Kudeta

“Mau kemana?”

Beruang Grizzly berdiri gagah-ganas tepat di belakangku. Napasnya yang hangat terasa sampai kulit kepalaku yang dikoveri hijab. Jari-jari tangan kiriku baru saja disiram cahaya lampu delapan watt kamar setelah lolos dari gelapnya lorong jaket. Kuhembuskan napas pelan. “Keluar.”

“Sudah berapa kali kubilang? Mau melawan, ya?”

“Sejauh ini aku selamat kok,” aku menjawab malas.

“Jangan bersandar pada keberuntungan. Bisa saja bahunya lelah menopangmu, lantas beranjak pindah posisi.”

“Aku tidak bersandar padanya. Sama sekali.” Berat napas ini rasanya bila menyinggung topik ini.

“Apanya yang tidak?” Nada tajamnya merobek pertahanan sabar terluarku.

“Hei, dia yang membantuku. Walau aku memang memerlukannya, tapi aku selalu berhati-hati kok. Selalu waspada. Selagi kita tahu cara mengatasi dan menghadapinya.”

Beruang Grizzly itu masih berdiri memperhatikanku. Tatapannya mengancam dan waspada, kalau-kalau aku membuat gerakan mencurigakan.

“Ayolah, ini demi kita dan yang lainnya. Aku masih hidup sampai sekarang. Kekhawatiranmu itu yang akan membunuhmu saat kau lengah,” bisikku menggeram. Aku menghindari tatapannya. Menunduk.

Beruang itu masih bergeming di titiknya. Tak terbaca olehku apa yang disiratkan matanya. Tapi jantung ini berdebar karenanya Anak jam masih istiqamah berjalan di jalurnya, dengan irama khasnya. Malam hampir di puncak cakrawala. Sang bayu riuh sebentar di luar sana, dan tanpa permisi melewati kisi-kisi jendela, menyapu kamar. Ajaib sekali. Ia berhasil membawa beruang itu beranjak pergi.

 

***

 

Jalanan lengang. Lampu jalan tetap menyala. Juga lampu petromaks di teras-teras rumah. Menari ria mereka saat disapa anai-anai. Tumben, malam ini tidak ada angin yang lewat di sini. Atau, mungkin dia lewat jalan yang lain, pikirku. Bagiku, jalan tikus adalah pilihan terbaik saat ini. Walau begitu, situasi tetap mencekam.

“Malam, Pak. Ini aku, Maira,” kusapa pelan pintu yang kuketuk ini. Rumah yang membantu pintu itu berdiri sederhana saja. Sekitar dua belas meter persegi. Dihuni seorang lelaki berumur empat puluh tahunan dan anak gadis bungsunya yang setia mendampinginya sampai sekarang. Pekan yang lalu, istrinya dibawa pergi oleh monster yanng menakutkan itu. Beruntung sekali bapak dan anak ini selamat. Mereka hebat, pujiku dalam hati.

6 detik, pintu dibuka. Anak gadis berumur lima belas tahun mempersembahkan lesung pipinya yang manis padaku. “Kakak… Anu, bapak sedang ke belakang. Mau tunggu sebentar, kak?”

“Duh, maaf, ya, Rin. Kakak harus buru-buru.” Kubalas senyumnya, “Tolong titip ini dan salam dari kakak saja untuk bapak, ya. Oh iya, bagaimana sekolahmu?” tanyaku sembari memberi keperluan keluarga ini ke tangan pemiliknya.

“Selain sinyal yang kadang suka hilang, semua lancar kak. Semua karena bantuan kakak. Beresiko ini mah kak,” Purin segan-segan menerima plastik itu. Aku hanya mengangkat bahu sekejap.

“Doakan supaya kakak selamat. Dan tidak usah memberi tatapan seperti itu ke kakak. Nih, pakai,” cairan itu kutumpahkan ke telapak tangannya. Tak lupa ku semprotkan juga disinfektan ke plastik tadi. Aku kembali memasang ransel di punggung dan mengangkat dua plastik besar di masing-masing tangan.

“Sudah dua bulan lho, kak. Tiap malam…”

“Maka semoga ini cepat berakhir,” kusalip kalimat Purin, “Yak, kirim salam buat bapak, ya, Rin. Kakak lanjut dulu. Permisi.”

Tidak lagi kulihat ekspresi apa yang dikeluarkannya, tidak perlu topik tadi diperpanjang. Kaki ini sudah melangkah keluar teras rumah. Tapi, masih akan sepanjang apa lagi jalan ini akan kami tempuh? Sendiri melangkah dan terasing di dunia yang dulu bising dan terasa penting. Kini semua bergemul dalam selimut kekhawatiran dan ketakutan. Atmosfer di luar sana mencekik pernapasan yang butuh kesegaran yang kini hanya ada dalam kerangkeng masing-masing. Uniknya, dendang semangat dan perjuangan bergelora digemakan. Bertalu-talu. Walau ada yang berusaha merusak nadanya, percuma saja. Talun tetap melangit.

Tuhan, temanilah kami. Kabulkan permintaan kami. Demi negeri ini. Demi kesembuhan bentala ini.

Kupercepat langkah kaki. Semoga malam ini lebih panjang, dan misi ini selesai setidaknya tepat pada waktunya.

