Hamparan pasir putih, biru air laut, serta keindahan panorama yang tidak dapat ditemukan di tengah hiruk pikuk kota menjadikan pantai di Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata yang populer. Namun, seiring dengan meningkatnya animo wisatawan untuk mengunjungi wisata pantai di Yogyakarta, potensi terjadinya kecelakaan pun semakin besar. Setiap tahun, kasus orang yang terseret arus saat bermain di pantai kerap kali terulang. Hal tersebut disebabkan oleh fenomena alam yang dikenal dengan nama arus retas. Pada kesempatan ini, kami mewawancarai Hendy Fatchurohman, Dosen Program Studi Sarjana Terapan Sistem Informasi Geografis, Departemen Teknologi Kebumian, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, guna membahas fenomena ini lebih lanjut.
Arus retas atau rip current merupakan fenomena terbentuknya arus pada zona pecah gelombang di suatu area yang cukup sempit. Arus ini biasanya dibangkitkan oleh arus sejajar pantai (longshore current) yang kemudian, sebagai akibat dari pengaruh morfologi pantai, menyebabkan pergerakan arus secara cepat menuju laut. Kecepatan arus retas beragam, mulai dari 30 cm/detik sampai lebih dari 2 m/detik. Ketika kecepatannya lebih dari 2 m/detik, arus ini disebut sebagai mega rip. Meskipun kelihatannya lambat, kekuatan arus ini mampu menyeret objek yang ada di jalurnya, termasuk manusia.
Ada dua faktor yang mempengaruhi arus retas, yaitu faktor hidrodinamik dan morfodinamik. Faktor hidrodinamik meliputi energi gelombang, ketinggian ombak, serta pasang laut. Apabila energi gelombang cukup besar, maka arus retas pun dapat dibangkitkan. Selain itu, arus retas cenderung terbentuk pada pasang surut atau sekitar jam 12 siang saat kecepatan arus mencapai maksimal. Pembentukan arus retas juga dipengaruhi oleh faktor morfodinamik, yaitu topologi pada pantai atau pesisir tersebut. Faktor ini meliputi sedimentasi yang terdapat di bawah permukaan laut, keberadaan material seperti rataan terumbu yang mampu memecah arus retas, dan bentuk pantai.
Berdasarkan lokasi pembentukannya, arus retas dibedakan menjadi dua tipe, yaitu arus retas dengan tipe menetap dan tipe berpindah. Pada tipe menetap, arus retas akan muncul secara konsisten pada lokasi tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh faktor morfodinamik pantai. Arus retas dengan tipe ini dapat ditemukan di Pantai Drini, Gunungkidul. Arus retas dengan tipe berpindah terjadi karena faktor hidrodinamik dan morfodinamik pantai yang selalu berubah. Sebagai contoh, di Pantai Parangtritis, Bantul, material utama penyusun sedimentasi adalah pasir yang bersifat dinamis. Pasir tersebut menyebabkan adanya pembentukan arus retas secara berpindah-pindah.
Bekerja sama dengan Search and Rescue (SAR) Satuan Pelindung Masyarakat (Satlinmas) Wilayah II Gunungkidul, tim dari Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian di Pantai Drini, Gunungkidul. Prosedur penelitian ini meliputi penuangan cairan pelacak pada titik-titik terjadinya kecelakaan secara berulang. Zat yang digunakan pada cairan pelacak tersebut adalah uranine, salah satu jenis fluorescent dye yang ramah lingkungan. Penelitian ini diharapkan mampu mengidentifikasi dan memetakan keberadaan, tipe, serta kecepatan arus retas pada pantai tersebut.
Dikutip dari Kompas.com, SAR Satlinmas Wilayah II Gunungkidul mencatat 81 insiden pada tahun 2019 dengan sepuluh korban tewas. Hingga bulan Mei 2020, telah terjadi 29 insiden dengan satu korban tewas. “Kami ingin menyampaikan agar pengunjung wisata pantai selalu waspada terhadap bahaya yang mengancam mereka. Melalui penelitian ini, kami juga ingin memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya tersebut. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena statistik menunjukkan jumlah korban yang sangat tinggi,” tutup Hendy.
Tulisan oleh Baiq Ajeng dan Jennifer Dharmawangsa
Data oleh Afaf Rifa, M. Kesuma Shandy, dan Yoga Faerial
Gambar oleh Bagas Adi