Sebelum anda membaca tulisan ini, bersyukurlah karena telah dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan. Di bulan yang suci, kami menyarankan anda untuk saling memaafkan—memaafkan keluarga, kerabat, rekan kerja, dan kelompok-kelompok yang kerap membuat keributan di tengah masyarakat—sebelum anda tidak lagi memiliki kesempatan. Mungkin sebagian dari kita masih terlalu berat untuk memaafkan. Namun, perlu diingat bahwa memaafkan bukan berarti melupakan.
Kami mengajak anda—para pembaca yang masih peduli dengan bangsa ini—untuk merenungi sejumlah peristiwa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Mulai dari peristiwa Kanjuruhan yang belum tuntas hingga refleksi ini terbit, konflik-konflik horizontal yang merugikan kelompok masyarakat, hingga pelaksanaan pesta demokrasi dengan segala kontroversinya. Apabila contoh di atas tidak—lebih tepatnya belum—berdampak pada kehidupan anda, yang anda rasakan mungkin adalah tingginya harga bahan-bahan pokok, biaya sekolah, uang kuliah, atau setumpuk masalah lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Anda boleh kembali merenungkan pertanyaan ini. Apakah negara peduli dengan masalah yang kita hadapi? Mungkin saja peduli. Namun, apakah kita merasakan kehadiran negara di tengah-tengah masa sulit kita? Mayoritas tidak. Mereka—orang-orang yang bergantian mengisi kursi kepemimpinan setiap lima tahun itu—seharusnya mendahulukan kepentingan rakyat yang telah memberi kepercayaan untuk melayani Republik ini. Sayangnya, Ibu Sumarsih dan tokoh-tokoh lain yang menyuarakan keresahan mereka membuktikan kondisi aktual yang berbeda.
Lantas apabila orang-orang yang konsisten bersuara selama belasan tahun saja tidak mendapatkan haknya, bagaimana dengan anda? Untuk memahaminya, kita harus menjawabnya dengan pertanyaan lain. Bagaimana kita—masyarakat biasa dan para penguasa—memaknai dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi?
Idealisme vs Realitas Politik
Secara etimologi, demokrasi berasal dari istilah bahasa yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Abraham Lincoln—Presiden Amerika Serikat ke-16—menguraikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Seperti layaknya dua individu yang saling jatuh cinta, demokrasi sangat bergantung kepada rasa percaya. Kepercayaan satu sama lain, antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang dipercaya memimpin masyarakat, adalah mutlak. Sama halnya akan cinta, idealnya kadar kepercayaan ini akan terus tumbuh lewat komunikasi yang baik, kepedulian satu sama lain, saling mengingatkan melalui check and balances, dan kolaborasi yang bersifat mutualisme. Namun, apabila dimaknai secara tidak tepat, rasa percaya dapat dihadirkan lewat manipulasi, kebohongan, dan cara-cara niretika lainnya.
Jimly Asshiddiqie melalui buku Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (2015) menjelaskankan bahwa demokrasi sejatinya memiliki sejumlah prinsip. Prinsip tersebut adalah masyarakat yang berdaulat dan bebas berpartisipasi secara setara serta pemerintahan yang bertanggung jawab. Namun, masyarakat tidak boleh menggunakan hak tersebut untuk mengganggu hak orang lain sehingga perlu adanya supremasi hukum. Pemerintah pun tidak boleh memiliki kekuasaan mutlak sehingga kekuatan mereka dibagi menjadi beberapa bagian. Di Indonesia, kekuatan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif sehingga diharapkan ada check and balances di antara ketiga kekuatan tersebut. Selain membatasi kekuasaan menjadi tiga poros, pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan melaksanakan pemilihan umum. Dengan adanya pemilu, maka kekuasaan bukan hanya dibatasi oleh pembagian kewenangan, tetapi juga dibatasi oleh waktu dan kepercayaan publik.
Secara ideal, demokrasi adalah konsep yang nyaris sempurna. Pada pelaksanaannya—termasuk di Republik Indonesia—demokrasi seringkali direduksi menjadi sekadar proses pemilihan umum lima tahunan. Sistem yang awalnya diharapkan sebagai solusi atas bobroknya pemerintahan diktator pada era pra-reformasi berubah menjadi ajang pertarungan untuk memenangkan kelompok masing-masing dengan segala cara.
Pergeseran paradigma ini—di tengah menumpuknya permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat—memiliki dampak yang signifikan pada iklim demokrasi di Indonesia. Alih-alih memilih berdasar kapabilitas seorang calon pemimpin, masyarakat kini lebih senang jika calon yang dipilihnya menang tanpa mempertimbangkan isu-isu yang menjadi perhatiannya.
