Beranda Artikel Road to 10th World Water Forum (WWF): Krisis Air Dunia, Perlu Solusi Nyata

Road to 10th World Water Forum (WWF): Krisis Air Dunia, Perlu Solusi Nyata

oleh Redaksi

Tak terasa, kurang dari 80 hari tersisa menuju World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali, Indonesia. Road to 10th World Water Forum (WWF) Stadium General Chapter Yogyakarta menjadi salah satu rangkaian acara road show WWF sebelum diselenggarakan di Bali. Road show ini sukses diselenggarakan di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada pada Kamis, 29 Februari 2024 dengan membawakan tema “Collaborative Governance and Disaster Risk Reduction” yang menjadi salah satu fokus permasalahan air di Indonesia. 

Acara keairan yang singgah di Jogja sebelum ke Bali ini dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, disambung tari Sekar Pudyastuti sebagai tarian sambutan khas Kota Gudeg dalam pembukaan forum oleh mahasiswi UGM. Kemudian, dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh Bapak Supriyanto S.Sos. 

Dekanat Fakultas Teknik menyampaikan sambutan awal yang diwakili oleh Wakil Dekan Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. Sugeng Sapto Surjono. Beliau menyambut para hadirin sekaligus menyinggung sedikit tentang permasalahan air bersih yang ada di Yogyakarta. Besar harapan Prof. Dr. Ir. Sugeng Sapto Surjono terhadap WWF untuk dapat menyelesaikan permasalahan air bersih di Indonesia. 

Bapak Neil Andika, S.T., M.Sc., Ph.D juga ikut menyampaikan sepatah-dua patah kalimat sambutan sebagai perwakilan DTSL UGM. WWF merupakan agenda forum internasional yang sudah dimulai sejak tahun 1997. Event yang akan membahas solusi dari SDGs ke-6 ini menargetkan 100 ribu peserta internasional dan nasional, serta akan dihadiri oleh 12 head of state dengan 56 menteri, 172 negara, serta 2.000 jurnalis. Selain itu, forum ini juga langsung diketuai oleh Luhut Binsar sebagai utusan dari Presiden Joko Widodo

Rangkaian acara keairan dunia ini akan dilaksanakan pada tanggal 18–26 Mei 2024 dengan opening ceremony pada tanggal 20 Mei dan closing ceremony tepat 6 hari setelahnya. Akan ada tiga proses, yaitu political process, thematic process, dan regional process. Juga akan menyelesaikan enam subtema, yakni water security and prosperity, water for human and nature, disaster risk reduction and management, governance, cooperation and hydro-diplomacy, sustainable water finance, dan knowledge and innovative yang sangat berkesinambungan dengan permasalahan di dunia saat ini. 

WWF tahun ini akan terbagi menjadi 4 region, yaitu Asia Pasifik, Amerika, Mediterania, dan Afrika dengan proses politik yang terbagi menjadi 5 bagian. Pada kesempatan kali ini juga, PUPR melibatkan YOUTH dalam program bootcamp class sesuai dengan enam subtema sebelumnya dengan mentor yang berbeda pada tiap kelas. Dengan adanya forum ini, diharapkan pengelolaan air bersih di Indonesia bisa menjadi lebih baik. 

Road show diawali dengan pemaparan oleh Dirjen Sumber Daya Air (SDA) yang diwakilkan oleh Ir. Birendrajana, M.T. sebagai Kepala Subdirektorat Perencanaan Direktorat Sungai dan Pantai yang membahas terkait krisis air di saat kebutuhan manusia meningkat. 

Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Keadaan saat ini terbilang cukup kritis sebab jumlah penduduk semakin meningkat, tetapi ketersediaan air cenderung tetap. SDA dikelola secara menyeluruh dan berwawasan lingkungan hidup supaya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Keterpaduan antara hulu-hilir, kualitas-kuantitas, dan air—air hujan dan air tanah—akan dimanfaatkan sebagai irigasi, sumber air, serta sumber air minum. 

Pemerintah sangat membutuhkan peran stakeholder sebagai pendukung keberlanjutan pengelolaan SDA. Saat ini, pemerintah sudah menargetkan pembangunan 61 bendungan multifungsi bagi masyarakat. Pemerintah akan membangun banyak infrastruktur untuk konservasi SDA dalam rangka pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, pendukung daya guna air, pangan. dan energi. 

Dosen Teknik Sipil bidang hidrologi UGM, Prof. Ir. Joko Sujono, M.Eng., Ph.D, juga merupakan narasumber selanjutnya pada acara ini. Dengan membawa topik tentang “Konsep Pengelolaan SDA dan DAS berkesinambungan”, beliau menyampaikan jika perubahan iklim saat ini menjadi permasalahan yang sangat serius. 

“Bila hujan deras, banjir akan terjadi karena melimpasnya volume air. Jika CO₂ naik, temperatur akan meningkat, daerah es akan mencair, dengan begitu air muka akan naik kurang lebih 3,3 mm per tahun,” ucap Prof. Joko.

Perubahan iklim ini mengacu pada pergeseran pola iklim dan hujan jangka panjang. Peran masyarakat sangat penting dalam pengelolaan SDA seperti pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 109 Tahun 2021 tentang perubahan atas Pergub Nomor 20 Tahun 2013 Pasal 3 tentang kewajiban membuat sumur resapan dan kewajiban membuat bangunan kolam resapan sebesar 1% dengan luas lahan lebih dari 5000 m². Peraturan ini berguna untuk mengantisipasi terjadinya penurunan muka air setiap tahunnya, contohnya seperti di Jogja yang mengalami penurunan muka air sebesar 10–26 cm/tahun. 

