Beranda Artikel Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) Sebagai Pengendali CO₂

Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) Sebagai Pengendali CO₂

oleh Redaksi

Konsumsi bahan bakar di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 3,17%. Angka ini berbanding lurus dengan emisi yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,51% per tahun menurut Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) ESDM Tahun 2019. Industri produsen energi menjadi penyumbang emisi utama di Indonesia yaitu sebesar 43,83%, diikuti oleh industri manufaktur dan konstruksi sebesar 21,46% pada peringkat kedua.

Emisi yang dihasilkan setiap tahunnya merupakan emisi karbon yang menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global. Dampak berantai dari pemanasan global akan menjadi momok kehidupan apabila tidak diatasi dengan baik. Kendati demikian, telah banyak upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya pemanasan global. Salah satunya ialah penerapan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang sedang hangat diperbincangkan baru-baru ini.

CCUS

CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) adalah sistem teknologi inovatif yang dapat menangkap karbon dioksida (CO₂) di udara. Adanya CCUS ini mencegah terlepasnya CO₂ menuju lapisan atmosfer yang dapat merusak lapisan ozon. Penerapan CCUS ini kerap kita jumpai pada industri baja, hidrogen, dan produsen energi.

Mekanisme dari CCUS diawali dengan penangkapan CO₂ dari udara yang kemudian terbagi atas dua proses yang terpisah. Pada proses pemanfaatan (utilization), CO₂ yang terkumpul akan melalui proses separasi atau pemurnian CO₂ dan didistribusikan untuk dapat diolah menjadi produk baru. Seperti pada industri kimia, CO₂ dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat urea dan polimer.

Beralih pada proses setelahnya, yaitu proses penyimpanan (storage), CO₂ akan didistribusikan ke dalam beberapa penyimpanan seperti onshore maupun offshore. Beberapa kriteria khusus tidak luput untuk menjadi wadah penyimpanan CO₂ ini, seperti adanya lapisan caprock sebagai segel agar CO₂ tidak terlepas ke permukaan dan adanya lapisan air (akuifer) dalam membantu penyimpanan. Proses penyimpanan ini akan mengalami empat mekanisme perangkap, di antaranya adalah perangkap struktural, perangkap residu, perangkap kelarutan, dan perangkap mineral. Mekanisme perangkap struktural terjadi ketika CO₂ yang diinjeksikan terisolasi di bawah lapisan caprock karena sifatnya yang tidak berpori dan kedap air. Selanjutnya, mekanisme perangkap residu terjadi ketika CO₂ terperangkap dalam pori-pori kecil batuan sehingga tidak dapat bergerak. Perangkap ketiga atau perangkap kelarutan terjadi akibat pelarutan yang meningkatkan densitas air asin menyebabkan CO₂ tenggelam lebih rendah lagi dalam formasi sehingga mengurangi migrasi CO₂ ke atas dan meningkatkan kapasitas reservoir. Terakhir, perangkap mineral terbentuk akibat reaksi yang menghasilkan pembentukan mineral karbonat yang baru, padat, dan stabil sehingga CO₂ menjadi bagian dari batuan. Di sisi lain, proses penyimpanan ini juga dapat mengoptimalkan produksi minyak bumi dan gas alam akibat tekanan gas CO₂ yang diinjeksikan.

Ulik Perkembangan CCUS

Manfaat CCUS telah dirasakan di negara Cina dan telah dikembangkan sejak tahun 2009 oleh CCUS Research and Development hingga saat ini. Pengembangan ini tercermin dari beroperasinya fasilitas penangkap karbon Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Taizhou milik China Energy yang berkapasitas 500 KTPA. Selain pengembangan secara nasional, pemerintah Cina juga menargetkan pengendalian CO₂ dalam skala provinsi, sektor, dan pihak industri. Selain Cina, beberapa negara lain seperti Inggris, Amerika, dan Australia turut gencar dalam mempromosikan teknologi baru ini.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memaparkan bahwa urgensi penerapan teknologi CCUS di Asia Tenggara belum ditemukan hingga saat ini. Hal ini diperkuat oleh paparan dari Putra Adhiguna selaku analis energi IEEFA, yaitu terkait sedikitnya evaluasi emisi karbon, dukungan dana publik, dan dorongan pasar yang menjadi faktor utama. Meskipun demikian, berbeda pandang dengan pendapat IEEFA, Indonesia menganggap penemuan teknologi ini merupakan proyek yang patut untuk segera direalisasikan. Selaras dengan hal itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi, Mirza Mahendra memaparkan bahwa CCUS berperan penting dalam mendukung target produksi migas nasional, pengembangan lapangan gas untuk mendorong transisi energi dan mempercepat pengurangan emisi untuk mencapai NZE (Net Zero Emission). Bahkan, beliau menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia telah memiliki 15 proyek CCUS yang tersebar dari Aceh hingga Papua yang menjadi bukti kesungguhan Indonesia dalam perkembangan teknologi ini. Mengulik perkembangannya di Indonesia, saat ini Indonesia tengah mempersiapkan realisasi penemuan ini dalam tahap penelitian dan pengembangan teknologi. Perkembangan ini meliputi identifikasi peluang investasi, menarik mitra kerja sama, dan mempromosikan ke masyarakat luas mengenai CCUS.

Adanya suatu hal baru yang dalam konteks ini adalah CCUS tentu saja akan menimbulkan banyak pendapat dari banyak kalangan. Seperti kritik terkait biaya yang mahal dan teknologi yang tergolong masih baru sehingga dipertanyakan kemutakhirannya. Meskipun banyak pendapat pula yang mengatakan bahwa CCUS layak dikembangkan guna keberlangsungan lingkungan dan manusia. Hal ini juga perlu diiringi dengan adanya regulasi yang ketat dan kajian terkait efektivitas teknologi CCUS. Perkembangan teknologi seperti CCUS memang selayaknya diapresiasi dan dikembangkan mengingat penanggulangan emisi karbon merupakan urgensi besar untuk saat ini.

Data oleh Yasmina Rahma Khairunnisa

Tulisan oleh Almas Nawa Hairin
Ilustrasi oleh Hanif Albaihaqi

Artikel Terkait