“Yang penting menang. Toh, siapapun yang menang ngga akan mengubah hidup saya,” begitulah kira-kira.
Euforia singkat dalam “pesta” bernama pemilu ini menyebabkan kita seringkali lupa dengan proses check and balances apabila calon yang kita dukung memenangkan pemilu. Bagi para elit, setelah pemilu usai pun proses check and balances yang seharusnya dilaksanakan oleh semua pihak di luar pemerintahan dibatasi dengan dalih persatuan dan kerja sama membangun bangsa. Apabila kultur politiknya demikian, siapa yang akan menyuarakan aspirasi kita di parlemen? Bukankah tren yang terjadi ini adalah kombinasi sempurna untuk merusak nilai demokrasi?
Economist Intelligence Unit, divisi riset milik The Economist, melalui The Democracy Index menjelaskan bahwa terjadi tren penurunan nilai indeks demokrasi dunia pada rentang 2006–2023. Indonesia—dikategorikan sebagai negara flawed democracy—sebenarnya mengalami peningkatan dari 6,41 menjadi 6,53 jika ditinjau dari rentang 2006–2023. Namun, apabila dilihat dari tren setiap tahun, Indonesia hanya mengalami tren positif hingga tahun 2015 dengan indeks mencapai 7,03. Nilai ini kemudian mengalami tren negatif hingga tahun 2023. Faktor penyebabnya tentu sangat beragam, tetapi dapat disimpulkan bahwa dari lima indikator penilaian, political culture dan civil liberties adalah dua indikator dengan nilai terburuk.
Merebut Kembali Demokrasi
Menyadari—termasuk sadar bahwa kita memiliki hak dan tanggung jawab untuk bergerak dan menyuarakan aspirasi—adalah langkah pertama dari proses panjang untuk mengembalikan Republik ini ke jalur yang benar. Demokrasi pada prinsipnya menyediakan power yang cukup bagi masyarakat—dengan mekanisme yang menjamin kebebasan—untuk menyampaikan keluh kesah, mengekspresikan aspirasi, dan menuntut akuntabilitas dari otoritas yang berkuasa. Namun, realitanya belum banyak komponen masyarakat yang menyadari bahwa suara mereka—di luar kotak suara—dapat memengaruhi perumusan kebijakan untuk melakukan perubahan-perubahan.
Setelah menyadari betapa berharganya suara anda, proses selanjutnya adalah memahami bahwa masalah yang anda hadapi juga dirasakan orang banyak. Dengan begitu, anda bisa mulai membangun kesadaran bersama untuk menyuarakan masalah yang sama. Dilihat dari sisi historis, gerakan-gerakan besar yang mengubah nasib suatu bangsa selalu dimulai dari kesadaran masyarakat biasa. Gerakan reformasi misalnya, masyarakat mungkin tidak terlalu peduli dengan kediktatoran pemerintah era itu, tetapi ketika dikaitkan dengan krisis moneter yang mengancam masa depan mereka, publik akan memiliki kesadaran kolektif untuk bergerak bersama.
Sudah saatnya semangat aktivisme kembali hidup di masyarakat luas. Berserikat—bukan hanya untuk pekerja—adalah jalan satu-satunya yang dapat kita tempuh. Kita tidak perlu memulainya dengan isu-isu yang rumit. Bagi mahasiswa, anda dapat mulai menyuarakan standarisasi upah magang yang layak, uang kuliah perguruan tinggi, atau masalah lain di lingkungan anda. Bagi pendidik, anda dapat mulai menyuarakan beban administratif yang menumpuk dan pendapatan yang tidak mencerminkan tingginya jasa anda kepada Republik.
Pada akhirnya, Indonesia merupakan negara hukum, semua masalah dapat diselesaikan dengan hukum yang berlaku. Namun, Indonesia pun merupakan negara demokrasi, masyarakat memiliki kedaulatan dan wajib turun tangan apabila nilai demokrasi dan hukum yang berlaku tidak diimplementasikan dengan semestinya sehingga tidak memberikan penyelesaian atas masalah publik. Pemerintah tidak boleh mengatakan bahwa pengadilan yang kami inginkan sebagai cara yang kotor seakan “dapur” mereka bersih. Mari berserikat—sebagai bagian dari tanggung jawab kita—untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi yang sebenar-benarnya.
Data oleh Faris Mishbahul Ma’ruf
Tulisan oleh Raihan Putra Aditya dan Faris Mishbahul Ma’ruf
Ilustrasi oleh Ridwan Firmansyah Choirul Ramadhan