
Langit Yogyakarta menggantung mendung tak kasat mata. Bukan awan hitam yang berarak di angkasa, melainkan gelombang kegelisahan yang merambat di dada ribuan orang. Kamis, 20 Februari 2025, jalanan Malioboro tak sekadar riuh oleh derap langkah wisatawan, tetapi oleh lautan manusia yang membawa suara. Mereka berkumpul di Parkiran Abu Bakar Ali, pukul sepuluh pagi. Ribuan kepala, satu tujuan. Aksi bertajuk #BersamaRakyat bukan sekadar parade poster dan spanduk, bukan pula sekadar rangkaian orasi yang menggema di antara bangunan tua, ini adalah jeritan yang telah lama tertahan, tentang kebijakan yang lebih sering menutup telinga daripada membuka mata.
Derap Langkah Perlawanan di Jalanan
Dengan hitam sebagai warna perlawanan, mereka berjalan. Melewati jalur legendaris Malioboro, tempat sejarah bertaut dengan komoditas wisata, mereka mengubahnya menjadi ruang aspirasi. Poster-poster diangkat tinggi, menampilkan kalimat-kalimat yang tak hanya berbicara, tapi juga menggugat. “Rakyat Lapar, Negara Nyenyak!”, “Pendidikan Bukan Komoditas!”, “Kami Bukan Mesin Pajak!”, “Turunkan Prabowo-Gibran!, Bubarkan Kabinet Merah Putih!, Bangun Demokrasi Kerakyatan!” tertulis di atas kain putih yang kini menjadi senjata mereka. Sorak sorai menggema, orasi membakar udara. “Pendidikan bukan barang dagangan!” teriak seorang mahasiswa, suaranya mengiris panas siang itu. “Pajak naik, biaya hidup mencekik! Tapi di mana negara saat rakyat menjerit?” Di depan Gedung DPRD DIY, massa berhenti sejenak. Gedung itu, dengan pilar-pilar kokohnya, berdiri tak tergoyahkan, seperti kekuasaan yang sering kali abai pada suara di bawah. Mereka menyuarakan perlawanan terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kelangkaan gas 3 kg dan solar yang membuat rakyat kecil semakin menderita, serta konflik agraria yang terus menyisakan luka bagi petani. Undang-Undang Cipta Kerja yang lebih berpihak pada pemodal ketimbang pekerja, kebijakan dwifungsi TNI-Polri yang mengancam demokrasi sipil, dan militerisasi yang semakin menekan kebebasan rakyat menjadi bara yang menyulut api perlawanan.

Jogja Memanggil, Kekuasaan Harus Menjawab
Langkah tak berhenti. Massa kembali bergerak ke Titik Nol Kilometer, jantung kota, tempat segala sesuatu dimulai dan bagi para penguasa, mungkin tempat di mana segala perlawanan diharapkan berakhir—api tidak hari ini. Di hadapan Gedung Agung, simbol kekuasaan yang berdiri angkuh di antara trotoar kota, para demonstran menumpahkan keresahan. “PPN naik 12 persen! Apakah rakyat harus bernafas dengan utang?” seorang orator berteriak dari atas mobil komando. “Anggaran pendidikan dipangkas demi proyek negara? Apakah kebodohan adalah visi masa depan yang dirancang untuk kami?” teriak Semanof, salah satu perwakilan aksi, memberikan pernyataan kepada media. “Kami tidak lagi bisa memaafkan rezim Prabowo-Gibran yang merupakan kelanjutan dari pemerintahan Jokowi. Kami melihat bagaimana reformasi gagal. Demokrasi bukan lagi untuk rakyat, tetapi alat bagi segelintir elit. Makanan bergizi tidak gratis, pemangkasan anggaran pendidikan semakin dalam, kesehatan rakyat bukan prioritas, dan pelanggaran HAM terus terjadi tanpa penyelesaian,” ungkapnya dengan tegas. Mereka berteriak bukan hanya untuk didengar, tetapi untuk menggoyahkan tembok-tembok kebijakan yang menindih sebab diam adalah pilihan yang terlalu mahal ketika ketidakadilan merajalela.
Bukan Sekadar Aksi, Ini adalah Peringatan
Aksi ini mungkin berakhir kala senja turun, kala satu per satu peserta kembali ke kehidupan mereka yang keras. Namun, suara yang telah mereka kumandangkan tidak boleh meredup begitu saja. Aksi #BersamaRakyat adalah nyala kecil obor di tengah kegelapan yang seharusnya tidak boleh padam. Jika kekuasaan memilih tuli, maka jalanan akan terus bicara. Jika kebijakan masih menindas, maka perlawanan akan terus menyala. Jogja telah memanggil. Kini, tinggal menunggu apakah kekuasaan akan menjawab atau sekali lagi membiarkan negeri ini berjalan tanpa arah—dalam kebisuan yang disengaja.
Tulisan oleh Rakha Pradipa Auliya
Dokumentasi oleh Muhammad Naufal Aqil Farhan