 

***

 

Aku sudah di dalam kerangkeng saat kokok ayam kedua mengetuk rumah siputku. Setelah menelusuri rumah, beruang Grizzly sudah tidak ada lagi. Di dalam bilik, suamiku bergemul dan memeluk gulingku. Sirat wajahnya cemas karena kerisauan hatinya. Masih dengan ransel tersandang, kukecup keningnya. Berharap itu meresap dan membuat hatinya tenteram. Tapi itu malah membuatnya membuka mata.

“Kamu sudah kembali,” dia tersenyum tipis, senang. Ia membalikkan tubuhnya, menghadap aku yang masih berdiri di samping ranjang. Dia meraih tanganku. “Dingin.”

Aku ber-‘heh’ menahan tawa. Ibu jarinya mengelus punggung tanganku. “Aku mau tukar pakaian dulu. Tas pun masih belum lepas.”

Dia membiarkan tanganku bersamaku lagi. Beranjak duduk. Kubiarkan dia mengumpulkan nyawa. Lima menit kemudian, ranjang sudah terlihat rapi. Pelita yang lebih terang dihidupkan. Sedetik setelah terbetik dalam pikiran ‘Dimana dia?’, sepasang tangan memelukku dari belakang. Sebentar kemudian, tangan kanannya menjulurkan selembar kertas padaku. Kubaca sekilas. Ternyata ini pelukan penguat.

“Pagi inikah?” tanyaku. Dadaku mulai bergelora tak tentu irama.

“Selepas subuh, aku akan segera ke sana. Semakin banyak yang berjatuhan. Aku akan membantu dan melanjutkan perjuangan mereka, membantu yang masih berdiri di medan perang.” Pelukannya meremas hatiku, tapi airnya menetes dari mata.

“Karena itukah kamu menahanku semalam? Karena ini malam terakhir kita?”

Dia membalikkan tubuhku dengan cepat, “Ini bukan malam terakhir kita, oke? Jangan mengatakan hal itu lagi, atau memikirkannya sama sekali. Aku akan kembali dengan sehat dan selamat,” ia tangkup wajahku dengan tangannya yang bergetar hebat, “Jangan berpikir yang tidak-tidak lagi, kumohon… Aku bahkan sudah membunuh beruang Grizzly itu.” Dia memohon dan menghiburku di saat yang sama.

‘Aku tahu kamu sudah membunuhnya,’ jawabku dalam hati.

“Di garda terdepankah?” sebak dada ini. Tak berani lagi kutatap wajah orang yang selama ini mendukung misiku ini, walau seringkali beruang itu menghalangi jalanku. Matanya sama basahnya denganku.

“Ya. Hei,” jarinya mengangkat daguku, memaksaku untuk menatapnya lagi, “Doakan aku, ya.” Dua ujung bibirnya menyeret beban ke arah yang saling berlawanan. Susah-payah. Usahanya yang seperti itu malah membuat mataku semakin banjir. Kuhamburkan semua perasaanku ke dalam pelukannya.

“Doaku selalu ada untukmu. Juga untuk kita semua. Kamu tahu itu, kan?” Kurasakan ia mengangguk di pundakku.

Anak jam lesu berjalan, bagai ikut merasakan apa yang dirasa oleh segenap alam. Burung dan bayu berkidung sendu. Dedaunan bergemerisik saling berpelukan. Di kejauhan, samar-samar kalam Ilahi merebak syahdu.

Itu malam terakhir kami beribadah bersama sebelum ia pergi ke medan perang.

 

***

 

Mobil ambulans terpakir rapi di halaman sejak sepuluh menit yang lalu. Sopirnya, yang ternyata seorang perawat serta dua orang dokter sedang memberi arahan pada suamiku. Lalu membantu suamiku mengenakan APD-nya. Sesekali dia menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang mereka bincangkan. Di sini, kakiku tetap kokoh berdiri walau diterpa gelombang emosi. Ia lebih kokoh dibanding subuh tadi. Gips yang dipasangkan suamiku keren juga.

“Aku pamit sebentar.” Di antara ramainya pikiranku, sekonyong-konyong dia sudah ada di depanku. Memasang posisi akan berlutut. Langsung kutahan. Kusambut keningnya dengan kecupan, diiringi doa yang melangit. Dan kuharap doa itu mengetuk pintuNya, dan diterimaNya.

“Doakan kami. Aku akan selesaikan misiku, dan kamu akan semangat juga dengan misimu. Oke?” dia tersenyum menyemangatiku, lantas mengusap kepalaku, dan gantian dia yang mengecup keningku. Berpamitan. Perawat dan dua dokter itu memberi kami waktu untuk saling menyemangati, dan berpamitan.

“Oke. Dan berkabarlah terus padaku. Hapenya dibawa, kan?”

“Tentu. Kita berjuang untuk mengudeta monster itu.”

Setelah saling bertukar pandang, senyum dan salam, jarak mulai memisahkan kami. Diiringi derum mesin ambulans, raungan sirinenya, tatapan tetangga yang tetap di dalam sangkar emas masing-masing, kicau sedih para burung, sedu-sedan angin yang memeluk tubuh yang gusar ini dan kidung alam yang khidmat.

 

Padang Panjang, 14 Mei 2020

 

Ditulis oleh Hafizhatul Rahmah.