Yang menjadi permasalahan  sekarang adalah muka air yang terus naik, tetapi kualitasnya menurun akibat pengaruh limbah rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan cara untuk mengurangi genangan air secepat mungkin sembari memprioritaskan kualitas yang baik. Salah satu solusinya yakni dengan zero runoff—merupakan konsep inovatif yang dapat menghentikan pemborosan air dan meningkatkan pengelolaan sumber daya air. 

Selanjutnya, Kepala BBWS Serayu Opak, Dr. Gatutu Bayudji S.Si. juga ikut memaparkan topik tentang “Kebijakan dan Arahan Pengelolaan SDA Wilayah Sungai yang Kolaboratif dan Berkeadilan”. Pengelolaan SDA berupa pemberdayaan dan konservasi SDA bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, keadilan, dan keberlanjutan fungsi lingkungan.Pengelolaan ini perlu didukung penuh oleh pemerintah pusat, daerah provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam pengelolaanya, diperlukan prinsip yang dikelola secara terpadu, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dengan dukungan serta bantuan dari masyarakat maupun stakeholder.

Salah satu tantangan SDA saat ini, yaitu wilayah Sungai Progo Opak dan Serayu Bogowonto dengan permasalahan pertumbuhan penduduk, urbanisasi pertumbuhan kawasan, alih fungsi lahan, perubahan pola, dan intensitas curah hujan. Salah satu arahan kebijakan yang dapat dilaksanakan yakni dengan mempercepat pemerataan ketahanan air, menyeimbangkan konservasi SDA, dan pendayagunaan untuk mencapai keberlangsungan SDA.

Pembicara selanjutnya adalah Bapak Moh Dedi Munir, S.T., M.Sc selaku Ahli Muda Teknik Pengairan Balai Teknik Sabo, Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal SDA Kementerian PUPR. Beliau membawa topik “Disaster Risk Reduction Framework: Recovery, Mitigation, Preparedness, Response” dalam upaya mitigasi bencana. Balai Teknik Sabo sendiri bertugas melaksanakan pengembangan, perekayasaan, dan pelaksanaan pelayanan teknis pengujian, pengkajian, inspeksi, dan sertifikat di bidang sabo. Sabo sendiri berasal dari bahasa Jepang yakni “sa” adalah pasir dan “bo” adalah pengendalian. Jadi, sabo adalah sistem pengendalian sedimentasi dalam infrastruktur SDA yang difungsikan untuk memitigasi daya rusak air khususnya aliran debris/lahar. Teknologi sabo ini diimplementasikan dari hulu-hilir di suatu sungai, terutama sungai yang berada di pegunungan. 

“Pengelolaan SDA  haruslah memiliki prinsip, seperti keadilan sosial, konservasi sumber daya yang benar, dibutuhkannya partisipasi masyarakat, pengelolaannya haruslah berbasis ekosistem, serta pendidikan dan kesadaran masyarakat,” ucap Bapak Dedi. Dengan adanya inovasi Green Sabo Technology, diharapkan dapat membantu permasalahan daya rusak air dengan mengedepannya aspek lingkungan dan menyesuaikan ekosistem yang ada. 

Dr. Dra. Purbudi Wahyuni, M.M., CIHCM, Ketua POKJA FORSIDAS (Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai) Gajah Wong menjadi pembicara terakhir dalam rangkaian road show ini. “Tantangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Air” menjadi topik yang dibawa oleh beliau dengan semboyan FORSIDAS Gajah Wong: PAS (Peduli Adalah Solusi). 

FORSIDAS sendiri membawa visi berupa integrated eco-tourism atau disebut juga nguri-uri kali menuju hamemayu hayuning bawana berbasis mitigasi bencana. Organisasi ini juga memiliki misi berupa melestarikan kembali sungai sebagai penyangga budaya Keraton Mataram, mengintegrasikan hulu-hilir di kawasan sungai berbasis mitigasi bencana, menyediakan jalur evakuasi di sisi sungai, rumah menghadap ke sungai (mundur madep kali/M2K), serta mengembalikan toponame vegetasi heritage Gajah Wong. 

Terdapat satu metode menarik, yaitu M2K yang menetapkan jarak 4 meter antara sungai dengan kawasan kegiatan manusia. Dengan tujuan memitigasi air ketika terjadi hujan yang memiliki potensi banjir. Namun, tidak menutup kemungkinan jika musim kemarau tiba, masih dapat digunakan sebagai tempat pariwisata. Selain itu, metode ini mampu menjadi pendukung economic plan di sekitar wilayah tersebut.

Air menjadi salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Tidak ada air maka tidak akan ada kehidupan. Oleh karena itu, keterbatasan air bersih di saat pertumbuhan penduduk seiring meningkat dapat menjadi sebuah bencana bagi dunia. Dengan kehadiran WWF 2024 ini, kita dapat mencari solusi dari berbagai permasalahan air yang ada di dunia terutama di Indonesia. 

Ayo wujudkan dunia yang sehat dengan bersama-sama mengatasi permasalahan air!

Tulisan oleh Audi Muthia Aqila

Data oleh Haniifah Rahmadhania Multivana 

Dokumentasi oleh Kelvin Kenzie Muhammad

Tim Liputan Audi, Haniifah, Kenzie

Artikel Terkait