Beranda Berita Siapkah Kita untuk Melanjutkan Pesta Demokrasi?

Siapkah Kita untuk Melanjutkan Pesta Demokrasi?

oleh Redaksi

Dari kemerdekaan hingga reformasi, Indonesia telah melewati berbagai fase perubahan politik. Demokrasi, sistem yang dipilih oleh pendiri negara kita, telah lama menjadi pedoman untuk menjalani kehidupan dalam bernegara. Namun, sistem ini tidak selalu sempurna. Demokrasi memiliki banyak sekali kekurangan. Hal-hal seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat marak terjadi di Indonesia. Berhubung 2024 akan menjadi tahun politik bagi negara kita, siapkah Indonesia untuk melanjutkan pesta demokrasi?

Pada Jumat (6/10), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Prof. Dr. H. Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P. menjadi pembicara pada kuliah umum dengan tema “Capaian Hukum dan Politik Dalam Sistem Demokrasi Indonesia”. Penyampaian materinya dilaksanakan di Ruang Bulaksumur University Club UGM. Kuliah umum ini dimulai dengan sambutan dari Dr. Sindung Tjahyadi, Direktur Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada, sebagai pengganti Rektor Universitas Gadjah Mada karena tidak dapat hadir pada saat acara tersebut dimulai. 


Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni Universitas Gadjah Mada, menjadi moderator di kuliah umum ini. Acara inti dimulai dengan sedikit pembuka dari beliau yang menyampaikan bahwa kadang-kadang Profesor Mahfud selalu membawa hal yang baru di setiap forum, entah itu isu strategis ataupun kontroversi. Dr. Ari melanjutkan perkataannya, “Kontroversi bukan menciptakan distorsi, kontroversi itu diurai agar cara pandang kita tentang demokrasi lebih fair.”

Pada sesi pertama, Prof. Mahfud memaparkan materi utama di kuliah umum yang terbagi menjadi beberapa topik. Topik pertama adalah tentang sistem demokrasi. Beliau mengatakan bahwa demokrasi tidak sempurna. Hal itu dikarenakan terdapat beberapa risiko di dalam demokrasi, yaitu risiko salah pilih, risiko politik transaksional, dan merebaknya demagogue. “Tetapi saudara, sejelek apapun demokrasi itu, tetap dianggap yang terbaik. Karena di situ ada peran rakyat, ada check and balances, ada pergantian kekuasaan, baik secara berkala maupun secara reguler sesuai dengan tuntutan masyarakatnya,” ucap Prof. Mahfud. 

Selanjutnya, beliau memaparkan beberapa tantangan dalam demokrasi. Terdapat beberapa poin yang disampaikan. Salah satunya adalah munculnya politik yang berbiaya tinggi. “Kalau sekali pemilu presiden atau legislatif, biayanya bisa mencapai 106 Triliun. Belum untuk masing-masing kontestan. Mereka mencari biaya dari amplop, pendukung, sponsor-sponsor. Banyak sekali biayanya,” jelas Prof. Mahfud. Salah satu poin lainnya adalah belum optimalnya penegakan hukum. Beliau melanjutkan, “Hakimnya diatur, pengacaranya diatur, jaksanya kalau masuk ke pidana diatur. Itu namanya industri hukum.”

Topik berikutnya membahas tentang demokrasi dan nomokrasi. Prof. Mahfud membahas tentang keperluan “teman” dalam demokrasi. Disampaikan bahwa demokrasi merupakan kebebasan, tetapi bahwa kebebasan yang tidak dikontrol oleh hukum akan menjadi liar. “Hukum adalah pengimbang dari sebuah demokrasi. Tidak boleh adalah hukum tanpa nomokrasi. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat, sedangkan nomokrasi adalah kedaulatan hukum,” ucap beliau. “Keduanya harus seimbang. Ketika demokrasi lebih tinggi dari hukumnya, itu liar. Ketika nomokrasi lebih tinggi dari hukumnya, akan terjadi kesewenang-wenangan seperti orde baru.”

Topik terakhir yang dipaparkan adalah hubungan antara demokrasi dan korupsi. Prof. Mahfud mengatakan bahwa obat korupsi adalah perbaikan demokrasi. Akan tetapi, disampaikan bahwa di Indonesia, perbaikan demokrasi tidak mempan. Bahkan, korupsi jauh lebih luas dan menyeluruh sekarang daripada pada zaman orde baru.  “Kadang kala, ada berita korupsi 50M, 60M, kita sudah tidak kaget lagi. Dulu, zaman Pak Harto, saudara dengar ada korupsi 10M pasti kaget. Namun, hampir jarang bicara ratusan miliar korupsi zaman Pak Harto, paling miliar sampai puluhan miliar. Itu pun sudah dianggap parah. ” ujar Prof. Mahfud. “Oleh karena itu, Pemerintah terus meningkatkan kinerja kolaboratif antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil dalam upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di segala bidang.” 

Adanya solusi tambahan yang dipaparkan Prof. Mahfud, yaitu pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum oleh Menko Polhukam yang melibatkan para akademisi, aktivis, masyarakat sipil, dan media. Muncul juga beberapa bidang yang direkomendasikan, yaitu Bidang Peradilan dan Penegakan hukum, Bidang Agraria dan SDA, Bidang Pemberantasan Korupsi, dan Bidang Hukum Perundang-undangan. “Bukan hanya meningkatkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, tetapi juga memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat,” tambah Prof. Mahfud. 

Sesi terakhir adalah sesi tanya jawab. Terdapat banyak tangan yang terangkat, salah satunya adalah dari Bintang Wijaya, Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian. Ia mempertanyakan beberapa permasalahan di institusi negara, seperti Polri dan KPK. “Bagaimana argumentasi bapak menanggapi kesan adanya pelemahan di KPK untuk selanjutnya menjadikan KPK sebagai alat penguasa? Adakah keinginan bapak sendiri untuk memperkuat KPK seperti dulu?” 

Pak Mahfud menjawab dengan mengatakan bahwa pemecatan anggota KPK secara formal dibenarkan karena Undang-Undang baru yang mengharuskan anggota KPK menjadi ASN. Beliau juga mengatakan bahwa ketika menjadi ASN, ada syarat-syarat yang perlu diuji, dan sebagian besar orang tidak lolos dikarenakan itu. “Kalau kata masyarakat sipil dilemahkan, kalau kata Pihak DPR dan Parpol diposisikan secara benar sesuai tujuannya,” ujar Prof. Mahfud.

“Demokrasi tidak menjanjikan surga, tetapi demokrasi mencegah neraka hadir di dunia,”

ucap Arie Sujito, saat menutup acara ini.

Artikel Terkait