bambusa blumeana (bambu duri).
Bangunan utama sekolah ini disebut Heart of The School. Pada awalnya, desain Heart of The School dibuat oleh seorang pematung. Kemudian, arsitek membuat flow engineer dan maket bangunan. Setelah itu, kalkulasi struktur dan tambahan komponen dilakukan oleh structural engineer. Proses pemodelan struktural dianggap sulit karena bentuk bambu yang tidak simetris. Pada proses pembangunan, maket skalatis digunakan sebagai acuan di lapangan.
Ashar Saputra, S.T., M.T., Ph.D. selaku Structural Engineer Green School Bali mengaku ditanya pemilik terkait umur bangunan. “Dalam kondisi normal, saya bisa menggaransi Heart of The School at least 25 tahun dengan catatan ada maintenance tiap 2-3 tahun sekali,” tutur Ashar.
Maintenance tersebut diartikan sebagai pelapisan ulang secara berkala pada bambu. Hal tersebut dilakukan karena apabila terkena hujan, lapisan pelindung bambu lama-lama akan terkikis, lalu air dapat masuk dan menghilangkan kandungan boric acid. Bambu menjadi rentan terhadap serangan rayap. “Sehingga catatan khususnya selain dari kebakaran, asal bambu di-treat coating 2-3 tahun sekali, saya berani jamin itu. Sekarang baru di 13 tahun sehingga jaminan saya baru menjalani setengah perjalanan,” lanjutnya.
Bagian interior dapat dirawat dengan rajin mengelap dan coating ulang dalam jangka waktu sekitar 5 tahun sekali. Sementara, bagian eksterior dilakukan UV coating berkala dengan jangka waktu 2 tahun sekali.
Green School Bali bekerja sama dengan PT Bamboo Pure untuk mendirikan bangunan sekolah. Rachmat Utomo, Head of Construction PT Bamboo Pure, menjelaskan bagaimana proses pengawetan bambu. Proses dimulai dari pengeringan selama kurang lebih satu minggu. Apabila bambu menyusut setelah dikeringkan, bambu tersebut tidak layak digunakan. Kemudian, buku-buku bambu dilubangi.
Ada dua metode untuk pengawetan, yakni direbus dan direndam. Perendaman bambu memerlukan waktu sekitar tujuh hari, sedangkan perebusan memakan waktu 24 jam. Bambu yang telah di-treatment kemudian dilakukan uji berkala. Kadar boric acid di dalam bambu harus 0,5-0,7%. Selanjutnya, bambu siap digunakan.
Ashar mengatakan bahwa penggunaan boric acid sebagai bahan pengawetan bambu masih menjadi perdebatan. Hal tersebut karena penggunaan bahan kimia dalam metode pengawetan dinilai tidak sepenuhnya berkelanjutan. Kendati demikian, di Indonesia, boric acid tidak dilarang untuk bahan nonpangan. Sementara itu, Rachmat mengemukakan bahwa boric acid berbahan dasar garam sehingga tidak beracun. Rachmat juga mengklaim bahwa dalam pengawetan bambu, pemakaian larutan dilakukan berulang sehingga meminimalkan limbah. Tak lupa larutan difilter dan diberi kaporit sebelum akhirnya dibuang.
Penggunaan bambu pada seluruh bangunan Green School Bali merupakan wujud nyata penggunaan konsep bangunan ramah lingkungan. Adanya pendidikan lingkungan di sekolah, seperti Green School Bali, dapat menyadarkan siswa akan pentingnya nilai peduli lingkungan bagi kehidupan.
Bermula dari Green School Bali, saat ini Green School telah memiliki jaringan global. Hal tersebut terbukti dengan beroperasinya Green School New Zealand, Green South Africa, dan Green School Tulum.
AMALIA RAMADHANI